[10] Jangan meremehkan orang, Bujang

2029 Words
Tak henti-hentinya Kurniawan tertawa padahal apa yang mereka bicarakan juga tak terlalu lucu. Atau konyol? Entah lah. Tapi kurniawan benar-benar belum ingin menghilangkan derainya ini. “Bapak ini puas sekali tertawanya,” dengkus Bujang sembari menyesap kopinya. “Saya hanya mengutarakan fakta yang ada.” “Iya, saya tau.” Kurniawan berusaha untuk menormalkan dirinya. Ia pun berdeham sekilas dan kembali menatap Bujang. “Tapi kenapa laporan yang saya terima berbeda, ya, Pak?” Bujang hanya mengedikkan bahu. “Tanya Bu Sonia kalau begitu.” “Tapi sejauh ini pekerjaannya oke?” “Oke saja enggak cukup, kan, Pak?” Bujang kembali menyuarakan keberatannya. Ini mengenai Rindu. Siapa lagi yang dibicarakan mereka berdua di mana membuat Bujang sedikit kesal sebenarnya. Kenapa, sih, gadis itu malah muncul sebagai topik pembicaraan. Padahal bertemu dengan Kurniawan ini tak sebatas membicarakan Rindu, kan? “Saya paham, Bujang.” Kurniawan meletakkan cangkirnya. “Selama enggak menimbulkan masalah di Senayan, saya rasa enggak jadi soal.” Bujang berdecak. “Kalau itu memang maunya Bapak. Saya bisa apa?” “Kenapa memangnya kamu pengin banget Rindu enggak ada di Senayan? Kamu punya kandidat lain yang jauh lebih sesuai?” Pria berkemeja biru langit itu terdiam. Matanya menerawang jauh. “Sebenarnya enggak ada. Hanya saja sejak awal saya kurang suka mengenai gembar gembor kalau Rindu itu kandidat terbaik. Ini dan itu lah. Bapak sendiri juga memujinya, kan? Tapi yang saya lihat? Enggak sehebat itu.” Kurniawan menarik sudut bibirnya tipis. “Mungkin karena kamu yang sejak awal enggak terima makanya salah terus pergerakan Rindu untuk kamu.” “Saya berpikir masih menggunakan logika, Pak.” Bujang sedikit menegakkan punggung. “Kalau memang salah, ya buat saya salah. Saya tegur agar lebih baik lagi. karena menyangkut nama branch, Pak. Juga perusahaan tempat kita bekerja, kan?” Kurniawan sepakat akan hal itu. “Jadi kalau hemat saya, dalam waktu tiga bulan ke depan saya enggak bisa mengajukan atua meloloskan Rindu sebagai head teller. Itu keputusan saya, Pak.” Kembali Kurniawan mengangguk. “Yah … kamu yang paling tau kebijakan yang sampai ke kantor pusat. Kalau kamu sudah ambil keputusan itu, saya hargai. Hanya saja kamu butuh pengganti Ayana, kan? Kapan dia cuti?” “Dua minggu lagi.” Bujang terkekeh. “Untuk gantinya bisa saya ajukan nanti, kan? Saya tetap berikan kesempatan untuk Rindu tapi enggak dalam waktu dekat ini. Itu saja, Pak. Mohon jangan disalah artikan. Untuk sekarang saya enggak izinkan, tapi sekitar enam bulan lagi, saya siapkan nama Rindu untuk pengajuan kembali. Base on referensi saya.” Kurniawan tampak memahami apa yang bujang minta. “Silakan. Saya menyerahkan bagaimana personel di Senayan sama kamu. Saya yakin, kamu lebih memahami semua staff di sana ketimbang saya. Hanya peringatan saya untuk kamu, jangan terlalu keras sama staff. Namamu itu dikenal galak, lho, Bujang.” Mendengar ucapan bernada selorohan, Bujang hanya tanggapi dengan senyum tipis. “Terserah orang bilang apa, Pak. kapan saya peduli?” “Ngomong-ngomong mengenai orang lain, mau sampai kapan kamu sendirian?” Bujang mengerutkan kening. “Kenapa pertanyaannya enggak nyambung?” Kurniawan tertawa. “Kapan kamu bisa menanggapi ucapan saya dengan serius. Saya pengin lihat kamu ada yang dekati gitu, Bujang.” “Bapak ini sama seperti Bu Marta saja. Malah merembet ke pasangan.” “Eh … kenapa kamu enggak mendekati Marta? Toh kalian sama-sama single, kan?” Bujang memilih tertawa saja. Mengalihkan pembicaraan ke arah lain asal jangan mengenai pasangan hidupnya. Bagi Bujang, tak punya pasangan bukan masalah yang berat untuk ia hadapi. Ia sudah terbiasa ditanya mengenai hal ini. tak terlalu ia risaukan karena sudah berlalu lama. Ada atau tak ada pasangan bagi Bujang itu … sama saja. *** Rindu tiba di rumah setelah berjibaku dengan macet yang membuatnya lelah. Karena hal itu juga, ia menyempatkan diri memberi nasi goreng di ujung gang rumahnya agar tak mondar mandir. Tau kalau dirinya pasti sendirian, Rindu hanya membeli satu porsi. Rumahnya sudah dalam keadaan gelap gulita. Pertanda memang ibunya sudah tak lagi ada di rumah. Mendesah pelan, ia pun mendorong pintu yang sudah berhasil ia buka. Menyalakan semua lampu dan mulai memasukkan motornya. Setelah makan nanti, ia memilih untuk tidur lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa hari ini ia merasa lelah sekali. Apalagi teringat mengenai masalah laporan sore serta ucapan Bujang. “Kenapa, sih, aku bego banget mau aja dipindahin ke Senayan,” sungut Rindu setelah berhasil mengganti semua seragamnya. Dirinya juga merasa jauh lebih baik setelah mandi meski hatinya masih dirudung kesal. “Telepon Riana ah. Curhat bisa kali, ya.” Namun sayangnya, keinginan itu tak bisa dilakukan Rindu. beberapa kali ia telepon Riana, sahabatnya itu tak merespon sama sekali. “Sudah lah. Makan aja.” Meski ditemani drama kesukaannya, nasi goreng yang masih hangat serta enak ini, tapi tetap saja kesal yang Rindu punya masih bercokol di d**a. Tak ada tempat untuknya mengadukan apa yang tengah dirasakan. Ada ibunya juga sebenarnya sama saja. Ia merasa sendirian. Ibunya lebih banyak sibuk dengan dunianya sendiri serta pekerjaan yang tak ada habisnya itu. Ah … kenapa Rindu jadi semellow ini? Biasanya juga seperti ini, kan? Ia sudah biasa sendirian, kan? Kenapa harus sedih hari ini? Ia pun segera memutuskan untuk mempercepat makannya. Menonton dramanya akan ia lanjutkan di hari weekend saja. Lebih baik ia segera tidur agar tak terlambat bangun. Meski belum pernah kejadian sampai terlambat masuk ke kantor, tapi menjaga itu perlu, kan? Namun belum juga ia bergegas ke kamarnya setelah merapikan alat makan, ponselnya berdering nyaring. Ia sedikit terkejut karena nama ibunya muncul di layar. “Ya, Bu?” “Rindu, ini Rindu, kan?” Rindu menjauhkan layar ponselnya. Suaranya tak ia kenali tapi sepertinya bising di sana terdengar jelas sekali. “Ini siapa, ya?” “Ini Koni, Rin. Tante Koni. Ingat?” Ah … teman ibunya yang berambut merah cepak. Seperti perempuan tomboy tapi bagi Rindu, Tante Koni sosok yang baik meski agak sedikit heboh. “Ya, Tante. Ada apa?” “Rin, ibumu pingsan. Bisa ke sini?” “Pingsan?” “Iya. Pasti dia kelelahan. Harusnya enggak bekerja hari ini tapi maksa,” sungut Koni di sana. “Iya, Tante aku segera ke sana.” Rindu pun bergegas. “Tante bawa ke rumah sakit terdekat, Rin. Ini lagi diperjalanan. Soalnya tadi ada kejangnya juga.” Jantung Rindu rasanya berhenti berdetak. Kejang? Bagaimana bisa? Ya Tuhan! Yang ia miliki di dunia ini hanya ibunya. Jangan sampai dirinya kehilangan sang ibu. Ia belum sanggup. Masih banyak yang ingin ia lakukan untuk ibunya meski selalu mendapatkan penolakan. “Iya, Tante. Rindu segera ke sana. Kasih tau alamat rumah sakitnya, ya.” Rindu berusaha sekali untu tegar meski air matanya sudah menggenangi pelupuk matanya. “Oke.” Tak membuang waktu lama, Rindu menyambar cardigannya. Tas kecil yang ada di gantungan baju miliknya juga segera ia ambil. Dijejalnya dompet serta ponsel miliknya. Memastikan tak ada yang tertinggal, ia pun kembali mengeluarkan motor yang sudah terparkir di dalam rumahnya. Bertepatan juga dengan hal itu, Riana meneleponnya. Berhubung Rindu dikejar waktu, ia mengabaikan dulu telepon dari sahabatnya itu. Nanti saja kalau ia sudah mendapatkan kabar yang lebih jelas mengenai ibunya, ia pasti akan menghubungi Riana kembali. ia tak bisa berpikir jernih sekarang karena ketakutan akan ibunya semakin besar. Bagaimana bisa ibunya kejang? Kelelahan juga? Tapi kalau dipikir-pikir, seharusnya memang sang ibu masih belum kembali bekerja. Apalagi kenapa sudah berangkat di saat Rindu belum pulang? “Ya Tuhan, lindungi Ibu.” *** Sosok Farah terbaring lemah dengan selang infus di sisi kirinya. Rindu sejak semalam tak beranjak barang semenit dari sisi ibunya. Sesekali ia usap penuh sayang wajah yang agak pucat ini. Kondisi Farah sudah jauh lebih baik dari pertama kali masuk ke ruang IGD bersama Koni. Entah apa jadinya kalau Koni tak ada di sisi Farah semalam. Koni sendiri, begitu melihat Rindu datang, bicara apa adanya mengenai keadaan Farah di tempat kerja, ia pun meninggalkan mereka berdua. Sebenarnya tak tega tapi mau bagaimana lagi. ada pekerjaan yang harus ia selesaikan dulu. Ia berjanji akan segera menyusul Rindu begitu jam kerjanya usai. Tak jadi soal untuk Rindu. Toh ibunya sudah dalam penanganan pihak rumah sakit. Ia yakin sekali ibunya pasti baik-baik saja. Setidaknya ia butuh pemikiran positif karena ketakutannya bukan tanpa alasan. Selain kelelahan, kadar alkohol yang masuk ke dalam tubuh ibunya cukup besar. Bisa dibilang ibunya mengalami kejang lantaran toleransi alkoholnya melebihi apa yang bisa diterima tubuh sang ibu. “Sudah ya, Mi, jangan kerja lagi,” kata Rindu pelan. Diusapnya penuh lembut tangan yang agak dingin ini. “Rindu takut, Mi.” Tak ada jawaban apa-apa karena Farah memang belum sepenuhnya sadar. Dokter bilang, sementara waktu Farah memang harus beristirahat dan harus menjalani terapi mengenai apa yang masuk ke dalam tubuhnya. Untung saja tak ada indikasi penyalahgunaan narkoba di dalam aliran darah sang ibu. Entah bagaimana Rindu jadinya nanti. “Rindu bisa, kok, menjamin hidup kita berdua. Mami enggak perlu temani tamu lagi, ya. Sudah sukup.” Satu tetes air mata Rindu mengalir kembali. ia tak peduli kalau pipinya kembali lembab karena air matanya. Sang ibu memang bekerja sebagai host salah satu kelab malam di Mangga Dua. Pekerjaan itu sudah lama dilakoni dan ia tak peduli akan ucapan orang lain. Yang terpenting putrinya, Rindu Anjani bisa bersekolah dengan baik dan kini bekerja di tempat yang menurutnya membanggakan. Meski farah tak ingin terlalu banyak mengakui bagaimana perjuangan Rindu untuk ada di titik sekarang, tapi paling tidak ia berhasil menyekolahkan Rindu. Namun ia tak ingin menjadi beban bagi putrinya. Ia masih bisa bekerja. Seperti sekarang ini walau resiko yang harus ia tanggung cukup besar. “Sebentar lagi Rindu naik promosi, Mi. Gaji juga pastinya ada penyesuaian. Mami enggak perlu kahawatir mengenai makan dan rokok. Pasti Rindu bisa belikan. Asal jangan kerja lagi, ya, Mi,” kata Rindu dengan nada memelas. Tak ia pedulikan ada pening di kepalanya karena tak tidur sepanjang malam ini. Ia memilih duduk di sisi ibunya, menunggu sampai sosok wanita yang masih cantik di usia sekarang ini agar segera sadar. Pesannya pada Marta sudah terkirim, pun Ayana dan Dela. Hari ini ia tak masuk kantor karena sang ibu membutuhkannya. Kalau nanti bosnya tak terima, Rindu siap untuk menghadapinya. Asal jangan mencegahnya untuk mendapatkan promosi yang sudah dijanjikan sebelum ia pindah. Semoga saja. *** Bujang mengerutkan kening ketika masuk ke area lobby. Biasanya sudah ada Yuni dan Rindu di sana mempersiapkan diri serta area untuk melayani customer pagi ini. Setelahnya mereka pasti briefing sejenak untuk kembali mengulas pekerjaan sebelumnya dan juga berdoa agar hari ini tak ada kendala yang berarti selama bertugas di masing-masing bagian. “Pagi, Pak,” sapa Yuni dengan senyumannya yang lebar. “Pagi, Yuni.” Bujang tanggapi dengan senyum tipis. “Dela masih belum masuk?” “Belum, Pak. Kemarin saya chat, masih observasi lanjutan. Kayaknya lambungnya benar-benar bermasalah.” Yuni mengatakan hal itu dengan sorot sendu. Tak terbayang bagaimana sosok Dela yang biasanya periang, berakhir di ranjang rawat rumah sakit. Mendengar hal itu membuat Bujang mengangguk pelan. “Kalau Rindu … mana?” “Oh, Kak Rindu hari ini izin, Pak. Ibunya dirawat di rumah sakit.” Bujang makin jadi kerutannya. “Kenapa enggak izin saya?” Yuni melongo yang mana juga membuat Bujang memilih untuk segera naik ke ruangannya. Ah … bertemu Marta lebih tepatnya. Konfirmasi apakah Marta tau mengenai izin yang Rindu buat? Begitu tiba di lantai tiga, Deputy Branch Managernya ini tengah berkutat dengan pemulas bibirnya. Agar terkejut mendapati Bujang yang mendekat ke arahnya. Ada senyum canggung juga di wajahnya saat mata mereka bertemu meski sekilas. “Pagi, Pak,” sapa Marta berusaha ramah. “Pagi, Bu.” Bujang kembali menarik senyumnya meski segaris. “Lanjutkan saja.” “Ah,” Marta jadi malu. “Ada apa, Pak? Kita nanti mau briefing, kan?” “Iya. seperti biasanya saja.” Bujang menarik salah satu kursi yang ada. Meski tak lama ada di sini tapi setidaknya ia harusmenuntaskan rasa penasarannya. “Apa Rindu ada izin sama Ibu hari ini enggak masuk?” “Ah, iya Pak. Ibunya masuk rumah sakit semalam. Tadi telepon saya dan beri foto jelas.” Bujang mengangguk paham. “Oke kalau begitu.” Ia pun bersiap kembali naik satu lantai tapi dengan satu pemikiran; Kenapa Rindu tak mengabarkan dirinya? Apa anak itu butuh diberi peringatan agak keras? Bujang … atasan paling tinggi di sini, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD