Ruang dalam Queen Manor terasa dingin, walaupun Caroline memberi perintah agar pemanas tetap dinyalakan saat mereka pergi ke pemakaman. Perempuan itu segera pergi ke dapur untuk memeriksa apakah tukang masak telah melakukan persiapan untuk makan malam. Sarah memilih untuk naik ke atas dan masuk ke kamarnya. Ia berpikir untuk mulai berkemas dan secepatnya kembali ke apartemen lamanya. Tugasnya di rumah itu telah selesai, dan tidak ada lagi yang perlu dilakukannya selain angkat kaki sesegera mungkin. Tentu saja setelah menerima uang pesangonnya.
Baru mulai mengeluarkan pakaian dari lemari, pintu kamarnya diketuk. "Sarah! Mereka ingin kau turut hadir di perpustakaan!" Suara nyaring Caroline di balik pintu. Ia segera berlalu tanpa menunggu jawaban si penghuni kamar.
Sarah tercenung, untuk apa aku hadir dalam rapat itu? tanyanya dalam hati.
Sekalipun enggan, rasa penasaran menuntun kakinya melangkah keluar kamar. Sarah bergegas menyusul Caroline yang kini sudah tiba di anak tangga terbawah.
Brak!
Pintu depan terbuka lebar. Seorang laki-laki dengan mantel panjang tebal masuk. Ia melempar tas ransel sembarangan di lantai pualam putih yang kini dikotori oleh butiran-butiran tanah yang menempel di sepatu bootnya.
"Ah, Tuan Robby, akhirnya kau datang juga!" pekik Caroline girang. Ia menghampiri laki-laki itu, berjingkat agar dapat mengelus kedua pipinya yang memerah.
"Ya, Carol, aku di sini untuk mendengar keluh kesahmu," ucapnya sambil menyunggingkan senyuman pada perempuan yang telah dikenalnya sejak kecil. Tapi Robby mengangkat kedua tangannya dan melangkah mundur ke belakang, "No, kau tidak boleh memelukku sekarang. Pakaianku basah dan aku belum mandi setelah tiga hari terkatung-katung di bandara karena badai sialan!"
"Apa kau pikir aku tidak pernah memelukmu ketika kau selesai bermain lumpur?"
"Oh, please, jangan kau ungkit-ungkit masa lalu kita, Carol. Itu menghancurkan harga diriku, terutama, eh, di depan wanita yang menyaksikan kita itu!"
Kepala Caroline Johnson memutar ke belakang dan mendapati Sarah yang tertegun di tangga. Perempuan itu terkekeh, "Itu Sarah, dia perawat kakekmu. Apakah kau belum pernah bertemu dengannya?" Kening Caroline berkerut, "itu berarti kau sudah terlalu lama pergi meninggalkan rumah, Berandal kecil!"
"Hei, kubilang jaga mulutmu. Jangan jatuhkan harga diriku di depan orang lain!"
"No, Sarah bukan orang lain. Kakekmu sangat menyayanginya. Benarkan, Sarah?"
Sarah tertunduk malu. Perempuan tua itu melihat bagaimana dirinya sangat merindukan kasih sayang almarhum majikannya. Thomas berlaku keras padanya, namun juga ia dapat merasakan kasih sayangnya, seperti keluarga yang diidamkan Sarah.
"Carol, bukankah tadi kau bilang—" Sarah mencoba keluar dari situasi yang canggung.
"Ah, ya, ya. Kau dan Tuan Robby, masuklah kalian lebih dulu ke perpustakaan. Aku akan ke dapur meminta pelayan membuatkan kopi untuk dokter kita yang hebat ini."
"Trims, Carol. Kau masih tetap yang terbaik yang pernah kumiliki," ucap Robby mengecup pipi kepala rumah tangga Queen Manor itu. Ia mengedipkan mata ke Sarah, sebagai isyarat untuk ikut masuk ke dalam ruang perpustakaan.
Robby melirik cermin besar yang tergantung di dinding di samping tangga. Ia mengatur agar rambut panjangnya sedikit lebih rapi. Disisirnya dengan jemari ke arah belakang kepala. Berharap ia akan punya sedikit waktu untuk merapikannya di tukang cukur langganannya di Capitol Hills. Seandainya saja badai tidak menghalangi kedatangannya, ia tentu sudah terlihat lebih klimis saat ini.
Badai pula yang menghalangiku menghadiri pemakaman Kakek! rutuknya kesal.
Laki-laki itu membuka mantelnya dan menggantungkannya di tiang penyangga tangga. Ia memasukkan ujung-ujung kemeja ke balik celana kargo panjang berwarna kelabu. Dari ujung matanya ia melihat Sarah mengambil mantelnya dan pergi ke ruang penyimpanan di sebelah foyer. Perawat kakek, desahnya dalam hati. Ia ingin berada di rumah ini jauh sebelum kabar kakeknya meninggal. Ia ingin merawat lelaki tua itu dengan kedua tangannya sendiri. Untuk orang yang memberi pengaruh luar biasa besar dalam hidupnya, ia ingin menunjukkan bakti dan kasih sayangnya. Tapi bahkan, hingga kematian dan pemakamannya saja ia tidak berada di sisi kakeknya.
Orang lain seperti Sarah yang justru mendampingi Kakek. Seberapa jauh Kakek menyayangi perempuan itu?
"Apa yang kalian lakukan di sini dan bukannya segera masuk ke dalam?" Pertanyaan Caroline menghentak lamunan kedua orang itu.
"Aku—eh, menunggu kopimu, Carol!" Robby menutupi pancaran hatinya dengan tergesa mengambil cangkir kopi yang dibawa Caroline di atas baki. Aroma kopi panas sungguh dapat menyegarkan suasana yang kaku.
"Ayo masuk!" perintah perempuan tua itu. Ia membuka pintu perpustakaan dan melangkah masuk ke dalam, Robby dan Sarah mengikutinya dari belakang.
Terdengar sayup-sayup suara dari tengah perpustakaan. Acara pembacaan wasiat telah dimulai. Seorang pengacara tua dengan rambut tipis dan mengalami kebotakan di bagian tengah kepala, duduk di sofa tunggal di depan meja kerja Thomas. Ia memegang sebundel kertas dengan wajah penuh simpati.
Ketika tiga orang masuk perlahan, ia mendongak ke arah mereka. "Ah, akhirnya kalian semua hadir di sini. Lengkap! Ini sangat baik. Baik sekali." ucapnya. "Saya ingin berterima kasih dengan kehadiran kalian semua. Saya tahu, hal ini sangat berat, Mr. Queen Senior baru saja kita makamkan. Tapi ini adalah kewajiban saya. Harus segera disampaikan, secepat mungkin, sesuai keinginan almarhum."
Ucapan Eddy Parker terdengar bertele-tele. Beberapa yang hadir berusaha duduk dengan tenang dan pura-pura perhatian dan bersabar mendengar apa yang akan disampaikan pengacara itu. Robby memilih duduk di kursi paling jauh, sehingga ia dapat mengamati seluruh peserta yang hadir di ruang itu.
Sebagian besar, tentu saja hadir karena berharap mendapat bagian harta, uang, atau sedikit kekuasaan. Para penjilat itu mungkin tidak pernah tulus menyayangi Thomas. Mereka mungkin memasang wajah penuh duka, dengan mata sayu mengundang simpati, atau menyeka air mata yang dipaksa keluar dengan sapu tangan sutra. Tapi jelas, ketamakan terpancar dari sorot mata mereka. Robby mendengus kesal, nalurinya berkata kalau ia sendiri tidak lebih baik dari mereka yang hadir di ruangan ini. Bertahun-tahun tidak bertemu kakeknya, dan bahkan baru hadir di acara pembacaan warisan! Orang t***l sekalipun dapat melihat ia sama seperti lainnya.
"...dengan penuh duka cita yang mendalam atas kehilangan almarhum dari sisi kita semua. Namun percayalah, apa yang telah almarhum lakukan, terhadap semua harta benda dan aset-aset yang sangat banyak, adalah bentuk kecintaan dan kedermawanannya terhadap Anda sekalian."
Pandangan Robby beralih pada ibunya, Patricia. Perempuan itu terlihat lebih kurus dari waktu terakhir kali mereka berjumpa, saat Natal di Queensland, dua tahun lalu. Ketika pandangan mereka bertemu, wajah Patricia tampak pucat dan ujung hidung yang memerah. Robby tersenyum padanya, dan memberi isyarat bahwa mereka akan bercakap-cakap nanti setelah urusan dalam ruangan ini selesai.
Pandangan Robby kini tertuju pada Diana. Dari ekspresi wajahnya, terlihat kalau istri pamannya itu kurang suka dengan kedatangannya. Ia tidak peduli, sejak kecil Robby tahu Diana dan Brian tidak pernah suka padanya. Dan sekarang ia sangat jijik melihat kemuraman palsu yang ditunjukkan kedua orang itu. Tercermin sifat-sifat asli yang mementingkan diri sendiri. Kalau saja Paman John-nya bisa membaca pikiran dan hati keluarganya, ia akan tahu, saat ini mereka sedang menghitung-hitung penghasilan dan bagian aset yang akan segera beralih ke nama mereka.
"Baiklah, saya rasa saya telah membuang waktu Anda sekalian terlalu banyak. Jadi saya akan memulai saja pembacaan wasiat terakhir Mr. Thomas Queen." Eddy Parker berdehem, memperbaiki letak kacamata yang bertengger di ujung hidungnya. Matanya beredar memandangi semua hadirin satu persatu, lalu kembali melihat ke berkas tebal di tangannya. "Untuk menantuku terkasih, Patricia Abigail Bordeaux. Kau memiliki lima persen saham The Queen Land Group yang sebelumnya atas nama suamimu, anak tertuaku, Thomas Junior. Akan kusampaikan padanya di surga nanti, kau tidak pernah menikah lagi sejak kematiannya. Sedangkan rumah yang kau tempati hingga saat ini, bukankah sudah kutetapkan sebagai hadiah pernikahan kalian sejak dulu? Tentu saja beserta isi dan koleksi mobil dalam garasimu. Semua itu milikmu sebagai wujud terima kasih atas kesetiaanmu pada keluarga ini." Eddy Parker menghela napas panjang sebelum membalik halaman.
"Untuk Gregory Robert Thomas Queen, dokter terbaik di seluruh dunia, cucu kebangganku. Kupersembahkan lima persen kepemilikan saham The Queen Land Group. Kau dapat menggunakannya untuk membangun sebuah rumah sakit gratis dan mewujudkan mimpi-mimpimu, atau membiayai perjalanan amalmu ke setiap belahan negara dunia ketiga." Mata Eddy Parker menatap tajam ke Robby yang dibalas dengan anggukan samar. "Unit penthouse di Queen Capitol Apartment, sepenuhnya menjadi tanggung jawab atas namamu, Robby," tambah Eddy.
Garis bibir Robby membentuk senyum tipis datar. Apartemen itu telah dihadiahkan ketika gelar dokter ia dapatkan delapan tahun lalu. Sejauh yang bisa diingatnya, Robby hanya dua kali menempati apartemen itu. Kali pertama, tentu saja ketika euforia kegembiraan merayakan masa berakhir residensi kedokteran. Ia membuat pesta bersama teman-teman selama satu minggu penuh dan diakhiri dengan pernyataan putus yang keluar dari bibir mungil Jenica Gartner. Kali kedua, ketika ia bersitegang dengan Patricia. Ibunya itu meminta Robby menerima tawaran kerja di rumah sakit mewah di Capitol Hills dan merestui hubungannya dengan Elliott Durkan, anggota parlemen mata duitan. Dua hal yang tidak mungkin ia berikan untuk perempuan yang telah melahirkannya ke dunia ini. Ia tak sudi memiliki ayah tiri seorang oportunis, dan lebih suka menanggung beban menghadapi berita-berita skandal affair ibunya itu.
Suhu di perpustakaan menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Beberapa orang memperbaiki posisi duduk, atau rambut mereka yang sebenarnya sudah sangat rapi. Degup jantung tidak dapat disamarkan melalui wajah-wajah gusar menanti giliran dibacakan nama mereka. Robby kembali mengedarkan pandangannya. Kali ini ke kursi deretan belakang, dekat tempat duduknya. Tampak Kyle dan Caroline di sana. Kedua orang itu telah puluhan tahun mengabdi pada kakeknya sejak mereka masih belia. Sopir pribadi dan kepala rumah tangga yang setia, mengetahui rahasia keluarga ini lebih baik dari siapapun, namun tidak pernah berniat membocorkan ke muka umum hanya demi kepentingan pribadi. Wajar sekali bila kakeknya memberikan sedikit ucapan terima kasih untuk mereka.
Tapi Sarah, untuk apa dia berada di sana? Sedekat apa hubungannya dengan Thomas Queen? Bukankah ia baru lima tahun bekerja untuk kakeknya? Kening Robby berkerut-kerut. Aneh, pikirnya.
*****