The Shocking Reality

1481 Words
Tengkuk Sarah meremang, kepalanya menoleh ke kanan. Benar saja, mata Robby memandang tajam ke arahnya. Ia bergidik. Tatapan laki-laki itu, memindai setiap kurva tubuhnya. Mulai dari ujung rambut hingga—mungkin saja ke ujung kuku kaki yang terbalut pantofel hitam dengan hak rendah. Cepat-cepat ia mengalihkan wajahnya dan menutupinya dengan helaian rambut yang tergerai. Robby menghela napas panjang. Memikirkan apa yang dilakukan Sarah terhadap kakeknya. Thomas Queen bukan seorang yang tamak atau pelit. Namun, lima tahun bekerja belum pantas dianggap sebagai kesetiaan. Kakek seharusnya cukup memberikan pesangon yang dititip melalui Caroline, pikirnya. Eddy Parker kembali menaikkan intonasi suara, membuat konsentrasi Robby terpecah sesaat. Ia memutuskan untuk lebih berkonsentrasi mendengarkan apa yang akan disampaikan pengacara itu. "John, putraku, sebagai CEO Queen Land Group kau telah bekerja dengan baik selama ini. Kupersembahkan lima persen saham padamu serta separuh kepemilikan transatlantik hotel dan resort. Dan Diana, menantu yang kukagumi. Perempuan hebat yang mampu mengatur rumah tangga dengan baik. Kau telah membuktikan kejeniusanmu menggubah The Greystone Hills menjadi rumah layak huni yang diimpikan sebagian besar sosialita Amerika. Tentu saja rumah yang kalian tempati itu akan segera beralih atas namamu, beserta seluruh isinya." Eddy Parker membalik halaman, pembacaan wasiat ini membutuhkan waktu lebih panjang dari perkiraan setiap yang hadir dalam ruangan. Tenggorokannya mulai kering dan lidahnya sedikit kelu. Namun tugas adalah tugas. Ia dibayar mahal untuk membaca nyaring berlembar-lembar surat wasiat itu. "Untuk Brian Albert Sean Queen tercinta. Untukmu kuberikan lima persen saham The Queen Land Group beserta dua unit luxery dengan view terbaik di Pine Luxe High Rise." Suara Eddy mulai terdengar seperti rekaman rusak. Ia membetulkan letak kacamatanya, lalu meraih cangkir kopi dan menyesapnya. Aroma kopi hitam buatan Caroline memompa tenaganya yang sempat melemah. Dengan punggung tegak, ia melanjutkan pekerjaannya. "Setiap orang punya masalah. Setiap orang memiliki kepahitan dalam hidupnya. Setiap orang menerima resiko dari perbuatan yang pernah dilakukannya. Untuk itu, aku mohon dengan sangat pada Matthew Alexander Queen, putra bungsuku, lupakan kesedihanmu. Bangkit dan menjadi pria sesungguhnya yang penuh tanggung jawab. Jadilah seorang direktur kebanggaan Queen Land Group. Kupersembahkan lima persen saham untukmu, serta kepemilikan penthouse di 3rd Eve Royal West Apartment. "Untuk adikku satu-satunya, Joanne Marry Queen-Winston, kupersembahkan rumah mungil di Westlake Center yang selalu kau incar selama ini. Sepupuku, Jeremiah Noble, Gregory Noble, Marry-Ann Queen, dan Regis Jackson, serta para keponakanku terkasih, Theodore, Michael, Deborah, Gloria, dan David, kuhadiahkan masing-masing dua ratus ribu lembar saham. "Sahabatku, Arthur Jones dan Lucas Wittmann. Aku tahu kalian mengincar koleksi lukisanku. Baiklah, kalian boleh ambil masing-masing satu buah yang kalian sukai dari semua yang kutitipkan di galeri Stonington dan Haris Harvey. "Caroline Johnson dan Kyle Rogers, dua orang yang terlalu lama bersabar dengan si tua cerewet ini, bekerja tanpa lelah, setia mendampingiku, kupersembahkan masing-masing sebuah tabungan hari tua, jaminan sosial dan kesehatan, serta gaji yang akan terus kuberikan sampai kalian bosan bekerja di Queen Manor." Kalimat demi kalimat meluncur cepat. Eddy Parker menahan diri untuk tidak melanjutkan pembacaan wasiat sesaat. Ia mengedarkan pandangannya, menyapu bersih seluruh ruangan, meneliti wajah satu per satu peserta di sana. Mereka masih menunggu bagian akhir. Mata-mata memancar penuh harap sekaligus tanya. Berdebar menanti kejutan, berharap jackpot menjadi miliknya. Eddy Parker menghela napas. Ia melepas kacamata dan mengusap kedua matanya yang berair. Sejenak ia mendambakan angin pantai Maldives menerpa wajah penuh keriputnya, dan tentu saja, dengan kedua lengannya memeluk hangat tubuh molek Haidi Muller, model asal Jerman yang baru berusia 22 tahun. "Ehm, dalam wasiat ini disebutkan seorang nama lagi. Seorang yang sangat dekat dengan Mr Queen Senior. Seorang yang telah bersabar merawat ketika Mr. Queen menderita berkepanjangan akibat penyakitnya. Dia adalah Sarah Mercy Lane." Eddy Parker menelan ludah, sementara peserta yang hadir tidak acuh dengan ucapannya. Mereka mendengarnya sambil lalu saja. Itu bukan bagian terpenting hingga harus mendapat perhatian penuh. Mereka yang bertahan di sana menunggu keputusan akhir mengenai bagian harta yang tidak diwariskan. Mereka meraba-raba kemungkinan terburuk, diberikan rata pada sejumlah yayasan, badan amal, dan lembaga nirlaba yang dikelola atas nama The Queen Foundation. Eddy mengetuk cangkir kopi dengan ujung penanya. "Untuk Sarah yang terlalu lama menderita karena aku. Kuucapkan terima kasih dengan tulus untuk semua kasih sayang, perhatian,.dan ketelatenanmu mengurusku. Kuharap kau dapat kembali melanjutkan kuliahmu setelah ini. Jadilah tenaga medis profesional seperti yang kau cita-citakan. Wujudkan setiap impian yang kau tulis di buku sampul kulit kesayanganmu itu." Suara sang pengacara membahana, membalik kertas, berdehem, kembali menyapukan pandangan dramatisnya ke seluruh hadirin, lalu memperbaiki letak kacamatanya dan kembali membaca. Sarah tersenyum, ia benar-benar membayangkan Mr Queen hadir di hadapannya dan mengucapkan langsung semua kalimat tadi. Ia bahkan bisa mendengar suara napas berat tuannya itu, serta tongkat kayu yang kerap diketuk-ketukkan ke lantai. Suara Eddy Parker hanya sayup-sayup terdengar di telinga Sarah. Ia tidak menginginkan apapun. Baginya, disebut namanya saat ini sudah merupakan penghargaan terbaik. Majikannya itu tidak melupakannya, dan bahkan menyebut nama tengahnya! Dia memang yang terbaik. Selalu menjadi yang terbaik, desah Sarah dalam hati. "... kuharap semuanya cukup untuk melanjutkan sekolah dan hidupmu dengan baik." Lamunannya terlampau asyik, Sarah tidak mendengar sebagian besar yang diucapkan Eddy Parker tentangnya. Dan ia pun tidak menyadari setiap pasang mata yang hadir di sana kini terpusat padanya. Hanya padanya. Eddy Parker mulai mengemasi berkas-berkas yang bergeletakan di meja kerja Thomas Queen. Kedua asistennya, Lisa dan Majory turut membantu. Sesekali mereka melirik mencuri pandang ke arah hadirin. "Telah selesai pembacaan wasiat terkait pembagian seluruh aktiva lancar dan berwujud yang sebelumnya atas nama Thomas Edward Queen Senior." Suara Eddy Parker mengisyaratkan kelegaan yang panjang. Saat keheningan masih melanda ruang perpustakaan, Diana berdiri, setengah sadar, dengan tatapan masih tertuju pada Sarah. "Tunggu Eddy—tunggu," ucapnya terbata. Keningnya berkerut, kedua matanya menyipit dan bibir melengkung ke bawah. "Benarkah yang tadi kau ucapkan, Eddy? Aku yakin ada kesalahan di sana," lanjutnya. Para hadirin serentak mengangguk-anggukkan kepala. Beberapa mulai bergerak-gerak di tempat duduknya, memancing percakapan satu dua patah kata yang meragukan pendengaran mereka barusan, atau menyalahkan Eddy seperti yang dilakukan Diana barusan. Beberapa lainnya mulai memasang wajah penuh curiga dan menuduh pada gadis muda yang masih menunduk tersipu, tak menyadari udara dalam ruangan semakin berat akibat gumaman-gumaman yang bermunculan. "Tidak mungkin!" pekik Patricia. "Dia bahkan tidak memiliki hubungan darah! Atau kau telah menjalin asmara dengan Thomas kami tercinta tanpa sepengetahuan kami?" Tuduhan itu langsung dilontarkan tanpa penghalang. Begitulah Patricia. Ia memang terkenal senang berbicara langsung, mengemukakan setiap pikiran tanpa basa-basi. Membuat putra tunggalnya seringkali menyiapkan badan sebagai tameng ibunya. "Siapa sih dia sebenarnya? Aku sudah lama tidak berkunjung, dan tidak pernah melihat wajahnya di sini sebelumnya." "Yah, aku tidak heran kalau dia memiliki hubungan dengan si tua Thomas… bukankah kita semua tahu bagaimana kelakuannya sejak muda dulu?" "Tapi ini menyangkut nilai yang berkali lipat daripada jumlah yang diberikan pada kita semua!" "s****l cilik itu pintar merayu kurasa." "Pasti Thomas dalam keadaan mabuk. Bukan! Dia pasti tidak waras!" "Oh jelas mabuk! Mabuk kepayang pada pesona gadis muda itu." Robby ikut berdiri, melangkah melewati Caroline dan Kyle, lalu menepuk bahu Sarah dari belakang. Gadis itu terkesiap kaget, menoleh kebingungan pada Robby yang berdiri tegak. Ia merasa takut dengan seringai lebar lelaki itu. "Ada apa?" tanyanya pucat. "Selamat!" Robby mengulurkan tangannya. Sarah bertambah bingung. Ia tidak menyambut uluran tangan Robby. "Untuk apa?" "Kau baru saja menjadi milyarder." Gadis itu menaikkan alisnya. Ia tak suka dengan kalimat sinis yang baru saja didengarnya. Sekaligus merasa terganggu dengan kehadiran lelaki itu yang membuyarkan lamunan akan mendiang majikannya. Robby menarik tangan Sarah dan memaksanya bersalaman. Gadis muda itu kaget dan hendak menarik tangannya kembali, namun genggaman Robby lebih kuat. Saat itulah ia tersadar, seluruh ruangan melihat ke mereka berdua—kepada dirinya. "Sepertinya milyarder baru kita kurang memahami apa yang disampaikan kau tadi, Eddy! Atau dia terlalu asyik melamunkan bagaimana cara menghabiskan harta yang diwariskan padanya. Atau mungkin—kau merasa masih kurang dan ingin menguasai semuanya?" Brian beranjak berdiri dari kursinya. Tangannya terlipat di d**a bidang yang biasanya berguna meluluhkan wanita-wanita cantik. Sang ibu yang masih belum bisa menerima kenyataan memandang Sarah dengan wajah memelas. "Jangan tersinggung Sarah. Kami semua menyayangimu, dan sangat menghormati pekerjaanmu yang baik selama ini. Hanya—ini semua tampaknya sebagai suatu kekeliruan semata. Ya, kekeliruan." Napas Diana terengah-engah ketika ia berkata-kata. Menyadari situasi bertambah keruh, Eddy Parker mengetukkan pena pada pinggir cangkir kopinya. Ia sengaja mendehem keras, meminta perhatian hadirin untuk kembali mendengarkan suaranya yang semakin serak. "Sarah Mercy Lane, apakah kau bersama kami semua dalam ruangan ini?" Suara Eddy menggelegar membelah ruangan. "Kau mewarisi sebagian besar saham The Queen Land Group, lima puluh persen kepemilikan translantik hotel dan resort, serta rumah ini. The Queen Manor, beserta tanahnya yang luas, para pelayan, furniture, lukisan, patung, mobil, tumbuhan, hewan peliharaan, berikut rekening dana perwalian yang digunakan untuk kebutuhan harianmu, menjaga dan merawat rumah ini, serta menggaji para pelayan. Selain itu, kau juga mewarisi sepertiga perhiasan koleksi Mr. Thomas yang akan diberikan ketika kau menikah nanti." Sarah melayangkan tatapan kosong ke wajah pengacara tua itu. Eddy membalasnya dengan menganggukkan kepala dan memberinya senyuman. "Ya, Sarah, kau kaya!" *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD