[12] Kekesalan Rindu

1940 Words
“Kupikir Kak Rindu masih cuti hari ini,” kata Yuni dengan binar di wajahnya. Tak ada Rindu sehari, cukup kehilangan dirinya. Lagi juga Dela masih belum masuk. Katanya, sih, hari ini juga dia masuk ke kantor. Keadaannya sudah jauh lebih baik. Mendengar ucapan Yuni barusan membuat Rindu tersenyum tipis. “Enggak enak kelamaan cuti. Nanti disangkanya aku alasan mangkir kerja.” Kening Yuni berkerut jadinya. “Siapa yang bilang gitu?” Beberapa waktu mengenal Yuni, sepertinya memang Rindu harus terbiasa untuk menyikapi tingkahnya yang polos mendekat lugu juga agak bodoh. Ucapan bernada sindiran itu kenapa harus dipertegas oleh Yuni? Maksud Rindu jelas, kan? yang bisa Rindu lakukan sekarang hanya berdecak pelan. “Enggak ada.” Tapi kalau model Dela ini, tak bisa hanya ditanggapi dengan diam. Ada yang harus dijelaskan lebih jauh. Makanya Rindu lebih baik bicara. “Tapi keadaan Ibu Kak Rindu sudah jauh lebih baik?” Meskipun begitu, Yuni termasuk teman kerja yang perhatian. “Syukurlah sudah jauh lebih baik.” Tak selang berapa lama, Dela serta Ayana tiba. Obrolan di ruang belakang teller cukup ramai jadinya. Rindu agak tak enak hati lantaran tak ikut menjenguk Dela kemarin. “Ih, enggak apa, Kak. Lagian kalau banyak yang jenguk aku jadi makin sedih,” kelakar Dela dengan riangnya. “Pasti ada gosip yang enggak bisa aku ikuti, kan? ayo lah. Ada gosip apa?” Kening Rindu berkerut dalam sementara Yuni malah terbahak. Apa Yuni tau gosip apa yang dimaksud? Tapi kenapa Rindu tak tau, ya? Saat ia melirik ke arah Ayana, wanita hamil itu hanya terkekeh. “Memang ada gosip apa?” tanya Rindu tak kuasa menahan rasa penasarannya. “Kok aku enggak tau, ya.” “Kamu, sih, fokusnya sama kerjaan terus.” Yuni menyenggol pelan bahu Rindu. “Tapi aku baru tau semalam, sih.” Makin jadi lah rasa penasaran Rindu. “Semalam aku jaga Mami, kan. Mana tau ada gosip. Memangnya apa?” “Kak Ayana, kayaknya Kak Rindu perlu dimasukin ke grup kita, deh, biar enggak ketinggalan kereta.” “Iya, benar. Semalam aku mau ngapain gitu malah lupa. Ternyata masukin nama kamu kegrup, Rin. Sabar, ya. Nanti aku invite.” Rindu mengangguk sekilas. “Ceritain ada apa, sih?” “Pak Bujang kemarin ke mejanya Bu Marta,” kata Yuni dengan cekikikan. “Ini aku dikirim gambarnya dari Kak Jess.” Ia pun memperlihatkan foto yang membuat heboh grup kantor semalam. Di mana grup itu jelas tak ada nama sang bos di dalamnya. Bisa-bisa mereka terkena masalah nantinya. Rindu yang melihat ini tampaknya biasanya saja. Tak ada yang aneh. “Memangnya ada apa kalau Pak Bujang ke mejanya Bu Marta?” Dela, Yuni, juga Ayana tampak mencibir. “Ini gosip paling panas sepanjang tahun 2022, lho, Rin.” “Aku mana tau, Kak,” kata Rindu dengan wajah polosnya. “Ceritain makanya yang lengkap.” “Dari awal Bu Marta ke sini terlihat banget kalau caper sama Pak Bujang. Pak Bujang, sih, kelihatannya biasa aja, ya. Tapi ternyata juga emang suka, kok. Yah … siapa yang enggak suka melihat Bu Marta, kan? Cantik gitu.” Rindu akui, ucapan mengenai Marta memang benar. Senyum di wajahnya selalu ada, meski kadang ucapannya tegas juga terkesan galak, tapi keramahaan yang dimiliki Marta mengingatkannya pada sosok Sonia. Tak jarang Marta juga sering bertanya mengenai apa Rindu betah di sini atau tidak saat ia memberikan laporan sore. Namun sepertinya kalau harus bersanding dengan Bujang? “Masa, sih, Bu Marta suka sama Pak Bujang?” Ayana tergelak. “Ih kamu enggak tau aja. Bos kita ini banyak yang ngincer, lho! Lihat aja, sih.” Ayana menunjuk pada foto Bujang dan Marta yang diambil diam-diam itu. “Pak Bujang itu sebenarnya ganteng tau, Rin. Badannya oke, tegap gitu, kan? Kalau pake kemeja aja penginnya kita peluk-peluk.” Rindu merinding jadinya. “Wajahnya juga manly banget, kan?” tambah Dela. “Aku aja kalau jomlo mau, kok, punya pacar macam Pak Bujang.” Astaga! Rindu bakalan mencoret nama Bujang sebagai kandidat pacar yang paling atas. Ia tak mau model pacar seperti Bujang!!! “Untung aja suami aku ganteng macam Ji Chang Wook.” “Ih!” Dela dan Yuni langsung histeris. “Enak aja, ya, Kak Ayana kalau ngakuin suami kita.” Rindu geleng-geleng saja. Ia memilih untuk mempersiapkan slip setoran serta slip tarikan nasabah di meja antrian. Sekaligus memperhatikan alat tulis yang ada di sana. Biarkan saja mereka masih membahas mengenai bujang juga Marta yang merambah pada drama korea yang mereka gandrungi. Yang terpenting, Rindu tak tertinggal perkara gosip yang ada. Sebenarnya apa yang mereka bilang mengenai Bujang memang benar. Siapa yang tak terpesona dengan tampang Bujang yang memang keren? Dia bukan seperti aktor korea, tapi lebih mirip ke aktor Turki. Badannya juga bagus. Rindu akui itu. tapi karena ia tak suka dengan apa yang sering kali Bujang lakukan; membuatnya kesal dan tingkahnya menyebalkan, jadi kadar ganteng yang dimiliki sang bos sama sekali tak membuat Rindu terpesona. “Ganteng apanya kalau nyebelin gitu,” sungut Rindu sembari merapikan alat tulis di meja. “Kalau memang ganteng dan tau kapasitas jadi bos, enggak akan segampang itu bicara ngawur.” Rindu masih mengerucutkan bibirnya. Tak menyadari kalau sosok yang tengah ia bicarakan ada di belakangnya. Tepat di belakangnya!!! Berdiri sembari melipat tangan, tak bersuara sama sekali, seolah menikmati dumelan Rindu yang tak menyadari kalau sosok yang dibicarakan mendengar segalanya. “Pokoknya, ya, kalau ada yang bilang Pak Bujang ganteng, dia belum merasakan gimana nyebelinnya orang itu!” Rindu sedikit kasar meletakkan tumpukan slip setor. Kalau saja bukan karena dehaman Yuni yang berkali-kali terdengar, Rindu tak ingin menoleh. Begitu kepalanya mengarah ke belakang, ia terperanjat. Sejak kapan bosnya ada di dekatnya? “Pagi, Rindu,” sapa Bujang dengan datarnya. “Pagi, Pak.” Alah! Kepalang basah. Lagi juga apa yang Rindu katakan memang benar, kok. Bujang itu memang ganteng tapi menyebalkan. Kalau ada level menyebalkan di kantor ini, Rindu pasti menyodorkan nama Bujang yang paling utama. “Sekalian dibersihkan mejanya, Rin,” perintah Bujang telak begitu sosok Rindu sepertinya akan pergi meninggalkannya. Enak saja. sudah menggerutuinya sembarangan, lantas tak minta maaf? Tak akan Bujang biarkan. Belum pernah ada staff atau karyawan di Senayan yang seberani Rindu. “Kok, saya?” tanya RIndu sembari menunjuk batang hidungnya. “Kan ada Mbak Wiji, Pak.” Wiji, salah seorang staff office girl di cabang Senayan. Bergantian dengan Pak Harso yang bertanggung jawab mengenai kebersihan kantor ini. “Kenapa harus tunggu Wiji padahal ada kamu yang bisa kerjakan? Toh enggak lama, kan?” Rindu mendelik tak percaya karena Bujang mengatakan hal itu seolah tanpa beban. “Segera, Rin, nanti keburu ada nasabah. Ingat, kebersihan juga sebagian dari iman.” Lantas pria itu pergi begitu saja. Membuat Rindu menggeram kesal dan menghentakkan kakinya lantaran tak terima diperlakukan seperti ini. kenapa pagi ini buruk sekali Rindu harus hadapi? Kenapa juga ia memiliki bis semenyebalkan Bujang? Kenapa?!!! “Jangan marah-marah bisanya. Saya perhatikan dari CCTV atas nanti kamu kalau enggak dikerjakan, kamu tau ada hukuman yang akan saya berikan.” Bujang menghentikan langkahnya. Menoleh sembari menyeringai licik pada RIndu yang masih menatapnya di sana. ia tau gadis itu pasti marah padanya. Terserah. Ia juga jadinya kesal karena mendengar celotehan Rindu yang seenaknya. Memangnya Rindu saja yang bisa marah-marah? Ia juga bisa! Sementara Rindu memilih untuk kembali ke ruangan teller tapi … ia batalkan. Kalau Bujang sudah mengancam, ia takut kalau benar-benar dilaksanakan. Jadi lah ia ke pantry untuk bertemu Mbak Wiji. Meminta perlengkapan untuk membersihkan meja. untung saja ia sudah grooming dengan baik dan benar alias sudah apik jail siap melayani nasabah yang akan datang. Jam buka untuk cabang Senayan dimulai jam delapan pagi. Dan biasanya selalu ramai karena persis berada di banyak area perkantoran. Dibersihkan area yang tadi Rindu rapikan dengan cepat. meski bersungut-sungut tapi Rindu tak bisa melepaskan begitu saja. setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, ia pun kembali ke posnya. Dela dan Yuni yang sejak tadi memperhatikan bagaimana interaksi Rindu dan bosnya, hanya bisa saling menatap tapi tak ingin membuat Rindu semakin suntuk. Mereka sepertinya tau kalau membahas Bujang sekarang pasti akan mendapatkan lirikan sinis dari Rindu. “Mbak Ayana sudah bisa dibuka, ya, pintunya,” info salah satu sekuriti yang menjaga bagian depan. Ia juga bertugas membantu para nasabah untuk mengambil nomor antrian dan memberi penjelasan apa yang harus dikerjakan untuk kebutuhan nasabah itu sendiri. Ada yang ingin bertemu customer service, ada juga yang ingin menarik uang dalam jumlah besar, juga mengambil giro yang diminta oleh pihak kantor. kebanyakan urusan yang ada di kantor Senayan melayani perkantoran yang ada di sekitarnya. Rindu menarik napasnya panjang. Berusaha untuk tersenyum meski hatinya kesal. nasabah urusannya berbeda dengan Bujang. Ia tak bisa memberikan wajah sinis pada nasabah yang datang ke posnya. Sebagai calon head teller, ia harus professional. Urusan Bujang? Bisa ia kesampingkan. Di lain tempat, Bujang melonggarkan dasinya. Selama kurang lebih delapan tahun bekerja di Senayan, belum pernah ada staff seberani Rindu. Sepanjang usianya yang mendekati tiga puluh tujuh tahun juga, biasanya kesabaran Bujang selalu penuh. Tapi berkaitan dengan Rindu, sabarnya benar-benar dibuat di angka nol! Apalagi ia dengar sendiri keluhan RIndu untuknya. Apa katanya? ia ganteng tapi menyebalkan? Ia duduk di sofa yang seharusnya untuk tamu. Bersandar untuk sebatas melepas lelahnya karena Rindu. Padahal masih pagi tapi gadis itu sudah berhasil membuat moodnya anjlok. Diteguknya segera air minum yang sudah disediakan. Dalam beberapa kali teguk untuk meredakan jengkel yang ia punya. Hari ini banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. “Pagi, Pak,” suara ketukan di pintu ruangannya membuat ia segera menegakkan punggung. “Pagi.” Sosok Marta sudah masuk ke dalam ruangannya. Di tangannya terdapat berkas yang memang ingin didiskusikannya pagi ini. “Ini berkas yang Bapak minta.” Bujang mengangguk saja. “Taruh di meja dulu, Bu.” Marta tampak mengerutkan kening. Tak biasanya Bujang berwajah masam seperti ini. ingin bertanya tapi rasanya ia seperti ingin tau sekali mengenai keadaan Bujang. Tapi memang dirinya ingin tau! Bagi Marta, bicara santai dengan Bujang adalah impiannya. Tapi sayangnya selama ia bekerja di bawah komado Bujang, belum pernah ia bicara santai dengan sang bos. Mendekatinya saja sukar sekali. seperti ada batas yang sengaja Bujang beri di sekitarnya. “Bapak … ada masalah?” Sudah lah Marta tak tahan juga. Apalagi melihat Bujang ini sepertinya menghela napas panjagnya berkali-kali. Seperti tengah memikirkan sesuatu. Tapi apa? Marta jadi penasaran, kan? “Enggak, Bu. Saya baik.” Bujang berdiri dan segera kembali ke mejanya. “Nanti kalau sudah saya koreksi, saya beri tau Bu Marta, ya.” Marta rasanya ingin mengerucutkan bibirnya. Kenapa, sih, Bujang ini sama sekali tak memiliki kadar peka yang cukup tinggi? Apa kurangnya Marta untuk Bujang? Ia sudah berkali-kali menarik perhatian Bujang tapi selalu diabaikan. Tak terhitung ajakan makan siang bahkan makan malam di luar dari obrolan kantor tapi selalu berakhir nihil. Alias ditolak. Belum lagi kadang Marta memberanikan diri untuk berkirim pesan namun balasan Bujang hanya singkat, padat, dan tepat. Astaga, Tuhan! “Baik, Pak.” Marta tak bisa melakukan apa-apa, kan? “Saya permisi.” Ia pun memilih undur diri saja. berdoa semoga ada kebaikan yang bisa datang padanya sewaktu-waktu apalagi berkaitan dengan Bujang. “Oiya, Bu,” Marta langsung menoleh. “Ya, Pak?” Agak semringah gitu. “Saya boleh tau pendapat Ibu?” Wanita yang cantik mengenakan blazer pun mengerutkan kening. “Duduk dulu, Bu,” Bujang meringis jadinya. “Sepertinya saya butuh pendapat Ibu.” Senyum Marta tak mau pergi jadinya, kan? Pasti ada sesuatu yang bisa mereka bicarakan? Siapa tau bisa menambah keakraban mereka berdua. Lalu … ah, Marta jadi tak sabar. “Iya, Pak.” Segera saja ia tarik salah satu kursi yang ada. duduk di depan Bujang dengan hati yang riang. “Menurut Ibu … saya ini tampan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD