[11] Di Rumah Sakit

1818 Words
Rindu tak pernah menyangka akan ada kunjungan dari Bujang. Padahal sore tadi, sudah ada Yuni serta Bu Marta yang datang menemuinya. Ayana sudah menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa datang menjenguk ibunya. Rindu sangat paham akan hal itu dan sebenarnya tak jadi soal andai Marta dan Yuni tak datang. Rindu tau mereka berdua pasti sibuk dan merepotkan kalau harus berkunjung juga ke rumah sakit. Tak lama kunjungan mereka memang. Hanya sebatas bertanya mengenai keadaan Farah yang kini sudah siuman. Meski agak lemah tapi setidaknya sudah tak terlalu mengkhawatirkan keadaannya. “Terima kasih banyak, Bu Marta dan Yuni kunjungannya. Maaf, merepotkan.” “Alah,” Marta tersenyum. “Dari tadi kamu minta maaf terus. Kamu juga jaga kesehatan, ya, Rin. Enggak ada yang gantian jaga ibu kamu, kan?” Rindu sudah menceritakan sekelumit mengenai keluarganya namun untuk masalah sebenarnya, ia tak akan bersuara. Alasannya paling penting adalah ibunya kelelahan karena terlalu keras bekerja. Itu saja. Sementara sang ayah sudah lama meninggalkan mereka berdua. Rindu tak bisa meninggalkan ibunya sampai kondisi sang ibu benar-benar tak terlalu mengkhawatirkan. “Iya, Bu.” Rindu tersenyum. “Besok juga saya sudah bisa masuk lagi, kok. Dokter bilang sudah bisa ditinggal dan kemungkinan lusa bisa keluar dari rumah sakit.” “Syukur lah.” Yuni menepuk bahu Rindu pelan. “Kami pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, kabari kami, Rin.” Senyum Rindu tak mau pergi. Ia sangat senang bukan lantaran kunjungan mereka, tapi sejak ia memberi kabar pun, perhatian yang Rindu dapat sudah lebih dari cukup. Ia takut, berhubung masih baru pindah ke cabang Senayan, dirinya dianggap mengada-ada masalah absensi. Untunglah hal itu tak terjadi. “Terima kasih, ya, Yuni.” Diantarkannya mereka berdua hingga loby, sampai mereka berdua benar-benar meninggalkan rumah sakit. Lantas Rindu pun memilih untuk membeli camilan penemannya malam ini. Esok pagi ia akan berangkat ke kantor dari rumah sakit saja. Ia benar-benar tak menyangka kalau Bujang datang. Berdiri tak jauh dari pintu kamar rawat ibunya. “Bapak sudah sejak tadi?” tanya Rindu pelan. Berusaha agar tak terlalu terkejut mendapati bosnya ada di sana. “Enggak.” “Bapak mau apa ke sini?” Rindu bertanya benar, kan? Ada urusan apa Bujang di sini? Bukankah kedatangan Marta dan Yuni sudah cukup sebagai perwakilan kantor? ia juga belum lupa pesan yang masuk ke dalam ponselnya yang berasal dari Bujang. Terkesan kalau izin Rindu hari ini juga harus sampai padanya. Padahal setau Rindu, saat ia berada di Gajah Mada, cukup sampai pada Sonia. Tunggu. Sonia, kan, atasannya yang tertinggi. Astaga! Pastinya Bujang merasa tak nyaman karena tingkah Rindu tadi pagi. Jadinya ia tak berani bertanya lebih jauh. Malah yang ada ia ingin kembali ke kantin saja. Bersembunyi. “Memastikan keadaan kamu,” kata Bujang singkat. “Saya enggak bohong mengenai absen, kok, Pak.” Aslinya Rindu tak terima mendengar Bujang berkata seperti itu. Tapi karena dirinya juga punya sedikit rasa bersalah, ia kembali menunduk. “Bapak kalau mau betemu ibu saya yang sakit silakan saja.” “Enggak perlu.” Bujang berdeham sekilas. “Mau sampai kapan kamu berdiri begitu? Beli kopi juga cuma satu.” Rindu menatap barang bawaannya lalu meringis. Tapi kemudian ia jadi berpikir. “Memangnya saya tau ada Bapak.” “Saya kirim kamu pesan mau datang.” Rindu mengerutkan kening. “Ah, ponsel saya ada di dalam. Enggak tau kalau ada pesan dari Bapak.” Bujang berdecak. “Saya mau bertemu ibumu.” “Silakan, Pak.” Rindu ingin sekali menambahkan kata-katanya ‘jadi orang jangan plin plan, Pak’ tapi ia tahan sedemikian rupa. Ia mengikuti saja langkah Bujang yang ada di depannya. “Saya datang ke sini karena