Bab 8 A Lonely Star

1594 Words
            Wajah Tasya sembab. Bukan karena menangis tetapi karena terus menguap sedari tadi. Malam mulai beranjak ke pukul 00.00. Tapi, Tasya tak kunjung mengakhiri hari ini. Matanya mengantuk tapi tidak dengan pikirannya. Tubuhnya lelah sama seperti hatinya.             Perhatian sekolah memang sudah berpihak padanya. Tapi, dia malah tak suka mendapatkan perlakuan beda. Dia rasa anak-anak di sekolah itu hanyalah sekumpulan orang munafik. Kemana mereka saat dulu dia dibenci? Bagaimana sikap mereka dulu padanya? Sekarang sok peduli, dulu seperti apa! Kira-kira begitulah anggapan Natasya. Hatinya masih dingin, sama seperti air es.             Sedari tadi dia hanya mencoreti buku fisikanya yang penuh coretan rumus Hukum Pascal, Hukum Archimedes, Hukum Stokes, dan lain sebagainya. Namun, tak satupun dari rumus itu mampu masuk ke otaknya. Padahal biasanya hukum-hukum Fisika serumit itu bisa masuk dengan mudahnya ke dalam otak Tasya. Tasya bisa menghapalnya seperti meneguk air.             Mungkin dia menjadi melankolis karena sang mantan kembali membuka luka lamanya. Seharusnya dia membenci Egi saja. Seharusnya dia tak usah berdekatan walau hanya sebagai teman. Seharusnya, dia tak perlu berbaik hati untuk membuka cintanya lagi bersama Egi. Jadinya, malah runyam seperti ini. Masalah masa lalunya yang menjemukan hadir menjadi mimpi buruk yang berlarut-larut.             Tasya menangkupkan wajah cantiknya ke atas buku tulis Fisika. Dia mencium aroma buku yang menurutnya sangat enak itu. Bagaimana bisa hidup bahagianya menjadi rumit seperti ini? Bagaimana dia bisa menjadi orang seperti ini? Seingatnya dulu sosoknya tak seperti ini. Apa hanya karena watak gila belajarnya? Apa itu masalah utama pertikaian hidupnya? --- “Kita photobox di sana yuk, Kak?” ajak manja seorang gadis muda pada seorang lelaki berpotongan rambut cepak. “Kamu pengen banget ya, Dek? Aku hitam, dekil banget lo karena kebanyakan korve,” ujar Egi pada Bia. Ya, keduanya sedang jalan-jalan tanpa sepengetahuan Tasya. Setidaknya menurut mereka. Kenyataannya Tasya mengikutinya sejak di pintu mall. “Hitam dekil kamu juga suka, kan?” pecah sebuah suara milik Tasya yang kontan membuat keduanya menoleh. “Natasya!” “Tas…” seloroh keduanya hampir bersamaan. “Iya aku Natasya, masak kalian lupa sama aku? Saking sibuknya pacaran ya? Jadi di sini ya tempat Kak Egi apel? Aku baru tahu tentara apelnya di mall!” cerocos tajam Tasya. Wajahnya mulai datar tanpa ada ekspresi lagi. Perlahan air matanya jatuh karena sadar jika dirinya sedang menjadi korban perselingkuhan. “Natasya, aku bisa jelaskan.” Ujar Egi menahan tangan mungil Tasya. “Jelasin apalagi, Kak? Jadi ini penyebab perubahan sikap Kakak? Kakak gak pernah balas SMSku lagi. Kakak nelepon aku cuma sebentar. Kakak punya hubungan baru sama dia? Iya!” ujar Tasya keras sambil menunjuk Bia yang mulai menangis. “Tasya, maafin aku. Aku…” “Apa Bia? Kamu suka sama Kak Egi? Cinta sama dia?” tuduh Tasya keras yang memancing perhatian pengunjung mall di dekat mereka. “Maafin aku, Tasya. Cinta itu terjadi begitu saja. Kak Egi berhak bahagia dengan orang yang dicintainya, kan?” tanya Bia pelan. “Teganya kamu bicara gitu sama aku! Aku sahabatmu, Bia! Teganya kamu nusuk aku dari belakang!” ujar Tasya lirih. “Aku minta maaf Tasya. Maafin aku Tasya!” Hanya itu yang dapat diucapkan mulut Bianca. “Tasya, Bia, ayo kita bicara dengan enak. Please, Tasya. Listen to me!” ajak Egi sambil menyentuh tangan Tasya. Tasya menampiknya keras. “Enggak! Gak perlu! Aku cuma butuh jawaban, kamu pilih aku atau dia?” tanya Tasya sambil menunjuk Bianca yang tersedu. Egi menunduk kebingungan. “Kakak gak bisa jawab ya? Kakak cinta kan sama dia!” tanya Tasya sekali lagi. Egi masih membisu kebingungan. Tentara muda itu hanya bisa membisu menunjukkan sikap pengecutnya. “Kita putus!” ujar Tasya pelan sambil meninggalkan keduanya. “Tasya!” tahan Bianca. Tasya menoleh dingin. “Kamu bukan lagi sahabatku. Kita tak kenal lagi, Bia!” ujar Tasya sendu. ---             Tes! Air mata Tasya menetes lagi. Dia selalu menangis jika teringat peristiwa setahun yang lalu. Terkadang dia menyesal pernah menyianyiakan waktunya bersama Egi. Kadang dia mengutuki ketidaksetiaan Egi. Kadang dia kasihan dan iba pada Egi. Kadang dia juga sangat membenci Egi. Yang jelas, penghianatan sahabat dan kekasihnya itu pasti akan terpatri sampai kapanpun.             Tasya mendongak ketika mendapati ponselnya bergetar pelan. Dilihatnya ada nama Arga di sana. Tasya menghapus air matanya. Dia juga membersihkan tenggorokannya yang terisi air mata. Diaturnya napas sebelum mengangkat telepon Arga. Dia tak mau lelaki dewasa itu tahu masalahnya. “Halo!” ujar Tasya pelan. “Tasya? Kamu angkat teleponku ternyata! Kupikir kamu sudah tidur.” Suara Arga terdengar renyah dari seberang. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 00.30. “Iya, aku belum bisa tidur, Kak.” “Jangan-jangan kamu masih belajar lagi!” ujar Arga menggodanya. “Kok tahu? Kak Arga juga lagi belajar ya makanya kok belum tidur,” ujar Tasya kaku. “Hahah, kamu nih Dek. Lucu sekali! Aku lagi giliran jaga malam di provost, piket Dek. Tahu piket gak?” “Tahulah! Piket itu dinas dalam kan?” “Kok tahu? Bukannya di duniamu piket itu bersih-bersih kelas ya!” ujar Arga pelan. “Aku kan pernah pacaran sama tentara.” Jawab Tasya dengan suara datar. Beda dengan nada suara Arga yang selalu antusias menggodai Tasya. “Duh, iya ya! Mantanmu si culun Egi kan! Tadi habis kusuruh lari keliling lapangan 20 kali,” ujar Arga yang berusaha menarik ekspresi Tasya. “Ngapain?” tanya Tasya pendek. Arga menyerah. Gadis itu masih dingin saja. “Habisnya dia nyolot, Dek. Kuajak bicara baik-baik, dia malah melotot. Minta dibina tuh. Masih junior udah kayak gitu kelakuannya! Gak respect namanya!” ujar Arga berapi-api. Tasya mesem samar. Dia senang mendengar Egi dikerjai Arga. “Eh kamu belajar apa sih, Dek?” tanya Arga perhatian. Tasya heran karena Arga selalu tertarik dengan apa yang dilakukannya. Beda dengan Egi yang langsung menyuruhnya belajar, Arga justru selalu mendukung aktivitas Tasya. “Fisika, ensiklopedia planet dan bintang,” ujar Tasya berbohong. Jelas bukan itu yang dia pelajari. “Kamu anak kelas 2 SMA apa SD sih? Itu kan pelajaran anak SD!” ujar Arga yang membuat Tasya kaget. Arga tahu saja dia sedang berbohong. “Anggap aja gitu, aku suka semua jenis pelajaran kok,” ujar Tasya kesal. “Iya iya, jangan ngambek ah. Coba ceritakan, bintang apa yang kamu pelajari?” tanya Arga sabar. “Sebuah bintang yang tak bernama. Bintang yang kesepian. Jaraknya dengan matahari bahkan lebih jauh dari planet pluto. Planet pluto saja sudah tak diakui dalam tata surya, apalagi bintang ini. Tapi, bintang tak bernama ini selalu bersinar terang. Dia mengirim cahayanya ke bumi walau harus melewati jarak berjuta-juta tahun cahaya. Mengabarkan kalau dia adalah bintang paling cerah di galaksi ini,” celoteh Tasya pelan. “Wauw, keren! Tapi, aku yakin itu bukan pelajaran Fisika deh! Bahasa Indonesia kan?” tebak Arga. “Bukan, fisika kok.” “Pasti bintang itu dinamakan Natasya Alleira, kan?” tanya Arga yang membuat Tasya tertegun. “Tasya, kamulah bintang itu. Bersinar terang dan kesepian. Kenapa Dek? Kamu sedih?” tanya Arga pelan. “Enggak, aku gak apa-apa kok, Kak. Kakak udah makan?” tanya Tasya mengalihkan perhatian Arga. “Udah, tadi Kakak udah kirim foto makan malam, kan?” tanya Arga yang membuat Tasya malu. “Besok berangkat sekolah sama siapa?” tanya Arga lagi. “Sendirian saja naik bis sekolah,” ujar Tasya pendek. Terdengar napas Arga. “Kak Arga capek ya teleponan sama aku?” tanya Tasya seperti takut dengan masa lalunya. “Gak kok, aku cuma lagi mikir aja. Andai aja tempat dinasku bisa dipindah ke depan sekolahmu, pasti aku bisa anter kemana-mana.” “Kak Arga mau jadi tukang ojek ya?” seloroh Tasya polos. “Haha, ya enggaklah Dek. Tukang ojekmu sih mau! Enak kali ya kalau jarak kita cuma 1 km. Kalau sekarang, mau nemuin kamu aja butuh 50 menit sampai 1 jam. Tergantung kemacetan kota Bandung,” ujar Kak Arga yang disambut senyum Tasya lagi. Dia suka Arga yang sepertinya ingin dekat dengannya itu. “Iya gak apa-apa. Dinikmati aja Kak.” “Kamu sih enak ngomong gitu. Aku ini beda Dek. Kalau kita deketan, aku bisa terus bikin kamu senyum. Kalau lihat senyummu, hatiku adem,” ujar Arga manis. Tasya kembali mesem tanpa suara. “Kamu kok diem aja? Kamu lagi senyum ya?” tebak Arga. Tasya menutup senyumnya. Kok Arga bisa tahu! “Ya udah Kak Arga pindah dinasnya aja ke kodim dekat sekolahku. Kan deket. Nanti kita bisa jajan bakso, batagor, seblak, es cappucino cincau, cimol, tahu gila…” cerocos Tasya tanpa sadar. “Loh, kok diem? Ngomong terus dong, Dek. Tadi itu kalimat terpanjangmu loh! Mana bisa segampang itu, Dek. Pindah satuan gak segampang pindah rumah,” jelas Arga yang dibalas pendek oleh Tasya. “Kak Arga gak ngantuk?” tanya Tasya pelan. “Apa kamu bosen ngobrol sama aku? Aku kan lagi jaga malam,” ujar Arga. “Gak kok. Enggak! Soalnya ini kan udah lewat tengah malam,” ujar Tasya. “Kamu gak takut jam segini belum tidur. Nanti ada ketok jendelamu loh!” ujar Arga menakuti gadis yang dicintainya itu. “Duh, udah deh! Aku tutup nih!” Tasya malas kalau Arga mulai menakutinya. Walau angkuh dan judes, Tasya takut hantu juga. “Hehe, maaf Dek. Tasya, dengerin aku ya?” “Selama ada aku, kamu gak akan pernah jadi bintang yang kesepian. Pegang janjiku sebagai komandanmu, kalau aku akan selalu membuatmu bahagia. Aku akan membuatmu senang sepanjang waktu, semampuku dengan jarak sejauh ini,” ucap Arga pelan. Tasya terhenyak. Baru kali ini dia tersentuh kata-kata lelaki lagi. “Boleh gak aku nangis, Kak?” tanya Tasya pelan. “Tidak boleh selama ada aku, Tasya!” jawab Arga mengakhiri percakapan tengah malam itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD