Suara hak sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer di gedung HF Corp itu menggema, begitu Hariz Sofyan melangkah cepat keluar dari lift. Dia harus bergegas ke ruangan yang memiliki plang bertuliskan 'Direktur Utama'. Baru saja sekretarisnya menelepon dan mengatakan bahwa Nyonya Nirina datang dan menunggu di sana.
"Sudah lama?" tanya Hariz begitu melihat Rahma berdiri.
"Lima menit yang lalu, Pak," ujar sekretarisnya yang sengaja menunggu di luar.
"Tahan semua telepon dan orang yang ingin bertemu denganku. Tolong pesankan minuman untuk kami," kata Hariz sebelum membuka pintu.
"Baik, Pak."
Tanpa menunggu lagi, Hariz membuka pintu. Wajahnya yang tegang dibuatnya sesantai mungkin saat menyapa Nirina. "Kejutan yang menyenangkan," ujarnya.
Nirina yang duduk di sofa, menoleh. "Apa kabar, Hariz? Masih sibuk dengan urusan bisnis?" tanyanya.
"Begitulah, ada apa? Kenapa kau mendadak kemari?"
Suasana formal yang tercipta antara kedua orang itu memang telah lama terjadi. Tidak ada kedekatan emosional, hanya sebuah hubungan dengan status yang disahkan oleh payung hukum, menetapkan mereka sebagai sepasang suami istri.
Ijab kabul yang diucapkan Hariz delapan bulan yang lalu itu, merupakan bagian dari kesepakatan bisnis antara Ayah Hariz dan Ayah Nirina. Keduanya ingin HF Corp terus berada di tangan keluarga sebagai pemegang saham terbesar, dan menunjuk Hariz sebagai ujung tombak bisnisnya.
Nirina tidak banyak berubah setelah melahirkan sebulan lalu. Kelebihan beberapa kilo berat badannya akan bisa dieliminasi dengan oleh raga. Namun, gurat kesedihan yang selalu menggelayuti wajahnya, terlihat makin jelas.
"Aku ingin kita bercerai," ujar ibu muda itu singkat.
Hariz menghela napas. Otaknya yang hanya berisi perhitungan laba rugi, planning pengembangan bisnis, juga program aplikasi penunjang, mendadak berhenti beroperasi. Hanya satu bagian kompartemen kecil dalam otaknya yang berisi tentang pernikahannya dengan Nirina. Ditambah satu ruang kecil lagi yang baru tercipta untuk Amira Sofyan, bayinya yang baru lahir sebulan lalu.
"Kenapa tiba-tiba begitu?" tanya Hariz datar. "Kukira selama ini pernikahan kita tidak ada masalah. Kau tidak kekurangan suatu apa pun bukan?"
Nirina menatap suaminya itu lurus-lurus. Tidak ada sedikit pun emosi terlihat di sana. Dia selalu saja bermuka datar dan menganggap semua masalah hanya berhubungan dengan materi. Karena itulah Nirina tidak pernah bisa mencintainya. Semua yang ada pada Hariz seperti hanyalah formalitas dan kebiasaan rutin yang sudah semestinya.
"Aku tidak mencintaimu," kata Nirina.
"Iya, aku tahu. Dan itu bukan masalah besar selama ini. Kita tetap bisa hidup berdampingan. Apalagi sekarang ada Ami. Keluarga kita sudah sempurna. Aku bekerja mencukupi semua kebutuhan kalian, kau bertugas mengurus rumah dan Amy. Lalu, di mana masalahnya?" tanya Hariz.
Nirina tidak tahan lagi. "Kau perlakukan aku seperti properti, bukan istri. Aku punya banyak keinginan, dan sama sekali kau tidak peduli. Kau hanya peduli pada Ami!" teriaknya.
"Apa maksudmu? Bukankah semua keinginanmu telah kupenuhi? Baju, perhiasan, mobil, pelayan, waktu ke salon, uang?" bantah Hariz, masih dengan nada datar.
"Semua materi itu tidak memberiku kebahagiaan, Riz. Aku ingin disayangi, dipedulikan, bukan hanya dianggap sebagai bagian pelengkap keluarga! Aku tidak tahan lagi, aku ingin pisah denganmu!" Nirina semakin frustasi.
