Bab 10 Meet The Ex

1790 Words
            Mendung menggantung di pagi buta. Ada seorang lelaki tinggi berjaket kulit warna coklat, berbaju loreng, bersepatu boot PDL, dan berwajah manis terlihat berdiri menyandar di depan sebuah pagar tembok. Sebuah motor kawasaki Ninja warna hitam dan merah dihentikan di depan tempatnya bersandar. Sebuah buket bunga mawar putih dipegang lelaki itu dengan tangan kanan. Sementara itu, tangan kirinya memegang sebuah ponsel yang menyala. Wajahnya hanya tampak sibuk membaca uraian tulisan di ponsel itu. “Kak Egi?” panggil sebuah suara yang membuat lelaki itu mendongak. Egi ternyata sedang menunggu di depan rumah Natasya. “Tasya! Mau ke sekolah ya? Aku antar yuk?” ajaknya ceria. Berbeda dengan wajah Egi, wajah Tasya justru kaku dan dingin. Mulutnya mengerucut. “Mau apa? Aku kan udah bilang gak mau ketemu kamu selamanya,” ujar Tasya judes. “Tasya, jangan begitulah. Aku berusaha menghubungi nomormu tapi tak aktif. Aku ke sini untuk mengantarmu ke sekolah, sebelum aku kembali ke batalyon. Nih juga kubawakan sebuket bunga mawar kesukaanmu!” ujar Egi sambil menyodorkan bunga wangi itu. “Gak perlu, di halamanku sudah banyak!” tolak Tasya dingin.             Natasya menampik pemberian Egi dengan dingin. Dia tak mempedulikan suara Egi dan malah berlalu pergi. Baginya Egi bukanlah apa-apa di matanya. Egi tak menyerah. Dia mengikuti langkah kaki gadis cantik itu dengan menuntun motor besarnya. “Tasya, please. Tolong dengerin aku! Aku salah Tasya. Aku berdosa sekali padamu,” ujar Egi merayu Tasya. Tasya tak sudi menatap wajah lelaki tinggi itu. Dengan tenaganya, Egi menahan tangan mungil Tasya. Gadis dingin itu meronta dan melepas tangan Egi dengan paksa. “Lepas!” ujar Tasya keras. “Oke! Aku lepas. Tapi, berikan aku nomor teleponmu, Sya. Biar aku bisa menghubungimu lagi,” pinta Egi. Tasya berdecak sinis. “Buat apa? Biar aku bisa damaikan kamu dan Bia?” sindir Tasya sinis. “Enggak Tasya, sumpah aku gak akan minta hal sekonyol itu lagi. Supaya aku bisa hubungi kamu, nanya kabarmu, nanya kesibukanmu, nanya aktivitasmu, supaya kita bisa dekat lagi,” ujar Egi memelas. “Ha! Ha! Ha! Lucu!” ujar Tasya sarkasme sambil berjalan cepat dan masuk ke dalam bis sekolah yang sudah menunggunya di halte biasa. Egi menyerah. Dia tak mau dianggap sebagai penguntit atau penjahat anak SMA. Apalagi dia sedang memakai seragamnya. ---             Natasya turun dari bis sekolahnya dengan wajah datar dan malas. Mengapa hari pertamanya di minggu ini dirusak oleh kehadiran Egi. Mengapa juga dia harus tinggal sekomplek perumahan dengan mantan sialnya itu? Sungguh terkutuk rumah itu, batin Tasya. Wajar, di rumah itu juga dia kehilangan kebersamaan bersama kedua orang tuanya. Kehilangan senyumnya. “Pagi Tasya!” sahut beberapa anak sambil memasang wajah manis dan melambai pada Tasya yang hanya menatap sinis. “Tasya, nanti kita belajar bareng di perpus ya?” ajak salah seorang anak yang tak dikenal Tasya. “Tasya, kita ke kantin bareng yuk?”             Tasya enggan menanggapi anak-anak yang memberondongnya dengan remeh temeh tak penting itu. Dia hanya memacu kakinya untuk segera ke kelas dan menaruh tasnya. Tak bisakah suasana kembali seperti dulu. Dia bisa bebas sendirian mengikuti suara hatinya. Kenapa Bia harus membalikkan keadaan seperti ini? “Cih, dasar sombong!” sahut anak yang bernama Wati tadi. “Iya, mentang-mentang anak-anak udah gak suka sama Bia!” balas Ulfa kesal. Kedua anak kelas XI IPA 1 yang tadi memberondong Tasya itu berdecak kesal sambil berkacak pinggang. Niatnya hanya berbaikan dengan bintang sekolah itu saja, tapi malah ditanggap dingin oleh Natasya.             Langkah kaki Tasya sampai di kantin sekolah. Sebelum mulai jam pertama, dia lebih baik mengisi perutnya dengan makanan. Semangkok soto ayam Bu Agis cukup mengganjal perutnya sampai siang. Baginya makanan kantin sekolah adalah makanan terenak saat ini. Tak rugi bagi Tasya karena sang ayah selalu mencukupi uang sakunya bahkan sampai berlebih. Hanya itu tanda kasih sayang sang ayah di mata Tasya. Bukan belaian kasih sayang karena luka perceraian, melainkan kesibukan bekerja demi kehidupan Tasya. “Kok makan sendiri di sini? Kenapa gak di bangku kantin?” pecah suara yang membuat Tasya berdecak kesal. Dia benci orang yang mengganggunya makan. Kenapa sih dia tak dibiarkan sendiri. “Aku temenin mau gak?” tanya suara milik Risan, teman sekelas Natasya yang sebenarnya dari menyukai Tasya. Hanya dia terlalu cuek dan dingin pada lelaki. “Bisa gak kamu pergi?” tanya dingin Tasya tanpa menatap Risan. “Kenapa sih? Aku cuma gak mau biarin kamu sendiri. Makan sendirian itu gak enak,” ujar Risan yang membuat Tasya makin malas. “Kamu yang pergi atau aku?” tanya Tasya lebih dingin. Risan memegang pundak Tasya. Tasya kaget dan menatap wajah anak lelaki seusianya itu sedang tersenyum hangat. “Lepas! Gak usah sok peduli.” Jawaban Tasya membuat Risan menyerah, dia masih berpikir ulang untuk mendekati Tasya. Akhirnya dia menyerah dan duduk menatap Tasya. Gadis itu cuek dan masih saja menyendok kuah soto. “Siapa yang sok peduli? Aku itu benar-benar peduli sama kamu, Tasya. Kamu tahu gak kalau aku itu ikut nyusun mading sekolah yang berisi bukti kejahatan Bia,” ujar Risan bersemangat. “Gila ya! Ada teman sejahat itu. Munafik banget si Bia bisa nyakitin kamu seperti itu. Lagian Egi tuh cowok apaan sih! Bisa-bisanya dia sepengecut itu! Kalau ketemu akan kutonjok dia sampai babak belur,” ujar Risan lagi dengan emosi. Tasya melirik sinis. Yakin cowok secungkring Risan bisa menghajar tentara model Egi? Berat badannya saja mungkin sudah kalah dengan Egi. Besar omongan saja kamu, kutuk Tasya dalam hatinya. “Bisa gak kamu pergi aja? Gak usah ngomongin orang gak penting itu sama aku. Sial! Bikin aku gak nafsu makan aja,” kutuk Natasya pelan. Risan beringsut dan mengikuti langkah Natasya yang menghindarinya. “Tasya, sorry deh. Kalau perkataanku tadi membuatmu badmood. Aku cuma emosi saja kalau melihat orang-orang seperti itu. Aku benci laki-laki yang tukang selingkuh. Aku juga jijik sama perempuan perusak hubungan orang,” ujar Risan cemas sembari mengikuti langkah cuek Tasya yang baru selesai membayar makan paginya. “Kamu curhat ya? Sorry aku gak minat!” jawab Tasya cuek. Risan memegang tangan mungil Tasya. “Sya, aku itu peduli sama kamu. Sejak lama aku selalu memperhatikanmu. Aku diam-diam menyukaimu, Sya. Hanya kamu selalu cuek dan tak peduli dengan sekitarmu. Banyak yang suka dan ingin berteman denganmu. Tolong bukalah mata hatimu,” ujar Risan pelan sambil menatap mata tajam Tasya yang melotot. “Woy, ngapain loe, San? Nembak es batu juga loe?” seloroh beberapa anak lelaki yang sedang bermain sepak bola. “Udah terima aja, Sya. Risan tuh suka sama loe sejak kelas 1,” ujar beberapa anak yang lain. Risan terlihat enggan dan memberi kode ke teman-temannya itu untuk diam. Lain halnya dengan Natasya yang sudah berwajah judes. “Bisa gak kamu bikin mulut mereka diam?” ujar Tasya judes. Sesekali ia melirik ke arah kerumunan anak lelaki yang sudah menyorakinya. “Udahlah Tasya, semua yang mereka bilang emang bener kok. Aku sudah menyukaimu sejak lama. Sejak dulu aku selalu tertarik dengan kecantikan, kepandaian, dan kecuekanmu. Semua darimu itu selalu membuatku tertarik. Kamu tahu gak, kalau aku rela gabung sama anak-anak nerd demi jadi Natalicious.” Ujar Risan serius. Anak cungkring dan bintang basket itu memang termasuk populer di sekolahnya. Dia rela bergabung dengan para kutu buku demi Tasya.             Plak! Sebuah pukulan keras mendarat di pipi mulus Risan. Pukulan itu meninggalkan hawa panas. Tasya baru saja melayangkan tamparan kesalnya. Kontan itu membuat anak lelaki yang menyorakinya itu diam. Sama seperti Risan yang diam sambil menahan panas di pipi dan hatinya. Rasa malu menyerap di benaknya. Pernyataan cinta itu terasa tak tepat waktu. “Ternyata aku bisa bikin mereka diam. Sorry, aku gak suka kamu,” ujar Tasya cuek sambil berlalu.             Risan hanya tertegun melihat gadis manis berambut hitam sepunggung itu. Bagaimana bisa dia menampar lelaki yang menyatakan cinta padanya? Alangkah buruk hati Tasya. Kalau tidak suka cukup bilang tak suka. Kenapa harus merendahkan harga diri Risan di depan teman se-gengnya. “Sabar Bro!” tepuk salah satu temannya. “Ngapain sih loe suka sama cewek model gitu, Bro?” sahut lainnya. “Loe butuh paramedis, Bro?” Risan hanya mengusap bekas tamparan Tasya. “Dia emang beda, Bro. Kayaknya gue emang udah gila suka sama dia,” ujar Risan pelan. Berusaha memadamkan api emosi di hatinya. “Dih, Tasya emang kayak karya seni, Bro. Indah dan mengagumkan. Tapi, manner-nya, Broooo. Amit-amit,” ujar teman Risan yang lain sambil menepuk bahu Risan yang tersenyum penuh misteri. --- “Lima puluh lima, lima puluh enam! Lima puluh tujuh!” gumam semangat seorang tentara yang sedang melakukan push-up. Terlihat salah satu tentara yang lebih senior mengawasinya dengan tajam. “Turun lagi, Culun! Kau push-up apa cuma sentuh-sentuh lantai! Tambah 20!” ujar tentara senior itu keras. “Siap!!!” jawab tentara yang tampaknya sedang dihukum itu dengan membara. “Kau itu! Masih perwira junior di batalyon sudah terlambat ikut apel! Mau kasih contoh apa Kau sama anggota, heh!” ujar tentara senior itu emosi. Kemudian sepatu PDL-nya itu menendang kaki tentara junior dengan keras.             Tanpa ada pekikan kesakitan, tentara junior itu kembali melakukan push-up sesuai dengan hitungannya. Hatinya sudah tak terbentuk lagi. Dia tak berani melawan seniornya itu. Dia tahu, ini memang kesalahannya. Dia yang bernama Egi Satria itu memang sedang dihukum oleh Arga Dimas Aditya karena terlambat apel pagi di hari senin. Arga juga mendapat teguran dari komandan karena dianggap tak bisa membina juniornya. Akhirnya, Arga menghukum Egi yang berada dalam binaannya itu. “Kamu keasyikan IB, toh? Keasyikan pacaran, kan? Makanya kau bangun kesiangan sampai terlambat masuk asrama!” sindir Arga tajam di telinga Egi. Egi yang sudah berdiri tegap hanya bisa diam sambil menata napasnya. “Siap, tidak!” jawab Egi lantang. “Lalu kenapa terlambat, Culun?” tanya tajam Arga sambil menatap gemas junior sekaligus mantan Natasya itu. “Siap, salah!” ujar Egi lantang. Dia merasa serba salah. Tumbenan abang satu ini kok keras kepadanya? Biasanya juga tak demikian. “Minggu depan, kau tak dapat IB. Sekarang kau lari keliling lapangan 20 kali.” Perintah Arga langsung dituruti Egi dengan tanggap. Egi tak bisa melawan perintah senior. Apalagi dia salah kali ini. Dirinya terlambat gegara menunggu untuk bertemu dengan Tasya yang malah menolaknya. “Ga, jangan keras-keras sama si adik. Nanti morilnya turun lo di depan anggota,” ujar Lettu Ikhsan sambil mendekati Arga yang menatap tajam pada Egi. Arga menegakkan badannya dan memberi hormat. “Siap, tidak apa-apa, Bang. Biar dia tak manja. Mau dicontoh apa nanti sama anggota, kalau perwiranya ogah-ogahan gitu. Tentara itu harus on time, Bang.” Jawaban Arga hanya dibalas anggukan paham dari Lettu Ikhsan. Arga memang sosok yang tegas sekalipun itu pada sesama perwira. “Jangan terlalu keras ya, Dik. Dia juga butuh wibawa di depan anggota,” ujar Lettu Ikhsan bijak. “Siap Bang!” ujar Arga tegas. Dari kejauhan terlihat napas Egi tersengal. Pertemuan dengan mantan membuat dirinya begitu menderita. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD