The Grief Day
Sarah Lane merapikan rangkaian bunga lili putih yang diletakkan persis di depan pintu utama. Anggun menyambut tamu-tamu pelayat yang datang, dalam vas kristal besar di atas meja credenza rosewood berukir bunga lili, berlatarkan dinding foyer berwarna hijau tua, tempat tergantungnya kanvas dengan bingkai berukuran 180x120 cm, foto Thomas dan Ariana Queen. Ia melihat sekeliling area foyer, memindai melalui kedua matanya yang sayu, mencari-cari sesuatu yang perlu disempurnakan. Selama lima tahun terakhir, Thomas Queen memaksanya untuk bekerja tiga kali lebih keras dari biasanya. Melakukan pengecekan berulang kali, memastikan tidak ada kesalahan atau kecerobohan dengan alasan remeh temeh. Tidak ada hal semacam itu dalam kamus hidup si tua Thomas.
Sarah mendesah, baru lima belas jam sejak dinyatakan meninggal oleh dr. James Graham, ia sudah merindukan kakek tua itu. Kakek. Sebutan yang selalu ia impikan ketika mengurus Thomas. Tentu saja ia tetap memanggilnya Mr. Queen dengan cara yang paling sopan!
Sarah menggeser langkah kakinya perlahan menuju ruang tengah. Ruang multifungsi. Dalam keadaan normal, ruang ini akan terbagi menjadi tiga ruang yang lebih kecil. Sebuah ruang penerima tamu dengan sofa klasik besar berbahan kulit dari pengrajin Italia, ruang keluarga bergaya Mediterania, berukuran dua kali dari ruang tamu dan cukup leluasa menampung dua buah sofa, dan sebuah ruang makan yang khusus digunakan bila menjamu tamu. Saat ini, sekat ketiga ruang tersebut dibuka lebar, dan menjadi satu buah ruangan yang sangat besar. Perapian di tengah ruangan, membagi jendela-jendela lebar yang menyingkap pemandangan ke arah taman dalam jumlah yang sama. Tiga buah sofa set serta satu set meja makan panjang berisi empat belas kursi, ternyata tidak cukup menampung seluruh pelayat yang hadir. Banyak yang memilih berdiri, bercakap-cakap dengan kolega yang mereka kenal, sesekali menyesap anggur yang dibawakan pelayan dalam piala kristal berkaki ramping.
Pada sisi dinding yang berbatasan dengan foyer, sebuah meja pinus tua menopang peti penuh ukiran lili. Di sanalah, Thomas Queen terbaring dalam kedamaian yang selalu dirindukannya. Sarah tersenyum, sudahkah kau bertemu dengan Mrs. Queen-mu tercinta? bisiknya dalam hati, sambil melemparkan ciuman jauh untuk tubuh yang telah terbujur kaku.
Setelah puas memandang Thomas Queen yang terbaring gagah dalam balutan jas putih dan buket bunga lili di tangannya, Sarah menangkap sesuatu dari ujung matanya. Di sisi kanan Queen Manor, pintu masuk ke ruang kerja, ruang tamu khusus, dan perpustakaan pribadi Thomas sedikit terbuka. Dengan cepat, kakinya melangkah ke sana. Suara-suara tertahan terdengar dari dalam ruangan. Ia tahu betul suara siapa di dalam ruangan yang memiliki dinding berlapis kedap suara itu. Dia Brian Queen, cucu kesayangan Thomas. Sarah menajamkan matanya, menembus ruang gelap melalui celah pintu yang terbuka. Tak salah lagi, itu Lisa, asisten Eddy Parker dari kantor hukum Parker&Parker, pengacara keluarga Queen.
Tuhan, lelaki itu benar-benar b******k! Bahkan di hari kematian kakek yang sangat menyayanginya, ia masih saja sibuk mementingkan dirinya sendiri, rutuk Sarah kesal.
Lisa Blake, gadis bermata ceria dengan rambut coklat bergelombang memang akan sulit diabaikan dari pandangan setiap laki-laki yang menatapnya. Berdaya pikat feminin dalam balutan rok span ketat di atas lutut dengan belahan setidaknya lima belas centimeter. Ditambah heels dua belas centimeter, dan lipstik flamant rose keluaran Sisley Botanical Hydrating yang konon tahan 24 jam tetap merona di bibir penggunanya.
Kini Sarah benar-benar penasaran, apakah lipstik semahal itu mampu bertahan dari lumatan rakus Brian dalam ruang kerja gelap tadi? Kapan laki-laki itu menjadi dewasa seutuhnya? Merayu wanita di acara duka kakeknya. Sarah bergidik, menutup wajah kengerian dengan kedua tangannya. "Itu bukan urusanku, sama sekali bukan urusanku," desahnya tertahan.
Brian memang seorang perayu ulung. Sifatnya itulah yang menjadi daya tarik laki-laki berusia 26 tahun itu, dan merupakan salah satu alasan Sarah dulu sempat terpikat padanya. Brian adalah laki-laki ceria, tampan, lucu, periang. Ditambah nama belakangnya yang bisa langsung membuat seluruh wanita di muka bumi itu takluk padanya. Tidak bisa dipungkiri, garis darah bisa menentukan posisimu dalam status di masyarakat.
Brian punya segala hal yang diidamkan para wanita, kecuali kesetiaan. Entah itu masalah atau justru bukan masalah sama sekali. Kenyataannya, para wanita justru berlomba-lomba mendekatinya, walau mereka tau, Brian tidak akan pernah menjadikan mereka sebagai 'satu-satunya' atau 'untuk selamanya'.
Dengan kaki yang seolah terikat bola baja, Sarah melangkah menuju pintu depan Queen Manor. Kembali pada posisi dan tugasnya tadi, mengucapkan terima kasih dan selamat jalan pada pelayat. Orang-orang dari seluruh penjuru daerah dan bahkan dari luar negri, datang ke Seattle, khusus untuk memberikan penghormatan terakhir pada Thomas Queen. Pemilik The Queen Land Group dan sejumlah aset yang tersebar di banyak tempat. Seorang lelaki tua yang terkenal dermawan, penyokong dana ratusan yayasan dan rumah sosial, termasuk panti asuhan tempat Sarah dibesarkan.
Ketika berkeliling tadi, Sarah melihat Diana—ibu Brian, menantu Thomas Queen itu seperti boneka porselen yang rapuh. Terduduk lemas di sofa dekat perapian, air matanya tak berhenti berlinang dengan isak tangis tertahan. Wanita itu tampak sangat terpukul karena kematian mertuanya. John—suami Diana, anak kedua Thomas, duduk di pergelangan sofa. Tangannya merengkuh bahu istrinya dari belakang, membelai lembut, berusaha menenangkan sang istri. Sesekali John tersenyum tipis dan mengangguk hormat pada pelayat yang menghampiri dan menyampaikan ucapan duka cita.
Di sudut sofa lainnya, tampak Patricia—janda Thomas Jr, putra pertama yang meninggal karena kecelakaan lima belas tahun lalu. Wajahnya yang anggun namun sedikit lelah. Ia berulang kali menghubungi Robby, putranya, yang lebih senang mengurus korban bencana alam di Asia, ketimbang menjadi pimpinan di salah satu perusahaan milik keluarga. Perempuan aristokrat itu lebih gusar terhadap ketidakhadiran anaknya ketimbang berduka atas kematian mertuanya.
Robby bukan satu-satunya yang tidak tampak di Queen Manor. Si anak bungsu, Matthew, juga belum menunjukkan batang hidungnya. Hanya ada dua kemungkinan, dia berada di bar untuk menghabiskan berbotol-botol minuman keras, atau dia berada di kantornya, tenggelam dalam pelukan hangat sekretaris pirangnya.
Bisa dikatakan, keluarga inti tidak mampu menjalani tugasnya sebagai tuan rumah dengan baik.
"Itulah tugasku. Menggantikan peran keluarga Queen yang berantakan ini," ucap Sarah pada dirinya sendiri. "Bagaimanapun juga aku masih berstatus perawat almarhum Mr. Queen, sampai besok Tuan John memberikan pesangon untukku."
Seorang wanita tua beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah depan. Sarah bergegas menghampiri. "Apakah anda ingin mengambil mantel anda?" tanya Sarah ramah.
Wanita tua membetulkan letak kacamata di ujung hidungnya. "Tentu, Sayang. Punggung tuaku tidak mampu bertahan ketika duduk terlalu. Mungkin sebentar lagi aku akan menyusul Thomas dan Lily di surga," jawabnya terkekeh.
Sarah mengambil mantel bulu milik wanita itu, Mrs. Elmer, seorang sahabat lama Thomas. Ia membantu Mrs Elmer mengenakan mantel sambil berkata, "Maksud anda, Nyonya Ariana, kan?"
"Hah? Apa yang kau katakan, Sayang?" tanya Mrs. Elmer. Keningnya berkerut-kerut, menambah garis-garis tua yang memenuhi seluruh wajahnya yang masih bertahan mengenakan riasan tebal.
"Maaf, saya hanya bermaksud meralat ucapan anda tadi. Nama istri Mr. Thomas Queen adalah Ariana, bukan Lily."
Wanita tua itu kembali terkekeh. Tangannya meremas ujung tongkat penopang tubuhnya. "Ya, ya, ya. Aku ingat, Thomas selalu bersama Lily datang ke rumahku. Kami bernyanyi bersama, tentu saja dengan iringan permainan pianoku yang sangat memukau. Ah, aku sangat merindukan masa-masa itu."
"Baiklah, Mrs. Elmer. Terima kasih atas kedatangan anda dan selamat jalan. Saya senang berjumpa dengan anda." Sarah tersenyum sambil menahan daun pintu untuk wanita tua itu.
"Ya, ya! Aku juga berterima kasih padamu. And by the way, namaku Rose. Aku dan Lily adalah bunga-bunga kecintaan Thomas, si perayu ulung." Dengan langkah tertatih, ia melalui pintu utama Queen Manor.
Sarah terkesiap mendengar ucapan Mrs. Elmer. Tidak salahkah pendengarannya? Mr. Thomas Queen, terkenal sangat setia dan hanya hidup dengan satu perempuan sampai akhir hayatnya adalah perayu wanita? Seperti Brian?
"Tidak! Mungkin itu hanya pikiran kacau wanita tua tadi saja! Mr. Thomas Queen adalah orang yang paling setia yang pernah kukenal."
*****