"Itu tidak masuk akal, Nirina. Aku menyayangimu, bahkan mengabulkan permintaanmu agar tidak menyentuhmu lagi saat masih hamil. Jika kau ingin, kita bisa melakukannya—"
Nirina berdiri seketika. "Stop! Kau memang bodoh, Riz! Aku ingin bercerai, titik!" Dia melangkahkan kakinya, beranjak pergi.
"Tunggu!" Hariz mengejar, dan berhasil menangkap tangan Nirina. "Kita tidak bisa bercerai. Perjanjian pranikah dan kontrak yang dibuat kedua ayah kita—"
Hariz tidak melanjutkan perkataannya, setelah Nirina mematung. Dia tahu pernikahan mereka berdua hanyalah sebuah perjanjian yang diatur oleh kedua pihak. Semua demi HF Corp.
Nirina melepaskan tangan Hariz, lalu berbalik menghadap suaminya. "Kau tidak perlu mengingatkanku pada kesalahan terbesar yang kubuat seumur hidup."
Setelah mengatakan itu, Nirina membuka pintu ruangan dan pergi meninggalkan suaminya. Ya, titel suami yang hanya berlaku di atas kertas.
Semua bermula dari HF corp (Handoko-Fajar Corporation) yang dirintis puluhan tahun lalu. Ayah Nirina, Rustam Handoko memang kaya dan memiliki banyak harta warisan, tapi tidak pandai mengelola bisnis. Sementara Fajar Sofyan ahli dalam bisnis dan sedang merintis sebuah perusahaan tapi terkendala modal. Keduanya akhirnya bekerja sama, hingga lahirlah HF Corp dan berkembang menjadi sebuah perusahaan besar.
Pengelolaan HF Corp di bawah kepemimpinan Fajar memang menghasilkan banyak keuntungan. Oleh karena itu, mereka pun berniat menerbitkan saham dan menjualnya ke pihak lain. Namun untuk menyiasati agar tidak dikuasai pihak lain, maka kedua sahabat tersebut membuat perjanjian itu.
Nirina sadar betul bahwa Ayahnya yang cukup santuy tidak akan memintanya melakukan hal yang tidak diinginkan. Beliau selalu ingin hidup santai dan menyerahkan semua urusan bisnis pada sahabatnya. Akibatnya ketika Fajar meninggal, maka otomatis perjanjian itu pun berlaku.
Karena berhubungan dengan keberlangsungan finansial keluarga, sehingga mau tidak mau Nirina harus berkorban. Jika pernikahan itu tidak berlangsung, maka seluruh saham milik ayahnya menjadi milik Hariz. Mengetahui hal ini Nurita, ibunya marah habis-habisan, dan semakin menekan Nirina.
Gadis itu akhirnya pasrah dan menikah dengan Hariz. Namun, semua impiannya menjadi sebuah keluarga yang sempurna musnah. Sosok Hariz Sofyan sangat jauh dari suami idaman Nirina. Dia sangat kaku, seolah semua hal di dunia ini sudah berjalan sesuai ketentuan. Tidak ada waktu untuk mereka dekat secara emosional, karena Hariz terlalu sibuk mengurus perusahaan.
Tekadnya sudah bulat. Biarpun Hariz tidak menyetujui perceraian itu, dia tetap akan pergi. Toh, Gilang tidak menuntutnya untuk meresmikan hubungan mereka. Satu hal dalam benak Nirina, dia harus bahagia bersama cintanya.
Sesampainya di lantai bawah, Nirina segera mematikan ponsel dan membuang kartunya. Dia mengambil satu ponsel lagi, lalu menelepon.
"Mon cherrie. Aku berangkat sekarang. Sampai ketemu di sana," kata Nirina.
*
"Bagaimana Ami?" tanya Hariz begitu sampai di rumah.
Pria itu baru saja pulang dari kantor, setelah seharian bekerja. Meeting yang sempat tertunda gara-gara kedatangan Nirina sore tadi, ternyata membutuhkan waktu sampai habis magrib. Akibatnya, dia baru bisa pulang setelah isya.
"Baru saja saya tidurkan, Tuan," jawab pelayan yang kemudian menutup pintu.
"Nyonya ke mana?" Haris duduk bersandar di sofa sambil melonggarkan dasi, lalu melepas sepatu.
"Nyonya tidak ada di kamarnya, Tuan. Sejak sore tadi beliau pergi dengan membawa koper," kata pelayan itu lagi, takut-takut.
"Koper?" tanya Hariz. Merasa ada yang tidak beres, dia segera mengambil ponsel dari dalam saku dan segera menelepon Nirina. Tidak aktif.
Hariz segera masuk ke kamar untuk memeriksa. Dia pun hendak ganti baju, lalu ingin segera melihat Ami.
Benar saja, meja rias yang digunakan Nirina telah kosong. Macam-macam make up yang biasa memenuhi meja itu lenyap. Hariz beralih ke lemari. Sama, baju-baju Nirina lenyap.
Hariz yang sedang panik, segera menelepon mertuanya, Nurita Handoko. Hariz yakin, beliau pasti tahu sesuatu.
Setelah telepon terhubung, suara khas wanita sosialita di seberang segera menjawab.
"Halo, Hariz. Ada apa Nak?"
"Nirina di sana, Ma?" tanya Hariz to the point.
"Tidak. Cuma, tadi sore dia kemari. Dia bilang ingin balik ke Paris, melanjutkan bekerja sebagai desainer," kata Nurita santai. Seolah itu adalah hal yang wajar.
"Oh, begitu," kata Hariz sedikit geram. Namun dia tidak ingin membuat ibu mertuanya tahu, jika pernikahan mereka tidak baik-baik saja. Bahkan membuat Nirina meminta cerai. Itu adalah aib, yang m*****i kesempurnaan bagi keluarganya.
"Loh, kalian ini bagaimana? Kukira dia pergi sudah seizinmu? Kalian ada masalah?" sahut Nurita gusar.
"Tidak, Ma. Tidak ada masalah. Biar saja dia pergi. Sudah, ya. Saya baru pulang kerja, kita bicara lagi nanti," tukas Hariz.
"Baiklah, jaga dirimu. besok aku ke sana melihat cucuku," balas Nurita yang kemudian menutup telepon.
Hariz duduk di pinggir kasur, merenungi sikap Nirina. Dia sama sekali tidak menyangka jika istrinya itu serius ingin meninggalkannya. Dengan kesal, dihempaskannya ponsel ke kasur. Usai sudah semuanya. Tidak ada lagi keluarga sempurna.
Hariz pasrah, tapi enggan mengurus perceraian itu. Dia akan membiarkan Nirina semaunya, tapi mereka tidak akan bercerai sampai kapan pun. Dia tidak ingin Ami seperti dirinya, tidak punya Ibu.
Hariz menyisir rambutnya dengan jari, lalu merebahkan diri di kasur. Sembari memandang langit-langit kamar, dia mendadak teringat pada Ami. Bayi kecil itu harus menginap seminggu di rumah sakit setelah dilahirkan. Dokter bilang dia prematur. Setelah pulang ke rumah pun, Nirina enggan menyentuhnya. Dia bilang sangat kesakitan usai operasi Sesar, bahkan tidak mau menyusui Ami. Ibu mertuanya sampai kelimpungan mencari baby sitter.
Segera Hariz bangkit, lalu berdiri dan menghampiri kamar Ami di sebelah. Ada sebuah pintu penghubung yang memang dibiarkan terbuka. Hariz perlahan mendekati ruangan temaram itu. Dekorasi lucu dan lembut mendominasi dinding dan langit-langitnya. Langkah kaki Hariz berhenti di sebelah box bayi yang terbuat dari kayu itu.
Sesosok bayi mungil sedang tidur di sana. Wajahnya yang imut dan lucu terlihat damai. Sesekali tangan kecil itu bergerak.
"Tidurlah, Sayang. Ada Papa di sini. Papa janji, akan menjagamu. Kamu tidak akan sendirian. Mama sedang kerja, mungkin akan lama kembalinya," bisik Hariz sambil menggoyangkan boks itu.
Bayi kecil itu kembali tenang, seiring dengan tatapan sayang dan belaian lembut dari tangan papanya.