Hariz - Mogok Makan

1706 Words
"... proyeksi ke depannya nanti, aplikasi kami akan meningkatkan daya serap produk perusahaan Bapak oleh pasar. Selain mudah diakses via mobile ..." Penjelasan project manager tentang peluncuran sistem pemasaran baru, hanya sepotong-sepotong saja kutangkap. Sebenarnya tidak ada yang baru bagiku. Semua metode itu telah aku rencanakan untuk digunakan tahun depan. Hanya saja, aku sedang mencari Vendor yang bisa memenuhi semua kriteria yang kubutuhkan. Namun sampai presentasi ke sekian, belum ada yang masuk dalam kriteria. Rasanya sia-sia aku datang memenuhi undangan ini. Mereka rata-rata menawarkan konsep yang sama, yaitu perluasan jaringan lewat market place. Tahu gitu, ku cancel saja ikut seminar ini. Apalagi pagi tadi harus melalui drama yang cukup menghebohkan dengan Ami. Ah iya, sudah hampir waktunya Coffee break. Aku belum mendapatkan kabar apa pun dari Bu Safira mengenai Amy. Dia masih rewel kah? Hmmm, ngomong - ngomong soal Bu Safira. Dia itu sudah menikah belum ya? Kelihatannya sih masih muda memang, tapi sudah bisa menangani anak kecil yang super aktif seperti bidadari ku itu. "Ada pertanyaan, Pak Hariz?" tanya moderator. Waduh, apa aku kelihatan melamun ya? "Ah, sudah cukup terima kasih," jawabku setengah gelagapan. Ternyata presentasinya sudah berakhir. "Baiklah Bapak-bapak pimpinan perusahaan yang terhormat. Untuk presentasi sesi satu, kami akhiri di sini dulu. Silakan menikmati Coffee break dan juga ishoma. Kita akan melanjutkan presentasi para vendor di sesi dua, pada pukul dua siang nanti. Terima kasih," ujar moderator mengakhiri. Kututup MacBook dan beralih ke ponsel. Aku ingin mendengar kabar dari Safira tentang Ami. Tapi, jam segini pasti putri kecilku sudah sampai di rumah. Akan ku video call saja nanti. Safira, Safira, Safira. Jariku scrolling di nomor kontak, mencari nama ibu guru Ami. Nah, ini dia. Segera saja jariku menekan ikon telepon. "Halo, assalamualaikum?" sapanya sopan di seberang sana. Tidak kusangka dia akan mengangkat telepon secepat ini. "Wa-waalaikum salam," jawabku terbata. Entah kenapa salam itu begitu kaku bagiku, mungkin karena selamat pagi, siang sore dan malam lebih familiar bagiku. "Ini Papa-nya Amira ya? Ada apa, ya Pak?" tanyanya lebih dulu. Tidak pernah ada yang berbicara sesantai ini padaku. "I-iya, saya Hariz, ehem." Aku mencoba berbicara seformal mungkin. "Em, saya hanya ingin tahu, apakah Ami rewel lagi setelah saya tinggal pergi tadi? Terus terang saja saya merasa tidak tenang. Belum pernah dia merajuk sampai menangis begitu," kataku. "Oh, itu. Alhamdulillah, Pak..Amira tidak rewel kok. Namanya juga anak kecil, pasti mencari perhatian dengan segala cara. Bapak tidak perlu khawatir, insyaAllah Ami baik-baik saja. Dia anak yang cerdas, jadi sangat mudah memberinya pengertian asal caranya tepat," jelasnya dari seberang. "Oh, begitu. Baiklah, terima kasih banyak Bu. Sekali lagi saya mohon bantuannya, jika Ami tiba-tiba tidak bisa dikendalikan seperti tadi. Entahlah, makin besar anak itu, saya semakin bingung menghadapinya," curhatku tanpa sadar. "Iya, Pak. Jangan khawatir, Bapak bisa minta bantuan kapan saja," katanya. Kapan saja? Ah yang bener? "Baik, Bu. Terima kasih," timpalku di mulut, berbeda dengan apa yang ada di pikiran. "Sama - sama Pak," jawabnya. "Selamat siang," salamku. "Siang." Dengan cepat kupencet tombol merah untuk mengakhiri panggilan. Setelah itu, aku mencari nomor khusus Ami. Dia memang tidak memegang sendiri iPad itu, tapi Winda yang mengontrolnya— Baby sitter yang menjaga Ami. iPad itu memang kusediakan agar aku lebih mudah berkomunikasi tatap muka dengan putriku. Karena itulah aku selalu menggunakan panggilan video call. Beberapa saat kemudian, video call pun terhubung. Terpampang wajah