memang mau menjenguk ibumu, bukan bertemu kamu.” Rindu mengedikkan bahu. “Saya juga tau. Saya juga engak mau ketemu sama Bapak kecuali di kantor.” Bujang berdecih pelan, mengikuti langkah Rindu yang masuk ke dalam ruang rawat di dalam. Meski hanya sejenak, tapi setidaknya Bujang sudah bertemu ibunya Rindu. Memastikan kalau keadaan Rindu itu benar, bukan tengah mencari alasan. Entah kenapa Bujang merasa tak suka karena Rindu tak memberinya kabar. Sama sekali. Bahkan sejak pesan pertamanya ia kirim, tak mendapat respon apa pun dari Rindu, mungkin sejak saat itu ketidaksukaannya apda Rindu makin jadi. Padahal ia tak pernah seperti ini menilai seseorang. Meski staff itu berasal dari pemindahan cabang atau tukar divisi, Bujang tak pernah menjadikannya sebuah persoalan besar. Tapi kenapa jika berkaitan dengan Rindu, masalahnya menjadi berbeda? Apa karena banyak yang menilai kalau Rindu itu memang memiliki kredibilitas yang mumpuni? Sementara data Bujang membuat sebuah test untuknya, Rindu tak ubahnya seperti Yuni atau Dela? Yang masih harus banyak belajar. Sementara itu Rindu memilih berdiri tak jauh dari posisi Bujang yang bicara dengan banyak senyum di depan ibunya. Obrolan mereka hanya sebatas hal-hal yagn formal saja. Rindu juga bisa mendengar hal itu dengan jelas. Tak ada yang aneh. Hanya alasan yang Bujang beri saat kedatangannya yang terlambat, yang membuat Rindu mencibir. “Saya ada meeting lanjutan tadi, Bu, makanya saya biarkan Bu Marta dan Yuni ke sini. Saya juga bertemu mereka tadi. Masa iya sudah di sini tapi enggak bertemu Ibu dan Rindu?” Alah! Alasan macam apa itu? Ternyata bosnya yang menyebalkan dan irit bicara bisa membuat alasan yang menggelikan seperti itu. Luar biasa! “Terima kasih, Pak, sudah datang menjenguk saya.” Farah tersenyum tipis. “Maaf kalau anak saya merepotkan Bapak.” “Enggak jadi soal.” Lalu mengalirlah banyak obrolan di antara mereka. Rindu tak ingin banyak menanggapi, hanya sekadarnya saja. Untuk apa juga ia ada di antara pembicaraan mereka berdua? “Kalau begitu, saya pamit. Ibu beristirahat saja yang cukup biar lekas pulih,” kata Bujang sambil bangkit dari duduknya. Dilirik Rindu masih ada di dekatnya meski tak bicara banyak sejak tadi. “Rindu, saya pamit.” “Iya, Pak.” Hanya itu yang Rindu katakan. Ia pun mundur membiarkan Bujang keluar dari ruangan ini. “Antar Pak Bujang sampai depan, Rin,” perintah Farah. “Jangan enggak sopan. Bos kamu lho itu.” “Iya, Mi.” Tadinya Rindu ingin merapikan posisi rebah ibunya tapi sepertinya sang ibu tak ingin anaknya mengabaikan keberadaan Bujang begitu saja. Yang mana segera saja ia susul sang bos yang sudah lebih dulu keluar dari ruang rawat itu. “Sekali lagi terima kasih sudah mau ke rumah sakit.” Rindu berkata setelah benar-benar ada di samping Bujang. “Maaf enggak bisa temani sampai ke lobby. Saya harus kembali ke ruang rawat Mami.” “Oh … jadi kalau Marta dan Yuni diantar?” Rindu menghentikan langkahnya. “Padahal saya sudah meluangkan waktu.” “Bu Marta dan Yuni datang saja sudah cukup bagi saya.” Bujang mengangguk sekilas. “Saya hanya ingin memastikan kamu enggak bohong, sih.” Kening Rindu berkerut dalam. “Maksudnya, Pak?” “Yah … ada karyawan yang hobi menggunakan alasan rumah sakit sebagai salah satu cara untuk cuti dan rehat sejenak dari aktifitas yang ada.” Mata Rindu melotot tak percaya. “Jadi Bapak nuduh saya gitu?” Bujang hanya mengedikkan bahu. “Bapak keterlaluan banget, ya,” Mata Rindu mendadak panas. “Saya enggak serendah itu, ya, buat alasan apalagi harus membawa nama Mami. Mami sakit, masuk rumah sakit! Saya yang mengalaminya saja enggak mau, lho!” Dadanya turun naik mengatur emosi. Bujang hanya diam saja. Dibiarkan Rindu menghentak kesal dan kembali ke ruang rawat ibunya. Sebenarnya ia agak menyesal mengatakan hal itu tapi memang itu yang terpikir di awal pemikirannya mengenai alasan Rindu hari ini. Ah … ia jadi bersalah dengan Rindu. Sampai mobil yang ia kendarai membawanya tiba di indekos yang cukup elite di kawasan Radio Dalem, Bujang masih belum bisa menyingkirkan perasaan bersalahnya. Niatnya ia tak mengatakan hal tadi. Cukup bersemayam saja di kepalanya. Tapi kenapa meluncur sempurna sekali tanpa aba-aba? Sepanjang bekerja tadi juga ia tak terlalu tenang. bukan masalah tak ada Rindu di ruang teller yang beberapa hari ini mengusiknya. Sebentar. Bujang sepertinya perlu berpikir. Benar. Sejak kedatangan Rindu ke Senayan, ia memang tak pernah lepas menatap CCTV tempat di mana tersorot ruang teller. Ada rasa tak percaya yang terus saja membuatnya mengarahkan mata ke sana. Apa iya karena selintingan kabar mengenai Rindu yang katanya, sekali lagi, katanya bagus dan mumpuni sebagai staff teller? Tapi ternyata ucapan di luaran sana tak seperti apa yang Bujang bayangkan. Apa karena itu juga Bujang jadinya merasa Rindu jauh dari ekspektasi yang ada? Lantas kenapa dirinya risau? Toh … ia sudah bicara dengan pereferensi nama Rindu paling utama; Kurniawan. Dan sang bos juga sudah memberi restunya. Tapi kenapa ia masih terusik? Ah … ini pasti bermula karena hanya dirinya yang tak dikabari mengenai keadaan Rindu pagi tadi. Iya. Benar. Itu lah kenapa Bujang tak bisa mengendalikan dirinya untuk berkata hal yang tak perlu. Bujang membenarkan apa yang ia ucapkan tadi pada Rindu. Bukan jenis kesalahannya. Tapi memang Rindu yang harus diberikan wejangan khusus. Tapi kenapa … rasanya sesak, ya? Sementara itu, di ruang rawat ibunya, Rindu tak henti-henti mengeluh mengenai Bujang. Meski tak terucap dengan kata, tapi tingkahnya selama menemani Farah kentara ada kekesalan yang ia punya. “Kalau kamu capek, kamu pulang aja, Rin. Mami di sini sendiri bisa, kok.” Rindu langsung menggeleng tegas. “Enggak, Mi. Rindu enggak capek. Ini sudah mau istirahat. Besok Rindu berangkat pagi, tadi Tante Koni bilang besok bisa temani Mami. Bu Kiran juga sudah aku mintai tolong antar baju Mami.” Farah tersenyum kecil. “Wajahmu kelihatan enggak ikhlas merawat Mami.” “Asatag, Mi,” erang Rindu tak percaya. “Enggak, Mi.” Rindu segera mendekat lalu memeluk ibunya. “Rindu setengah mati kahwatirnya sama keadaan Mami. Masa iya Mami enggak bisa lihat?” “Wajahmu cemberut gitu, Rin.” Rindu makin jadi mengerangnya. “Ini semua karena Bujang itu, Mi,” kata Rindu setengah frustrasi. “Dia keterlaluan banget!” “Bos kamu itu tadi, kan? Pak Bujang?” Tanpa ragu Rindu mengangguk. “Enggak sopan panggilnya, Rin.” “Biar aja. Dia aja enggak tau sopan, kok.” Farah terkekeh dengan dumelan Rindu. “Mami mau dengar kenapa kamu marah-marah karena Bujang?” Tadinya Rindu tak ingin bersuara, tapi karena rasa di hatinya yang benar-benar sesak karena Bujang, meluncurlah segala hal yang sejak kemarin ia tahan. semuanya. tanpa ada yang ditutupi dari ibunya. Farah yang mendengarkan itu semua hanya bisa terkekeh sembari tersenyum simpul. “Jangan terlalu benci sama orang, Rin.” “Pantas orang itu dibenci, Mi,” sungut Rindu sembari membenahi selimut ibunya. “Sekarang Mami tidur, ya. Aku juga ngantuk banget. Besok bakalan jadi hari yang berat untuk Rindu kayaknya. Kerja kalau enggak ikhlas jatuhnya berat, kan, Mi?” Farah tersenyum saja. “Ya sudah kita tidur.” Dipeluknya sang putri dengan penuh sayang. Meski dirinya seperti ini, tapi rasa sayang Farah besar sekali pada sang putri. Rindu anak kebanggaannya. Saking bangganya ia, sering kali dirinya lupa kalau Rindu juga butuh teman. Bukan sekadar hidup yang cukup untuk makan dan tak perlu kebingungan mengenai tempat tinggal seperti saat putrinya ini berusia masih balita dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD