Apartemen studio yang sempit menjadi tempat pelarian terbaik. Sarah memecah biskuit menjadi serpihan kecil dan memberikannya untuk Bong, anjing Maltese putih yang diadopsi Charlotte setelah kepindahannya ke Queen Manor setahun lalu.
Bong menyambut uluran tangannya yang berisi remahan biskuit sambil mengibaskan ekornya. Dengan lahap, biskuit itu segera habis.
"... Jadi kau akan menolak rumah itu?" Charlotte menuang s**u ke dalam dua gelas, untuknya sendiri dan untuk Sarah. Ia mengambil sekotak kue coklat yang dibelinya sepulang kerja kemarin.
Bonny and Cakes memberikan potongan harga setiap pukul delapan malam agar semua roti dan kue buatan hari itu habis terjual tanpa sisa. Sistem penjualan seperti ini menguntungkan bagi Charlotte dan Sarah yang harus menghemat setiap penny yang mereka dapatkan. Banyak orang lain yang juga mengantre untuk dapat membeli roti atau kue buatan toko kue itu, yang terkenal paling enak seantero Pine Pikes.
Untuk Bonny and Cakes sendiri, sistem ini juga menguntungkan. Mereka telah mengambil untung besar pada penjualan di pagi hari, dan penjualan malam sepeeti itu, dianggap sebagai donasi. Toh mereka tidak menjual rugi, tetap ada untungnya walau sedikit. Itu lebih baik dan meningkatkan citra Bonny and Cakes yang selalu mengutamakan kesegaran bahan dan hanya menjual kue-kue yang baru keluar dari oven.
Bahkan Bong juga lebih suka biskuit dari Bonny and Cakes ketimbang makanan anjing kiloan berharga murah. Dasar anjing pemilih!
"Entahlah, aku sendiri belum bisa menentukan mana pilihan terbaik yang harus kuambil." Sarah membelai jurai-jurai rambut Bong yang kini menelungkup di pangkuannya.
Pikiran Sarah melayang pada apa yang terpaksa di hadapinya dua hari kemarin. Diana, perempuan yang dipujanya bagai Dewi Welas Asih, penuh kasih sayang, bertutur lemah lembut, dan sanggup memukau siapa saja dengan satu kali lirikan matanya, akhirnya menelepon polisi. Kenyataan itu masih sulit diterima Sarah, meski ia tahu, perempuan jelmaan malaikat seperti Diana melakukan itu hanya karena desakan keluarganya. Lebih-lebih lagi, Brian, lelaki yang tidak bisa menerima kekalahan dari orang lain.
Detektif Dan Harper menginterogasi Sarah selama hampir dua jam! Menanyakan bermacam hal yang biasa dilakukannya bersama Tuan Thomas. Sarah jelas menjawab semua dengan lugas dan transparan, tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi. Semua yang dilakukannya atas dasar pekerjaan semata dan tidak ada maksud lain dari itu. Caroline menguatkan hatinya, kalau ia tidak bersalah dan tidak perlu takut dengan tuduhan yang dilayangkan padanya.
"Brian hanya iri padamu dan ingin menguasai semuanya. Aku tidak tahu pasti apa tujuan Tuan Thomas akan hal ini, tapi aku percaya padanya, semoga dia beristirahat dengan tenang di sana, dia tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan. Kau harus yakin itu, Sarah," ujar Caroline berapi-api. Perempuan itu memeluknya hangat dan membelai kepalanya layaknya seorang ibu pada anak perempuan yang hendak pergi bekerja ke luar kota. "Dan, oh, sebaiknya aku mulai memanggilmu dengan sebutan Nona Sarah, bukan?"
Sarah tahu Caroline tulus dengan ucapannya. Tapi mendengarnya akan mengubah panggilan membuat hati Sarah perih. Kalau saja ada jin dalam lampu wasiat yang bisa mendatangkan harta ketika majikannya meminta, maka ia ingin jin itu menghilangkan namanya dalam surat warisan. Biarkan ia terlupakan dari benak Tuan Thomas. Sejumlah pesangon sudah lebih dari cukup sampai ia mendapatkan pekerjaan yang baru.
Ketika akhirnya ia bisa meninggalkan Queen Manor untuk tinggal sementara waktu di apartemen sempit ini, seluruh anggota keluarga Queen mendadak panik. Padahal jelas ia hanya membawa satu buah tas baju kecil dan tak mungkin digunakan untuk menyimpan peralatan makan perak atau lampu-lampu gantung kristal untuk dijual ke pasar loak. Tingkah mereka, ocehan Brian, tatapan mata penuh curiga semakin membuatnya muak.
"Masalah terbesarku adalah…" Sarah meneguk s**u dingin yang tinggal separuh gelas. "Aku tidak menginginkan warisan konyol itu. Kau bisa ambil kalau kau mau. Serius!"
Charlotte melempar bantal sofa kumal dan mengagetkan Bong yang tidur di pangkuan Sarah. "Oh, lucu sekali, Sarah. Cuma kau manusia di dunia ini menolak mendapatkan harta secara gratis."
Sarah tertawa, menggedikkan bahunya. "Mau bagaimana lagi? Aku terbiasa bekerja, mengumpulkan uang, menggunakan anggaran ketat agar bisa menabung lebih banyak untuk impianku. Berpuluh tahun terbiasa hidup sederhana dan bersyukur dengan apa yang kupunya. Aku bahkan tidak pernah bermimpi mendapatkan harta karun secara ajaib, dan kurasa, itu cuma ada di dongeng anak-anak saja."
Sarah memindahkan Bong ke keranjang tidurnya. "Mungkin bagimu itu lucu, bagiku tidak. Apa gunanya harta itu ketika mendapatkannya aku harus mengorbankan harga diriku? Ini seperti mimpi buruk yang nyata. Aku tersanjung ketika pengacara membacakan namaku dalam surat wasiat itu. Tuan Thomas memberi penghargaan sedemikian tinggi dengan mengingat namaku. Tapi jujur aku berpikir dia telah kehilangan akal sehatnya, kalau kutahu, aku pasti akan memaksanya untuk mendapatkan pengobatan menyeluruh. Dia telah melakukan hal itu tanpa pikir panjang!"
"Aku paham maksudmu, Sarah. Tapi menurutku, kau sebaiknya tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Seperti kau bilang tadi, bila kau mengembalikan harta itu, maka seluruh keluarga juga ikut terseret. Mereka juga harus menyerahkan bagian mereka ke yayasan sosial. Kau yakin hidupmu akan lebih baik dengan melakukan itu? Kurasa tidak. Mana ada orang kaya yang terbiasa makan sepotong kue dengan serpihan emas di atasnya rela menjadi gelandangan dalam sekejap? Akibat keteledoran seorang perawat? Pikirkan masa depanmu, Sarah. Jauh lebih baik kau terima warisan itu. Yeah, mereka marah untuk saat ini, pastinya. Tapi lihatlah nanti. Ketika semua bukti terkumpul di kepolisian, dan aku yakin benar kau akan bebas dari semua tuduhan, mereka bisa apa?"
Terkadang, Charlotte bisa mengeluarkan kalimat-kalimat panjang dengan benar tanpa berpikir. Itu benar. Semua yang diucapkan Charlotte sama persis dengan yang diucapkan Caroline kemarin. Demikian juga yang sempat terpikir dalam benaknya.
Oh, mengapa hidup menjadi rumit seperti ini? Tidak bisakah aku kembali ke masa lalu? Masa di mana persoalan yang harus kuhadapi hanya berupa tagihan yang melewati tanggal jatuh tempo? jerit hati Sarah, ia mengetuk-ngetuk dahinya dengan kepalan tangan.
Mengira kalau tinggal di apartemen ini akan menjadi solusi dari masalahnya ternyata salah. Pikiran Sarah semakin bertambah kusut. Pandangannya memutari tempat tinggalnya bersama Charlotte sejak mereka bertemu. Mereka telah bahu membahu membuat tempat itu layak dan nyaman ditinggali bersama. Dengan anggaran ketat, mereka membeli barang-barang di pasar loak, memperbaiki, mengganti cat, memasang wallpaper, membuat sulaman-sulaman untuk sarung bantal dan taplak meja sepulang kerja, meletakkan lilin-lilin wangi sebagai pajangan dinding, dan menaruh pot-pot bunga mungil di ambalan jendela.
Charlotte membuat proyek lukisan cat minyak yang diberi manik-manik dan glitter sebagai sentuhan akhirnya. Sementara itu Sarah membuat sulaman tusuk silang dan menyambung kain perca untuk dijadikan gorden. Saat senggang, keduanya berburu majalah interior bekas dan mengadopsi apa saja yang bisa diubah menjadi karya Martha Stewart ala mereka.
"Aku ingin segera terbangun dari mimpi buruk ini, Charlotte. Kembali ke hidupku yang dulu sepertinya menjadi sangat mahal saat ini. Oh, aku benci Tuan Thomas! Apa sih yang ada dalam pikirannya meninggalkan semua ini… untuk… ku!"
Sarah tanpa sadar menghentakkan tangannya yang masih memegang gelas. s**u itu tumpah mengenai Bong, membuatnya terbangun kaget dan berlari ke sudut.
Tepat di saat yang sama ponsel Sarah berbunyi. Panggilan masuk dari Queen Manor.
*****