Winda dengan latar dinding di ruang tengah. "Selamat siang, Tuan Hariz," sapanya formal. "Siang. Mana Amy? Aku ingin bicara dengannya," pintaku "Maaf, Tuan. Nona Amy sedang tidur di kamar. Dia kelihatannya lelah sekali. Setelah pulang dari sekolah tadi, langsung makan dengan lahap, dan kemudian tidur," jawab Winda. "Mana? Aku mau lihat," desakku lagi. "Oh, baik Tuan. Sebentar," kata Winda yang kemudian mengubah tampilan menjadi kamera belakang. Dia terlihat berjalan menuju kamar Amy dan membukanya. Benar saja, di atas kasur berukuran Queen size itu tertidur pulas seorang anak kecil yang tadi pagi sangat rewel. Aku memang suka memandanginya jika sedang tidur seperti ini. Dia seolah mengingatkan kan pada diriku sendiri. Rapuh dan kesepian. "Baik, Winda, sudah terima kasih," kataku. Kemudian kamera pun beralih menyorot wajahnya. "Sama - sama Tuan." "Pastikan dia tidak rewel. Turuti saja apa maunya. Jika ada kesulitan kamu telepon neneknya. Aku akan pulang lusa, atau lebih cepat," jelasku. "Siap Tuan." "Oke, nanti kutelepon lagi. Aku ingin bicara dengan Amy, soalnya," kataku. "Tapi entah jam berapa. Tidak usah ditunggu." "Baik Tuan." Setelah itu aku pun memutuskan saluran video call. Setelah mengaktifkan silent mode, kuletakkan ponsel di meja. Tanpa kusadari, ruangan meeting ini ternyata cukup lengang. Sepertinya para peserta lain sudah ada di resto sekarang. Nanti saja aku ke resto kalau sudah sepi. Soalnya tidak seberapa suka berkumpul dengan para kolega dan ngobrol tidak jelas. Lagi pula aku juga belum terlalu lapar. Akhirnya kubuka kembali Mac Book, dan meneruskan beberapa pekerjaan yang tertunda. * Aku baru saja sampai di kamar hotel lima menit yang lalu. Setelah merebahkan diri di sofa, kubuka notifikasi ponsel khusus keluarga. Hanya orang - orang terdekat yang kuberi nomor itu. Selebihnya masuk ponsel bisnis, yang sama sekali kumatikan. Lima panggilan video call tak terjawab dari nomor Ami, dan empat panggilan dari Ibu mertuaku, Nurina Handoko. "Waduh." Segera saja kutelepon balik nomor ibu mertuaku. "Hariz, kenapa baru telepon?" ucapnya tanpa basa basi "Maaf, Ma. Meeting dengn vendor tidak bisa diganggu . Ini baru saja kembali ke kamar. Ada apa ya, Ma?" tanyaku. "Itu, si Ami dari tadi nangis terus minta telepon kamu. Sampai Winda meneleponku, dan aku datang ke rumahmu. Sekarang dia mogok makan," kata ibu mertuaku. "Oh, iya Ma, Maaf. Biar saya video call ke iPad nya saja," kataku sembari melepas dasi dan duduk di tepi ranjang. Pakaian formal ini sungguh menyiksa. "Iya telepon ke sana saja," ujar ibu mertuaku itu dan langsung menutup telepon. Aku segera saja menelepon Ami ke ipad-nya. Tidak lama kemudian, langsung muncul wajah gadis kecil itu di layar. "Papaaaaaaa!" teriaknya setengah merengek. "Halo, cantiknya Papa. Sudah makan belum?" tanyaku riang. Dia menggeleng. "Kenapa? Nggak suka makanannya ya? Ami pengen makan apa?" tanyaku lagi. Gadisku itu memonyongkan bibirnya. "Mau disuapi Papa," katanya. "Papa kan lagi kerja, tidak bisa pulang hari ini. Besok malam baru sampai rumah," kataku terus terang. "Nggak mau makan." Katanya tegas. Aku tersenyum melihat sikapnya, dia sama keras kepalanya denganku. "Nanti, sakit loh," kataku. "Nggak mau, pokoknya nggak mau. Mau sama Papa," ujarnya lagi. Kali ini dia merengek dan merebahkan diri di lantai. "Jangan gitu, Ami makan sama nenek ya?" sahut ibu mertuaku, yang tidak terlihat wajahnya di layar. "Nggak Mau! Maunya sama Papa," katanya lagi. "Sama Nanny, sambil.jalan - jalan ke taman?" sahut Winda juga, yang hanya terdengar suaranya. "Enggaaaakk!" "Papa nggak bisa pulang sayang, jauuhh banget dari rumah. Harus naik pesawat ke sana." Aku mencoba menjelaskan. Gadisku itu terdiam sejenak. Kemudian matanya melebar. "Sama Bu Pia!" soraknya gembira. "Hah?" Aku terkejut. "Siapa Bu Pia?" Sahut nenek Ami. "Bu Pia di sekolah Ami," kata Ami menjelaskan pada neneknya. "Bu Safira maksudnya. Guru kelasnya Ami," imbuh ku. "Oh. Itu guru baru kan?" kata mertuaku. "Saya tidak tahu, Ma. Tapi Ami kelihatan akrab sekali sama dia," jawabku. "Mau sama Bu Piaaaaaa!" teriak Ami mulai tantrum lagi. "Aduuhh, iya iya," ujar neneknya tidak sabar. "Hariz, kau punya nomor itu guru? Telepon saja sekarang. Tidak sanggup lagi aku mendengar teriakan Ami ini," kata mertuaku. "Iya, Ma. Saya telepon dia," kataku cepat - cepat. "Itu papamu mau telepon guru, diam dulu," ujar neneknya. Segera aku menekan ikon telepon tambah di sudut kanan video call yang sudah kulakukan dengan Ami. Kemudian kutambahkan nomor Bu Fira dalam video call grup. Tidak berapa lama kemudian layar ponselku terbagi menjadi dua. Di sebelah layar Ami muncul layar baru yang menampakkan wajah guru berjilbab ungu muda itu. "Bu Piaaaaaa!" teriak Ami spontan. "Halooo, Ami," sapanya yang sama cerianya dengan Ami. Kemudian dia beralih mengangguk sopan padaku, "Pak?" "Maaf, saya menggangu, Bu," kataku sungkan. "Oh, tidak apa-apa, Pak. Ada apa ya?" tanya nya serius. "Saya mau minta tolong, Bu. Karena belum bisa pulang, apakah ibu bersedia ke rumah? Si Ami mogok makan, dan katanya hanya mau makan bersama Bu Fira," jelasku. "Hmmm, makan sama Bu Pia," ujar Ami menggaris bawahi perkataan ku. "Aduh, gimana ya, Pak. Saya ..." Sebelum Bu Fira menyelesaikan kalimatnya, nenek Ami langsung merebut iPad dan wajahnya muncul di layar. "Sebaiknya kamu bersedia, Fira. Kamu tahu kan, siapa saya?" Aku terkejut melihat wajah ibu mertuaku yang tiba - tiba muncul itu. Lebih - lebih, wajah Bu Fira yang terlihat lebih terkejut lagi. Yah, tapi memang begitulah karakter Nyonya Handoko. Dia selalu mendapatkan apa pun yang dia mau, meski dengan menggunakan kekuasaannya. "Iya, Bu Nurita. Saya bersedia, tapi saya tidak tahu rumah Ami," kata Bu Fira yang terlihat gugup. "Jangan khawatir, nanti kami kirimkan sopir untuk menjemput dan mengantar Anda. Berikan saja alamatnya," sahutku, agar nenek Ami tidak makin berang. "Nenek, siniiii, aku mau liat Bu Pia sama Papa," ujar Ami yang segera mengambil kembali iPad dari tangan neneknya. Sekarang wajah Ami kembali menghiasi layar ponselku. Aku tersenyum padanya. "Eh, iya Pak. Saya chat Ke mana ini alamat kosan saya?" tanya Bu Fira, yang seketika membuatku sadar, kalau di masih di sana. Aku jadi kikuk. Khawatir dia menyalah artikan senyumanku barusan. "Ke nomor saya saja." "Bu Pia ke sini yaaaaa!" teriak Ami. "Iya, nanti ya," kata Bu Fira pada Ami sambil tersenyum. Ah, kenapa aku sekarang jadi merasa aneh. Sebaiknya segera kuakhiri video call yang bikin pusing ini. "Sudah dulu ya, semua," tukasku. "Dadah Papa!" kata Ami. "Dah!" jawabku singkat. Aku tidak ingin terlihat konyol di depan guru Ami. "Dadah Bu Pia!" kata Ami lagi. "Dadah, Ami sayang. Assalamualaikum," katanya. "Waalaikum salam," jawab Ami. Seketika itu langsung kuakhiri panggilan. Ah, kikuk sekali jadinya. Suara notifikasi chat Wa, tiba-tiba mengagetkanku. Ternyata dari Bu Safira. Dia mengirimkan alamat rumah. Segera saja kutelepon Pakde alias Pak Dewo, sopir pribadiku. Pria paruh baya itu sudah menemaniku selama bertahun -tahun. Anggap saja, dia orang yang kupercaya. "Iya, Bos?" sapanya setelah telepon tersambung. Padahal sudah kukarang memanggilku Bos, tapi tetap saja begitu. "Pakde, minta tolong jemput gurunya Ami. Nanti alamatnya ku chat. Pakai google map aja nyarinya. Nanti antarkan pulang juga." "Siap, Bos. Namanya siapa ya, guru les yang baru ini?" tanya Pakde. "Namanya Bu Safira. Dia guru yayasan kok, bukan guru les," jelasku. "Oke siap Bos." Setelah menutup telepon, aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD