Kebencian sama dengan kekaguman, berubah secepat angin. Orang bisa dengan mudahnya menyukai sesuatu. Orang juga bisa dengan mudahnya membenci sesuatu itu. Tak ada manusia yang punya pendirian seteguh karang. Ada mungkin tapi hanya segelintir.
Setelah sempat menjadi bintang sekolah yang dibenci, kini Natasya Alleira menjadi sosok yang disukai di setiap langkah kakinya. Dulu, murid sekolah itu rata-rata mencibir dan memandangnya enggan. Namun, kini mereka bersikap takjub bak menatap malaikat cantik yang baru turun dari langit.
Dalam setiap masalah, selalu saja ada pihak yang dirugikan bukan? Ya, tentu saja ada. Bianca adalah pihak itu. Dialah yang kini jadi sasaran utama kebencian anak 1 sekolah. Tak ada yang mau berteman dengannya termasuk teman sekelasnya, anak XI IPA 2.
“Eh eh, yang punya pacar hati-hati. Sembunyikan pacar masing-masing!” seloroh seorang anak bernama Dewi pada kawan se-gengnya ketika melihat Bia melangkah lesu. Bia langsung menunduk. Padahal Dewi dulu adalah teman sekelas yang baik padanya.
“Iya, hati-hati loh. Pacar sahabatnya saja bisa direbut, apalagi pacar teman. Sahabat dihianati, apalagi cuma teman,” balas Yuan.
“Maksud kalian apa?” tanya Bia lemah. Dewi dan Yuan tertawa sinis.
“Sok alim!” seloroh kedua anak perempuan itu sambil berlalu pergi.
Bia kembali menunduk. Harusnya dia tak perlu mendengarkan cemoohan mereka. Cemoohan itu hanya membuat pikirannya makin kusut. Wajah hangat dan cerianya tak ada lagi. Semua temannya kini menjauhinya selangkah demi selangkah.
Pelajaran demi pelajaran dia lalui dengan tak fokus. Guru juga heran melihat perubahan kelas XI IPA 2. Filia teman sebangku Bia tak mau lagi duduk dengannya. Anak yang lain juga enggan duduk dengannya. Guru Fisika itu menegur mereka dengan keras. Namun, tak ada tanggapan dari kelas XI IPA 2. Hal itu hanya menyulut kegaduhan. Bia tahu karma sedang bekerja padanya. Dia sadar semua ini terjadi karena kelakuannya sendiri. Dia akhirnya yang mengalah dengan duduk di kursi paling belakang dekat sudut kelas. Sudut kelas yang gelap, sepi, dan banyak nyamuk, sama dengan hatinya.
“Bia?” panggil sebuah suara yang menyadarkan Bia. Kepala gadis cantik itu mendongak. Rambutnya tersibak angin kencang dari ketinggian. Di siang yang panas ini, dia menghabiskan istirahatnya di gazebo atap gedung.
“Loh?” gumamnya heran. Ternyata tak ada seorangpun yang memanggilnya. Siapa yang barusan menyebut namanya? Oh iya, dia lupa. Tak ada lagi yang mau menyebut namanya. Tak ada satupun yang membutuhkan dirinya, termasuk Egi. Lelaki yang dianggap masih mencintainya itu ternyata malah menghilang setelah marah besar. Fania yang dianggapnya juga peduli malah tak masuk sekolah beberapa hari sejak perkemahan.
Dibenci satu sekolah. Di-bully. Ditinggal Egi. Mungkin itulah serangkaian hukuman untuk Bianca Adriana. Ujian atau hukuman itu datang setelah perbuatannya sendiri yang menghancurkan Natasya. Saat seperti inilah, Bia sadar akan semua tindakannya. Mengapa dia sampai menjadi orang seperti ini? Agaknya, semua berawal dari kesalahan di masa lalu.
---
“Cieee SMS-an terus nih ye sama Kak Egiii…” seloroh Bia pada Tasya, saat keduanya masih bersahabat 1 tahun yang lalu. Bia dan Tasya masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
“Idih, apaan sih kamu. Bilang aja sirik!” balas Tasya sambil tertawa riang. Jari mungilnya masih asyik mengetik di ponsel Samsung keluaran terbaru saat itu.
“Iyalah, siapa yang gak sirik, Sya. Kamu punya pacar seganteng, sekeren, setinggi Kak Egi. Iihh mimpi apaan kamu Sya! Moga aja kloningannya Kak Egi ya?” tanya Bia antusias.
“Makasiiiii… semoga masih ada cowok sejenis Kak Egi buat sahabat terbaikku.” Tasya lantas memeluk Bianca penuh sayang. Malam ini seharusnya mereka mengerjakan tugas matematika. Eh, malah merumpi tentang Egi.
“Aamiin. Duh, asyik banget ya jadi kamu Tasya. Kamu udah pernah diajak Kak Egi ke MPT di Magelang sana. Udah pernah jalan sama cowok berseragam di mall. Udah pernah diajak dia pas pelantikannya kemarin. Kamu bahagia pasti kan?” cerocos Bia.
“Iyalah Bia. Buat anak seumuran kita, apa yang ga lebih bahagia dari itu. Aku punya pengalaman baru dibanding jalan-jalan ke mall, makan es krim, photobox, dan ngecengin kakak kelas,” seloroh Tasya ceria. Bia tertawa senang. Dalam hatinya, dia ikut senang dengan kebahagiaan Tasya dan Egi.
“Halo Dedek?” sapa Egi dari seberang yang membuat Bia terdiam. Dia hanya tersenyum tanpa suara sambil mendengarkan Tasya bercakap dengan kekasihnya itu.
“Iya Kak? Gimana? Lagi apa?” cerocos Tasya.
“Kakak capek, Dek. Seharian korve di kesatuan. Kakak kan masih perwira remaja, makanya masih dibantai habis-habisan sama senior. Kamu pasti lagi ngerjain PR, kan? Udah jangan bercanda melulu sama Bia. Cepat belajar!” ujar Egi yang membuat Tasya berdebar. Darimana Egi tahu kalau sedari tadi dirinya hanya bercanda dengan Bia.
“Korve? Apaan itu Kak? Istilah kimia ya? Atau fisika?” tanya Tasya bingung yang dibalas tawa berderai dari Egi.
“Aduh, Adek kecil. Kamu itu lucu banget ya? Bisa banget hibur Kakak. Korve itu kerja bakti bersama untuk membersihkan tempat yang kotor. Itu bahasa sederhananya,” ujar Egi sabar.
“Oh, ya maaf aku gak tahu, Kak. Ya udah Kakak jangan lupa makan ya?”
“Iya nanti habis apel malam,” ujar Egi santai yang tentu saja dibalas pertanyaan bingung dari mulut Tasya.
“Duh, lupa lagi, apel malam itu semacam kegiatan berkumpul untuk pengecekan pasukan, Dek. Bukan ngapelin cewek dan lain sebagainya. Bukan juga temannya anggur dan jeruk,” jelas Egi menahan geli.
“Ya ya ya, kayaknya aku harus baca kamus militer nih. Ya udah deh, aku belajar lagi ya?” pamit Tasya.
“Loh, bentar dong Dek. Kakak kan masih kangen sama kamu. Kita masih punya waktu 5 menit lagi,” ujar Egi menahan Tasya. Tasya mulai kesal karena dia tak suka waktu belajarnya diganggu.
“Kak Egi, dalam waktu 5 menit, aku bisa selesaikan 5 soal matematika. Udahan deh ya? Nanti malam lagi,” kata Tasya.
“Bukannya kalau malam kamu juga belajar,” balas Egi.
“Bukannya tugas pelajar ya belajar?” balas Tasya tak mau kalah. Egi menyerah dan mempersilahkan Tasya melanjutkan aktivitas belajarnya. Egi harus paham kalau kekasihnya itu masih anak sekolah yang cinta sekali dengan belajar.
“Ya udah deh, jangan lupa gosok gigi sebelum tidur ya, Dek? Salam buat Bia,” pesan Egi.
“Iya Kak, emangnya aku anak kecil yang perlu diingetin gosok gigi. Tenang aja lagi, Kak. Iya nanti aku sampaikan ya. Selamat apel dan selamat malam.” Natasya menutup telepon Egi cepat-cepat. Anak kelas 1 SMA itu memang tak suka diganggu waktu belajarnya.
“Kamu itu teleponan sama pacar apa berantem sih, Sya? Kok kamu kayaknya males gitu teleponan sama Kak Egi?” selidik Bia.
“Ya habisnya Kak Egi itu gak ada capeknya kalau telepon. Aku kan jadi gak bisa kerjakan soal-soal di buku,” jawab Tasya cuek, “oh ya, kamu dapat salam darinya,” ujar Tasya lagi.
“Iya, salam balik deh. Tapi kan soal-soal yang kamu kerjakan itu belum disuruh guru Tasya.”
“Ya kan gak ada salahnya aku kerjain duluan. Aku gak suka lihat bukuku bersih tanpa coretan,” ujar Tasya pelan. Bia tak lagi mengganggu aktivitas belajar Tasya. Dia tahu sahabatnya itu sangat gila belajar.
---
Berawal dari kagum, perasaan di hati Bia berubah pada sosok Egidio Satria, kekasih sahabatnya sendiri. Diam-diam, dia berteman dengan Egi di jejaring sosial. Lama kelamaan mereka bertukar nomor telepon dengan tujuan agar Egi tahu aktivitas Tasya tanpa mengganggunya. Lama-kelamaan Egi sering mencurahkan hatinya pada Bia tentang kecuekan Tasya. Bia yang memang punya segudang waktu luang, tentu saja selalu meladeni Egi.
Akhirnya rasa terlarang itu tumbuh di antara Egi dan Bia. Keduanya menjalin hubungan diam-diam tanpa sepengetahuan Tasya. Mirisnya, Bia tetap dekat dengan Tasya seperti biasanya. Bia tetap setia mendengar cerita Tasya tentang Egi. Tasya bilang Egi mulai menjauh darinya karena alasan sibuk. Jarak yang awalnya bukan masalah baginya, lama kelamaan sering menimbulkan perdebatan. Egi dan Tasya break sementara. Break sementara bukan berarti putus, itu menurut Tasya. Tapi, tidak dengan Egi. Dari sinilah, semua petaka itu terjadi.
“Andaikan sebuah masa lalu bisa diulang dan diubah!” gumam Bia sedih. Dia mengusap air matanya sendiri yang basah dirantau kesedihan.
***