The House Keeper

1366 Words
Caroline membenci pelayan yang suka bergosip, terutama di pagi hari. Queen Manor masih belum mendapatkan ketenangan seperti ketika Thomas masih hidup. Dua orang pelayan, Emily dan Maria, berbicara di dapur sambil mengupas kentang. Mereka tidak menyadari kehadiran kepala rumah tangga yang sudah lima menit berdiri di belakang mereka. Si tukang masak telah berkali-kali melirik dan memberi isyarat samar. Tetap saja kedua gadis belia itu tidak berhenti bicara tentang apa yang terjadi pada Sarah, dan apa yang mungkin dilakukan Sarah terhadap almarhum majikan mereka dulu. Perempuan setengah baya itu menjewer telinga Emily si tukang gosip dan Maria si hobi menyulut pertengkaran. Lalu ia menarik napas panjang dan memuntahkan omelannya. "Apa kalian pikir kalian digaji untuk bergosip? Ini peringatan pertama dan tidak akan ada yang kedua. Kalau kalian kedapatan berbicara omong kosong di rumah ini, kalian akan kutendang ke jalanan. Camkan itu!" Kedua pelayan itu terisak mendengar ancaman Caroline. Mereka tahu, kepala rumah tangga yang telah menghabiskan masa mudanya dengan mengabdi pada keluarga Queen ini tidak pernah main-main dalam ucapannya. Para pelayan lebih takut pada Caroline ketimbang majikan mereka. Perempuan itu mendapat hak khusus untuk mengatur rumah tangga Queen Manor, memecat pelayan lama dan mendatangkan pelayan, mengatur menu hidangan, dan semua t***k bengek yang menyangkut rumah dan isinya.  Puluhan tahun bekerja, Caroline tidak pernah menyalahgunakan wewenangnya. Itulah mengapa almarhum Thomas dan Ariana, sangat percaya dan mempertahankan Caroline yang terkenal bermulut pedas namun aslinya penyayang dan jujur. Ia tumbuh dewasa bersama tiga putra Queen, dan sudah seperti saudara perempuan bagi mereka, walaupun Caroline tetap sadar posisinya, ia hanya seorang karyawan dalam keluarga itu.  Caroline sibuk mengatur hidangan sarapan ketika Patricia keluar dari kamar dan mendekatinya. Pikirannya mendadak siaga menyadari gerak-gerik Patricia yang agak mencurigakan.  "Carol, ikutlah ke dalam, kami ingin bicara denganmu," ujar ibu Robby menjentikkan jarinya dengan anggun. Caroline tidak mempunyai jawaban terbaik selain menuruti perkataan perempuan itu. Dalam ruang tengah yang tampak suram di pagi hari dingin, sudah berkumpul semua orang kecuali Robby. Caroline yakin dokter muda nan bengal itu masih meringkuk dalam ranjangnya di lantai tiga. Begitulah kelakuannya ketika di rumah, tidur berkepanjangan seperti beruang yang sedang hibernasi. Ia hanya turun saat telah menuntaskan tidur tak kurang dari empat puluh delapan jam, dan benar-benar dalam kondisi kelaparan. Lalu setelah puas mengisi lambungnya yang kosong ia akan kembali tidur, dan baru mulai beraktifitas seperti layaknya orang normal setelah hari kelima di rumah. "Duduklah, Carol." Kali ini John yang berbicara. Sorot matanya menandakan kelelahan akibat kurang tidur. Ia harus tetap mengerjakan tugasnya sebagai pimpinan di perusahaan, menghadapi kasak kusuk yang beredar di antara karyawan mengenai pergantian pimpinan mereka, juga desakan dari wakil pemegang saham luar yang menanyakan kepastian gosip yang beredar itu. Belum lagi, anggota keluarga yang juga turut mendesaknya segera mengambil tindakan untuk masalah warisan ini.  Caroline duduk di sofa panjang, di tengah antara Diana dan Matthew yang duduk dengan sikap malas. "Baiklah, apa yang bisa kulakukan untuk kalian?" kata perempuan itu sinis. Pekerjaannya masih menumpuk dan menanti untuk segera diselesaikan. Ia tidak ada waktu untuk bersantai sekalipun Tuan Thomas telah beristirahat dengan tenang di samping istrinya. Matthew menyeringai. "Kau tak perlu membuat jarak dengan kami, Carol. Itu tidak seperti dirimu yang biasanya. Kami masih tetap teman dan keluargamu, oke?" "Yeah, itu pasti, Matt. Tapi kalian memanggil dan mendudukkan aku dalam suasana canggung seperti ini. Membuatku seperti pesakitan saja. Dan kau tahu? Pekerjaanku menumpuk di belakang sana. Belum lagi, Tuan Eddy Parker kemarin menelepon akan datang makan siang di sini hari ini," cecar Caroline, ia benar-benar kesal Queen bersaudara telah menyita waktunya begitu banyak. "Eddy mau datang? Buat apa?" John bertanya kebingungan. "Maaf, Ayah, semalam Carol memberitahu padaku dan aku lupa menyampaikannya. Ia, maksudku, Eddy Parker menelepon kalau ia mendapat sebuah surat dari Kakek. Eddy ingin membacanya di depan kita semua, termasuk, yeah, termasuk Sarah." Brian salah tingkah, ia mengacak-acak rambutnya, menyadari kesalahannya tidak menyampaikan informasi penting pada orang tuanya di saat seperti ini. Laki-laki itu tipe yang selalu bertindak seenaknya sendiri. Kemewahan yang didapat dari sejak ia masih menjadi janin dalam kandungan ibunya, membuatnya terkadang tidak pernah berpikir panjang. Menganggap segala hal dapat diselesaikan dengan mudah selama uang masih memegang kendali di dunia. Ia meremehkan hal-hal seperti sopan santun, kejujuran, kepercayaan, atau strategi penting dalam merebut hati orang lain melalui kebaikan hati. Kenyataan paling miris adalah sang ibu yang selalu menampilkan sosok malaikat selalu membenarkan tingkah laku anaknya itu. John mengernyitkan keningnya, rambutnya memutih lebih banyak dalam tiga hari terakhir ini. Ia berpikir harus menyiapkan keluarganya kalau-kalau Eddy Parker membawa berita yang lebih buruk lagi. Baginya, ayahnya telah bertindak sangat keterlaluan dan tidak menghargai dirinya sendiri ketika mengubah surat wasiatnya itu. Semua anggota keluarga telah berbuat yang terbaik agar klan Queen tetap menjadi penguasa terbesar real estate di seluruh Washington dan merambah ke negara bagian lain. Tidak ada satu dari mereka yang telah berbuat onar dan mencoreng nama baik keluarga. Yeah, mungkin Matthew melakukan satu dua kesalahan dalam hidupnya. Tapi toh, dia masih dalam batas yang wajar. Skandal perempuan tidak mungkin bisa dipisahkan dari seorang lajang kaya raya. Matthew tidak pernah terlibat dalam perdagangan n*****a atau berinteraksi dengan mafia. Ia bersih. Masih bisa bekerja dengan baik selepas rehabilitasi alkohol di masa remaja dan tuduhan palsu yang dilontarkan dua orang model akibat sakit hati dicampakkan. "Oh, ayolah, Tuan John. Bisakah kita mulai entah apa urusan yang mengharuskan aku duduk di sini ini?" Caroline sudah tidak sabar menunggu, pikirannya terlalu sibuk merencanakan hukuman buat Emily dan Maria. Sarah telah lebih dulu bekerja di Queen Manor jauh sebelum kedua pelayan itu. Bukan hanya itu, gadis itu sangat sabar menghadapi Tuan Thomas. Memapahnya, membantu majikannya membersihkan tubuh, menyuapinya, memeriksa kondisi fisiknya setiap jam, menemaninya jalan-jalan, dan yang terpenting mendengarkan ocehan lelaki tua tentang segala uneg-uneg di kepalanya. Bahkan Caroline sendiri pun terkadang tidak sabar menghadapi majikannya itu dan membenci kasih sayang yang berlebihan yang ditunjukkan Tuan Thomas pada Brian yang kerap melampaui batas. Lihatlah Brian sekarang, manja, tidak tahu sopan santun, meremehkan orang lain, dan Carol pun tahu apa yang dilakukan lelaki muda itu kemarin sebelum pemakaman kakeknya. Mengotori ruang perpustakaan dengan perbuatan m***m! "John, apa tidak sebaiknya kita tunda pembicaraan ini sampai nanti siang? Kupikir, aku lebih ingin mengetahui apa yang akan disampaikan Eddy daripada menahan Carol lebih lama." Patricia membuka mulutnya yang sejak tadi terkunci rapat. Ia menyesali putranya tetap tidak mau bangun dan mengikuti rapat keluarga ini. Padahal ini semua menyangkut masa depannya. Patricia sendiri, enggan terlihat sangat menginginkan harta lebih banyak lagi. Gengsinya terlalu tinggi untuk hal itu. Kenyataannya ia masih memiliki dukungan dari orang tua kandungnya sebagai jaminan masa depan. Semoga saja resesi tidak melanda Amerika, sehingga ia masih bertahan hidup dengan harta warisan yang tidak seberapa itu. Diana mengangguk, "kurasa benar apa yang dikatakan Patricia, Sayang. Sebaiknya kita tunda dulu pembicaraan ini. Kasihan Carol, ia sudah tidak sabar mengatur menu santap siang. Apa yang akan kau hidangkan nanti, Carol?" "Yeah," jawab Caroline menggedikkan bahunya. "Cuaca masih sangat dingin hari ini. Aku sudah meminta tukang masak membuat sup jagung, iga panggang, dan casserole. Apa ada lagi yang kau inginkan, Diana?" "Sepertinya lezat," sahut Patricia. "Bisakah kau buatkan bacon agar beruang besar yang sedang hibernasi di atas mencium baunya dan segera bangun?" "Ya, ya, tentu saja akan kubuatkan." "Baiklah, Carol, kukira kami telah menyita waktumu terlalu banyak. Kita akan bicarakan lain waktu. Dan, oh, bisakah kau menghubungi Sarah dan menyuruhnya kembali ke sini? Aku tahu kemarin dia bilang ingin pergi selama satu minggu. Tapi toh kenyataannya Eddy juga ingin menemuinya hari ini. Benar begitu kan, Brian?" John melirik putranya yang langsung dijawab anggukan oleh Brian. Caroline mendengkus kesal. Waktu begitu cepat dan hanya dibuang percuma. Ia tahu pasti masalah Sarah yang akan dibicarakan oleh keluarga Queen tadi. Apapun itu, Caroline akan berdiri di belakang Sarah. Gadis itu sangat lugu untuk berbuat jauh seperti yang telah dituduhkan semua orang padanya.  Tapi, benarkah seperti itu? Apakah dirinya membela Sarah hanya karena mereka memiliki kesamaan latar belakang? Gadis yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan? Apakah gadis itu benar jujur hati dan tulus perbuatannya? Tidakkah dirinya telah bersikap subyektif dan mengesampingkan fakta-fakta yang tertutupi? Caroline Johnson menggeleng kuat-kuat, menyingkirkan keraguan yang barusan menghantam pikirannya. Tidak, gadis itu tulus. Tuan Thomas pasti mengetahui kalau Sarah bukan gadis yang jujur, pikir Caroline. Dengan gemas, ia menekan tombol pesawat telepon dan menghubungi Sarah. Ia ingin masalah ini segera berakhir dan Queen Manor kembali mendapatkan ketenangannya. Siapapun pemilik rumah ini nantinya, Caroline siap melayani hingga ajal menjemputnya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD