"Mengajar PAUD, Bu?" tanyaku meyakinkan diri. Tanganku memilin ujung jilbab pink karena cukup terkejut.
"Hanya itu lowongan yang tersedia sekarang. Nanti kalau sudah ada perubahan, kamu bisa jadi pengajar di SMP atau SMA," jawab Bu Nurita Handoko, ketua Yayasan Pendidikan HF School.
Wanita yang terlihat berkelas di hadapanku ini, kembali membolak - balik halaman lamaran yang ada di tangannya. Sudah jelas di situ tertulis kurikulum Vitae milikku, Safira Khorunnisa. Seorang sarjana lulusan Pendidikan Matematika.
Suami beliau, Pak Handoko telah berjanji untuk memberikan pekerjaan di HF School, setelah aku lulus kuliah. Itu merupakan bagian perjanjian di masa lalu. Namun ternyata, keadaannya begini. Mau bagaimana lagi, kalau belum ada lowongan untuk guru matematika.
Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menerima tawaran itu dengan berat hati. Siapa tahu, nanti kalau ada lowongan, aku bisa ditempatkan sesuai dengan jurusan.
"Baiklah, Bu." Aku tersenyum pasrah.
"Bagus, kalau begitu kamu langsung saja ke Gedung PAUD, temui Bu Restu. Kepala sekolahnya. Berikan surat rekomendasi ini," kata Bu Nurita, sambil memberikan amplop coklat serta mengembalikan berkas lamaran padaku.
"Baik, Bu. terima kasih." Kuterima keduanya dengan senang hati.
"Selamat bekerja, ya." Beliau mengulurkan tangannya dan aku segera menyambutnya.
"Terima kasih banyak, Bu. Saya undur diri," pamitku, lantas berdiri.
Aku segera keluar dari ruangan Bu Nurita, yang berada di gedung paling depan kompleks sekolah. Kantor Yayasan Pendidikan HF School itu menaungi berbagai unit pendidikan. Mulai dari jenjang PAUD, pendidikan dasar SD, SMP, dan SMA. Yayasan tersebut berada dibawah perusahaan HF Corp.
Keluar dari gedung kantor Yayasan, aku melewati gerbang sekolah Paud dengan semangat yang tinggal setengah. Bayangan menjadi guru matematika, musnah sudah. Seandainya boleh, minimal mengajar SD masih mending, walau bukan jenjang SMP atau SMA. Lah ini PAUD. Apa yang kutahu tentang anak kecil-kecil itu?
Ah, sudahlah. Kutepis sendiri kekecewaan itu. Seharusnya aku banyak bersyukur, sudah mendapat pekerjaan. Meski melalui koneksi, setidaknya aku bisa membantu ibu.
Sebenarnya koneksi itu tidak kudapatkan dengan cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar. Kecelakaan yang merenggut nyawa Ayah empat tahun lalu adalah awal dari kompensasi ini. Hidupku rasanya hancur saat itu.
Masih kelas satu SMA, tapi Ayah meninggal karena kecelakaan. Beliau ditabrak oleh putra Pemilik HF Corp. Mereka meminta damai, dengan memberikan sejumlah uang santunan, juga menjamin biaya pendidikanku dan Zein hingga kuliah. Mereka juga menyediakan lapangan pekerjaan untuk kami.
Ah, seandainya saja aku boleh memilih. Aku lebih memilih Ayahku masih hidup. Tidak ada yang bisa menggantikan beliau, berapa pun jumlah uang untuk menggantikannya, itu tidak pernah sebanding.
Namun melihat keteguhan dan ketabahan Ibu, aku juga harus kuat. Alhamdulillah, lulus SMA aku diterima di universitas negeri dan lukis kuliah tepat waktu. Walau dijamin biaya pendidikan, tapi untuk hidup sehari-hari aku masih menggantungkan diri pada Ibu.
Setelah semester dua, barulah aku bisa meringankan beban beliau, dengan mengajar privat di sana sini.
Tidak terasa, sebentar lagi Zein juga masuk kuliah. Dia ingin mengambil jurusan teknik Informatika katanya. Semoga Allah melancarkan jalan adikku itu. Anak Sholeh yang selalu terlihat tegar itu, sangat rajin membantu ibu berjualan di pasar. Setelah pulang sekolah, dia langsung menuju toko kelontong sederhana peninggalan Ayah.
Alhamdulillah toko kecil kami itu selalu ramai pembeli. Mungkin Allah memberikan rizki lewat pintu itu.
Senyumku mengembang ketika teringat petuah Ibu, "Rizki itu sudah ditakar, kita hanya perlu berusaha menjemputnya saja."
Fira janji, jika nanti sudah mendapat gaji, akan meringankan beban Ibu. Minimal menggaji pelayan toko untuk bantu-bantu. Selama ini hanya Zein yang membantu, aku hanya bisa membantu ketika pulang sekolah, atau hari libur.
Suara riuh rendah anak-anak dari dalam kelas, membuyarkan lamunanku. Tahun ajaran ini akan segera berakhir. Kelas-kelas sudah mulai kosong.
Aku pun bergegas menghampiri ruangan dengan plang bertuliskan 'kantor kepala sekolah' begitu melihatnya.
Setelah sampai di depan pintu, aku memeriksa kembali penampilanku. Kemeja biru lengan panjang, rok hitam berpotongan A line, kurapikan kembali. Setelah siap, barulah aku mengetuk pintu.
"Permisi."
"Ya, silakan masuk," sahut suara wanita dari dalam.
Kubuka pintu kayu ini perlahan. , Dengan satu tangan mendekap berkas di d**a, aku masuk dengan jantung berdebar.
Seorang wanita duduk di balik meja, sibuk mengetik dan menghadap layar monitor. Usianya mungkin seumuran Ibu.
Aku tersenyum sembari mengangguk sopan. Lalu berjalan menghampirinya.
"Silakan duduk," kata Wanita itu.
"Terima kasih, Bu." Dengan jarak sedekat ini, terlihat jelas papan d**a bertuliskan Restu Aprillia yang tersemat di bajunya. Di bawah nama itu tertulis kata Kepala Sekolah.
"Ada yang bisa dibantu?"
"Saya Safira, Bu. Bu Nurita menyuruh saya untuk memberikan surat ini." Kuserahkan surat bersampul coklat dari Bu Nurita, beserta berkas lamaran.
Beliau menerima surat lamaranku dan langsung meletakkannya begitu saja tanpa melihat isinya. Sementara surat bersampul coklat itu langsung dibuka. Ibu kepala sekolah membaca isinya, kemudian tersenyum.
"Jadi begini, Fira. Unit sekolah PAUD membawahi PG dan TK. Ada satu kelas TK A dan satu kelas TK B, serta 1 Kelas Play Grup. Masing-masing hanya ada 5-7 siswa. Dari tiga kelas itu hanya ada 5 guru, kurang 1. Karena masing-masing kelas harus dipegang dua guru. Satu guru yang bertugas sedang cuti hamil. Bahkan saya sendiri harus turun mengajar," jelas beliau.
Aku hanya mengangguk mendengarkan penjelasan beliau.
Bu Restu melirik jam dinding. "Nah, untuk masa percobaan di tahun ajaran baru. Selama tiga bulan Bu Fira akan saya perbantukan mendampingi Bu Cahya wali kelas kelompok A. Mari saya antarkan ke ruang guru untuk perkenalan," kata beliau sambil berdiri.
"Oh, baik Bu." Aku cukup terkejut, begitu langsung diajak ke ke sana.
*
Tahun ajaran baru telah dimulai. Kehebohan selama seminggu begitu terasa di unit PAUD HF School. Siswa baru yang masih kolokan menjadi fenomena utama. Jeritan dan tangisan menghiasi setiap pagi. Awalnya memang cukup kaget, tapi lama-lama aku terbiasa juga.
Satu minggu telah berlalu. Sejauh ini aku tidak menemui masalah yang berarti. Berbekal buku-buku yang diberikan Bu Restu, aku mempelajari sendiri tentang psikologis anak usia dini. Selain itu, ada workshop sebelum ajaran baru yang diberikan oleh Bu Cahya, rekan guru di Kelompok A.
Beliau juga berpesan untuk lebih banyak menggunakan naluri keibuan saat menghadapi tingkah anak-anak yang unik.
Betul juga ternyata. Aku langsung mempraktikkannya begitu bertemu Ami. Gadis kecil yang menjadi salah satu siswa kelompok A itu, memang cukup istimewa.
Selain dia adalah cucu Bu Nurita, ketua Yayasan HF School, gadis kecil berambut pendek itu terlihat malu-malu. Namun setelah merasa nyaman, ternyata Ami cukup aktif. Dia suka main di luar dan tidak mau duduk diam. Bu Cahya pun cukup kewalahan menghadapinya. Sehingga aku pun ditugaskan khusus menemaninya bermain di luar sampai puas, baru mengajaknya masuk.
Sejak saat itu kami jadi.lebih dekat. Bahkan, dua hari lalu aku terpaksa harus menggendongnya seharian sampai pulang sekolah. Gara-garanya adalah pembelajaran tentang keluarga. Saat teman-temannya bercerita tentang Mama, Ami yang aktif tiba-tiba terdiam lalu menangis di pojokan. Barulah aku tahu, kalau ternyata Ami tidak tinggal dengan ibunya.
"Safira," panggil Bu Restu. Suara beliau yang khas, berasal dari pintu ruang sentra kreativitas.
"Ya, Bu?" sahutku, sambil menoleh. Pagi ini kelompok A akan belajar di sentra kreativitas. Jadi aku harus mempersiapkan alat ajar yang akan digunakan hari ini.
"Sekarang juga kamu ikut saya," kata Bu Restu lagi.
Aku meletakkan beberapa mainan yang sedang kususun, lalu mengikuti Bu Restu keluar kelas.
"Ada apa Bu?" tanyaku. Dengan tergesa aku berhasil menjajari Bu Restu. Kami tengah berjalan ke arah gerbang depan.
"Cucu Bu Nurita, ngambek," jawab Bu Restu. Ada nada jengkel dalam perkataannya barusan.
Sesampainya di depan gerbang, sebuah mobil sedan mewah terlihat terparkir tepat di depan. Terdengar suara tangisan khas anak kecil dari kabin penumpang di belakang.
Perlahan kaca jendela mobil itu turun. Hatiku rasanya sedih, melihat punggung gadis kecil yang bergerak karena menangis sesenggukan. Dia sedang memeluk erat seorang pria di dalam mobil.
"Ini, Bu Fira datang. Ayo, Ami sekolah dulu," bujuk Bu Restu, sambil membuka pintu mobil.
"Nggak mau! Ami ikut Papa. Ami ikut Papaaaaaaa!" jeritnya melengking.
Pria yang dipanggil Papa itu, akhirnya beringsut mendekati pintu dengan susah payah. Maklum dalam posisi menggendong anak kecil, dia harus menunduk dan keluar mobil.
Pria yang berpakaian parlente itu menatapku dengan tatapan datar. Wajahnya terlihat cukup muda sebagai seorang ayah dengan putri yang berusia empat tahun. Dia memberi isyarat padaku untuk mengurus putrinya yang sedang merajuk.
Baru kali ini aku melihat Ayah Ami, biasanya gadis kecil itu diantar oleh neneknya, Nyonya Nurita Rustam.
"Ami, ayo sama Bu Fira. Papa Ami harus kerja," bujukku sembari mendekat. Aku menyentuh punggung gadis kecil itu, dan mengelusnya perlahan.
"Nggak mauuuu! Ami ikut Papa!" jeritnya lagi.
"Salahku tadi pagi, bilang ke Nanny-nya mau keluar kota tiga hari. Dia dengar," jelas Hariz putus asa. Suara baritonnya, membuatku cukup terpana. Merdu.
"Oh, begitu," timpalku. Buru-buru mengalihkan pandangan dari tatapan Ayah Fira. Sorot matanya terlalu tajam, membuatku merasa tidak nyaman.
Aku segera bergerak ke belakang punggung Ayah Ami, mencari wajah mungil yang tersembunyi di lekukan leher sang Ayah.
"Ami, katanya sudah besar. Ayah harus kerja. Ami main sama bu Fira dulu ya," bujukku. Sengaja aku membuat kontak mata dengan putri kecil yang lincah itu. Tumben sekali dia merajuk seperti ini.
"Nggak, Ami mau sama Papa. Ami ikut Papa," jerit gadis kecil itu lagi.
"Apa bisa Bapak menemaninya masuk kelas sebentar?" tanyaku dari belakang punggung pria itu. Posturnya cukup tinggi, sehingga aku harus mendongak untuk menatap Ami.
"Oh, baiklah," jawab pria itu pasrah.
Aku tahu Ayah Ami pasti terpaksa menuruti permintaanku. Namun, jika tidak ikut ke kelas, kemungkinan kecil Ami mau lepas dari gendongannya. Sementara untuk.merebut paksa, akan membuat gadis kecil itu terluka. Maka satu-satunya cara adalah membujuknya dan mengalihkan perhatiannya.
"Waaah, Ami diantar Papa ke kelas," ujarku ceria, memberi tahu gadis itu, bahwa aku tidak akan mengambil paksa dirinya. "Ami mau diantar Papa?"
Gadis itu mengangguk. Setidaknya jeritan tidak lagi keluar dari mulut mungilnya.
"Silakan, Pak. Hari ini Ami belajar di sentra kreativitas," kata Bu Restu memotong perkataanku.
"Mohon maaf, saya harus menyelesaikan tugas lain, biar nanti diantar Bu Fira," lanjutnya berpamitan pada Ayah Ami.
"Iya, terima kasih, Bu," kata Papa Ami.
Setelah itu, Bu Restu menepuk pundakku, lalu pergi.
Aku mengangguk sopan padanya, tanda mengerti. Kemudian segera mengelus rambut Ami yang dipotong pendek. "Nah, ayo kita ke kelas diantar Papa ya?"
Gadis kecil itu mengangguk.
"Silakan, Pak. Sebelah sini kelasnya," ujarku menunjukkan jalan. Kami berjalan menuju sentra kreativitas.
Langkah pria di sebelahku ini, cukup lebar, jadi aku harus sedikit cepat untuk.menjajarinya. Untung saja, hari ini kau mengenakan seragam training olah raga.
Meski menatap lurus ke depan, ekor mataku bisa menangkap pandangan tajam Ayah Ami. Dia sesekali menoleh padaku, mungkin ingin tanya yang mana kelasnya.
Sesampainya di kelas paling ujung, aku mendadak berhenti.
"Di sini, Pak," kataku.
Ayah Ami pun.mengikutiku masuk ke dalam kelas.
"Nah, Ami sudah diantar Papa ke kelas. Bisa turun dulu? Kita tunjukkan boneka kaus kaki buatan Ami kemarin. Papa pasti ingin tahu kan?" bujukku, sembari menyentuh kepala dan juga tangan kecil Ami.
Ami menggeleng, tidak mau turun dari gendongan Ayahnya. Namun dia sudah tidak melekat erat seperti tadi.
"Boneka kaus kaki?" tanya Ayah Ami, sepertinya dia paham maksudku. "Seperti apa?"
"Nah, Papa pengen tahu tuh. Ami ingat nggak, kita taruh di mana?" pintaku pura-pura lupa.
Ami melihat padaku sejenak, seperti heran. Kemudian perlahan dia melepas pelukan pada ayahnya. Dengan satu tangan Ami menunjuk rak mainan.
"Oh, di sana ya?" ujarku seperti terkejut. "Ayo, Papa, sini. Di sini.mainannya," kataku lagi.
Pria itu pun melangkah menuju rak itu, sambil menggendong Ami.
Aku mengeluarkan kotak berisi aneka boneka kaus kaki. Kemudian meletakkan kotak itu di lantai yang beralaskan karpet.
"Nah, turun sini, yuk. Kita cari sama-sama boneka Ami," ajakku.
"Kita duduk di sana, ya," ujar Ayah Ami membeo. Dia mendekat, lalu berlutut di karpet. "Ami turun dulu, ya. Papa mau lepas sepatu," lanjutnya.
Ami pun turun, dan dengan cueknya duduk bersila di karpet. Sementara itu Ayahnya duduk bersila di sebelahku.
"Duh, susah nyarinya. Ami bantuin, Bu Fira, ya."
Gadis kecil itu pun menurut, tidak lagi memedulikan ayahnya lalu mengacak-acak isi kotak tersebut.
"Nah, Papa. Ami sangat pintar membuat boneka kaus kakinya. Nanti Ami bikin satu lagi buat papa, ya. Biar bisa main sama-sama," pujiku, dengan suara yang bisa didengar Ami.
Pria di sebelahku ini menoleh, kemudian kuberikan isyarat agar menimpali perkataanku.
"Oh, buat Papa ya? Ami mau bikin buat Papa?" sahut pria itu tanpa melepaskan tatapannya dariku.
Mendadak jantungku seperti berhenti, saat menatapnya. Buru-buru aku mengalihkan pandangan pada gadis kecil di hadapan kami.
Ami mengangguk, masih sibuk mencari boneka kaus kakinya. Begitu ketemu di bersorak, "Iniiiii!"
Bisa kulihat dari ekor mata, pria itu terkejut, lalu segera menguasai diri. "Bagus sekali," pujinya.
"Nggak, jelek!" kata Ami.
"Kenapa?" tanya Ayahnya.
"Matanya ilang," jawab Ami jujur.
Spontan aku tergelak, lalu buru-buru menutup mulut.
"Bu Pia, matanya ilang," lapor Ami, sembari menunjukkan satu mata boneka yang copot.
"Oh, iya. Biar Papa bantu pasang mata ya. Sebentar, Bu Guru ambil lem," kataku sembari meraih lem di meja.
"Ini." Kuberikan lem itu pada ayah Ami.
Pria itu bergeming menatapku.
"Bantu Ami memberikan lem, biarkan dia yang menempelkan matanya."
"Oh, iya." Dia seperti terkejut mendapat perintah seperti itu. Apa mungkin tidak ada yang berani menyuruhnya melakukan sesuatu? Ah, masa bodoh.
Ayah Ami segera melakukan tugasnya. Dia terlihat senang, bisa membantu putrinya mengelem mata boneka. Ami juga jadi lebih santai. Dia menikmati acara memperbaiki boneka dengan Ayahnya.
Aku pun tersenyum puas melihat keduanya.
"Jadiiiiii!" teriak gadis kecil itu senang.
"Wah, bagus. Ami memang pintar," pujiku.
Ami tersenyum lalu mengulurkan boneka itu pada ayahnya. "Buat Papa."
"Terima kasih," kata pria itu, lalu memakai boneka berbentuk gajah itu di tangannya.
"Halo, Ami, anak cantik. Papa kerja dulu, ya?" katanya dengan suara dibuat-buat. Tangannya menggerakkan boneka itu.
"Papa jangan lama-lama peginya ya," jawab Ami pada boneka itu, dengan pelafalan huruf r yang belum sempurna.
"Iya, Ami sekolah yang pintar sama Bu Guru, ya," kata ayahnya lagi melalui boneka tangan itu.
"Iya, Ami mau bawa Bu Pia pulang. Bial ada temannya," kata gadis kecil itu mengejutkanku
Lagi-lagi aku kelepasan tertawa. Masa aku mau dibawa pulang, emang aku boneka?
Namun, tawaku mendadak berhenti begitu Ayah dan anak itu menatapku aneh.
"Maaf," ujarku kikuk.
"Bu Pia ketawa. Bu Pia mau ikut Ami. Horeeee," celetuk Ami.
Ayah Ami hendak mengatakan sesuatu, tapi terdengar bel berbunyi.
"Nah, sekarang ayo kita senam dulu di luar, Biar Papa kerja." Aku segera berdiri. Rasanya seperti diselamatkan pada saat-saat yang genting. Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi permintaan gadis kecil ini.
"Horeeee, senam!" Gadis itu segera berdiri. Senam adalah salah satu kegemarannya, karena bisa bergerak sesuka hati.
"Papa antar ya," kata Ayah Ami ikut berdiri.
"Ayok!" Ami menggandeng ayahnya di tangan kanan dan tanpa bisa kutolak tangan kirinya menggandengku. " Bu Pia, kita sama-sama," katanya.
Aku hanya mampu mengangguk dan menatap Ami.
"Ami suka gandeng begini. Bu Pia sama Papa," celetuk gadis kecil itu ceria.
Celetukan gadis kecil itu, membuatku spontan mendongak. Mataku bersitatap dengan pria itu. Dia memandangku cukup lama, sampai-sampai debaran jantungku berlompatan saking kagetnya.
Ah, tidak! Dia pria beristri. Jangan kurang ajar, Fira! Aku mengingatkan diri sendiri.
Aku tersenyum pada Ayah Ami, lalu mengalihkan perhatian ke depan. Para siswa sudah mulai berkumpul di lapangan untuk senam.