[8] Boss Aneh!!!

1745 Words
Sudah berlalu tiga hari sejak Rindu ketimpa motor dan tangannya juga sudah jauh lebih baik. Hanya saja Dela masih belum masuk sampai sekarang. keracunan yang ia derita cukup membuatnya dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Ia juga sebenarnya sudah berusaha hati-hati tapi ternyata makanan yang ia santap kala itu mengandung udang. Jadinya sekujur tubuhnya bengka-bengkak dan ia kesulitan bernapas. Mendengar cerita mengenai Dela sebenarnya ingin sekali Rindu menjenguknya meski sebentar. Tapi mau bagaimana lagi, biarpun ia bisa membaca maps tapi kalau pulang kerja dirinya sudah lelah dan ingin segera tiba di rumah, bukannya akan bahaya kalau ia paksakan diri? Cabang Senayan ini tak pernah sepi pengungjung. Ada saja yang datang dan selalu ada nasabah prioritas yang cukup membuat Rindu ketar ketir. Jangan sampai dirinya kelelahan dan berakibat sakit lantas izin bekerja. Ia tak mau berurusan dengan Bujang lagi. Entah kenapa, dirinya harus kembali ada di ruangan Bujang. Saat itu Bu Marta izin ke kantor pusat karena ada sesuatu hal yang harus dibahas. Biasanya juga, Ayana bilang, kalau ada apa pun yang berkaitan dengan kantor pusat selalu Bujang yang menghadiri. Kali ini tidak. makanya Ayana juga heran dan bergosip jadinya dengan Yuni. Rindu diajak, sih, tapi kebanyakan ia tak peduli. Yang menjadi bahan pergunjingan mereka adalah orang yang membuat Rindu ingat mengenai slip setoran; Bujang Anom. Astaga! Kenapa namanya seaneh itu, sih? “Bu Marta pasti mau bertemu Pak Kurniawan juga,” kata Yuni kembali memulai pergosipan panas. Matanya memperhatikan sosok wanita yang elegan mengenakan blazer navy serta sepatu high heesl lima centi ini. sejak turun dari lantai tiga ruangannya, senyum di wajah Marta tak mau hilang. Seperti ada kesempatan tersendiri dirinya bisa ke kantor pusat. Siapa, sih, yang tak ingin berkunjung ke sana sekadar untuk eksis? Apalagi kalau ke sana bisa membicarakan mengenai personality masing-masing di mana berakhir dengan promosi naik jabatan? Yah … meskipun lama dan tak jarang juga harus melalui banyak seleksi. Test untuk naik satu tingkat di sini cukup lama. Selain butuh pengalaman serta kinerja yang mumpuni, mereka juga biasanya dekat dengan petinggi di kantor pusat. Seperti Marta ini. “Yah, apa lagi, sih,” kata Ayana sembari mengedikkan bahu. “Tiap orang punya kepentingan kalau sudah bertemu dengan Pak Kurniawan.” Yuni tertawa sementara Rindu hanya mendengarkan saja. Ia tengah menghitung total uang sebelum dimasukkan ke dalam brangkas penyimpanan yang ada di belakang mereka. “Eh tapi aku dengar juga dari para admin, ya, katanya bulan depan mau ada gathering?” Mendengar ucapan Yuni barusan membuat Ayana berbinar gembira tapi kemudian berubah sendu. “Yah … aku enggak bisa ikut. Sudah mulai cuti dan mulai mempersiapkan kelahiran.” Ia pun mengusap perutnya yang memang sudah buncit ini. sebenarnya tiap tahun acara gathering adalah yang paling ditunggu oleh para staff baik yang ada. Acara itu dipergunakan untuk melepas penat karena banyaknya aktifitas yang mereka lakukan dalam kesehariannya. Sekaligus untuk mengakrabkan diri dengan divisi lain yang ada. Sebenarnya juga acara itu sangat Rindu tunggu di tahun ini. Bersama Riana dan teman kantor lainnya di Gajah Mada, pastilah acara gathering itu berlangsung seru. Tapi kali ini ia harus menahan segala keinginannya akan keseruan yang sudah terbayang. Ia ada di Senayan yang mana artinya ia akan ikut rombongan staff dari Senayan. Ah … menyebalkan. “Duh, kasihan Kak Ayana,” kata Yuni penuh simpati. “Nanti aku ceritain aja, ya.” Ayana makin manyun jadinya. Tapi begitu melihat ekspresi wajah Rindu, ia jadi penasaran. “Eh … kamu kenapa, Rin?” Rindu yang belum selesai hitungan lembaran merahnya dalam satu bundle, terdiam. Menghela napas karena tak bisa menahan diri kalau ingat tentang gathering. “Pasti aku ikut di tim Senayan, ya. Aku penginnya ada di tim Gajah Mada.” Ayana memahami apa yang Rindu katakan. “Aku yakin pasti tim di kantor ini enggak kalah seru, kok, Rin. Aku aja pengin banget ikut gathering. Sayangnya aku lagi hamil, sih.” Rindu berusaha tersenyum meski terpaksa. “Yah … aku, kan, baru di sini. Yang kukenal cuma kalian aja. kalau yang lainnya hanya sebatas tampang aja.” “Makanya kenalan, Kak Rindu.” Yuni berkata tanpa dosa. Matanya juga menatap Rindu tak bersalah. Seolah ucapannya ini biasa sekali diucapkan tanpa beban. Rindu juga maunya kenalan sama staff yang ada di sini tapi, kan, waktunya terbatas. Lagi juga mereka pasti sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Makanya diadakan acara gathering untuk saling mengakrabkan diri. Tapi bagaimana caranya kalau Rindu sebenarnya kurang nyaman. Apa karena bos di sini yang membuatnya merasa asing? “Rin, kamu dipanggil Pak Bujang.” “Hah?” Ayana tersenyum lebar. “Bawa laporan ini juga, ya. Pak Bujang bilang mau lihat hasil laporan yang kamu buat sejak pagi. Hari ini semuanya, kan, kamu yang buat. Jadi mungkin Pak Bujang mau menilai langsung, Rin.” Bukannya RIndu tak mau tapi kapan Bujang turun? Seolah menjawab pertanyaan yang ada di benak Rindu, Ayana kembali berkata, “Tadi Pak Bujang telepon aku. kamu lagi ngobrol sama Yuni jadi enggak ngeh mungkin.” Hal itu memang bisa saja terjadi. “Yuni aja. Aku ada nasabah.” Rindu tersenyum seraya berdiri menyambut customer yang menghampiri loketnya. Dilihat dari tempatnya berdiri, hanya ada satu nasabah yang datang. Tapi ia berharap, apa yang diinginkan nasabah ini bisa memperlambat waktunya dan berkilah agar Yuni saja yang menemui Bujang. Ia tak mau bertemu sang bos. Baginya, Bujang itu aneh! *** Rindu terpaksa, catat lho, ya … terpaksa. Sangat amat terpaksa melangkahkan kakinya naik satu demi satu anak tangga yang ada menuju lantai empat ruangan Bujang berada. Sebenarnya ada lift yang bisa ia pergunakan tapi sungguh, Rindu maunya memperlambat waktu saja. Di tangan kirinya satu maps berisi laporan yang sejak pagi memang dirinya yang mengerjakan sudah dipersiapkan. Rindu, sih, yakin enggak ada yang salah. Entah kalau di mata Bujang kesalahan kecil jadinya besar. Bujang di mata Rindu ini hobi betul cari masalah. “Kenapa harus aku, sih,” gerutu Rindu tiap kali langkahnya menginjak anak tangga. Gerutuannya terus saja ia ciptakan karena merasa berat sekali melangkah. “Memangnya enggak ada yang lainnya? Kan ada Kak Ayana. Lagian biasanya juga dia yang laporan. Ck!” decak Rindu makin kesal. Ia jadi teringat mengenai pesannya kemarin sore. Merasa nomor asing, Rindu tak terlalu peduli. Ia melangkah menuju parkiran motor dan mulai menggerakkan tangannya. Astaga, Tuhan! Sakitnya jauh lebih parah dibanding saat ia ketindihan motor di hari sebelumnya. Kalau ia bersikeras dan tak bisa mengendalikan stang motor, lantas ia … ah, tidak-tidak-tidak. Ia tak mau mengambil risiko itu. “Order gojek sampai berapa hari coba? uang aku menipis, kan,” dumel Rindu sembari keluar area parkiran. Belum lagi ia mendapatkan ojek, sudah apa pesan masuk yang membuatnya mengerutkan kening. Juga … “Astaga!” [+61813***10080 : Save nomor saya. Bujang.] Mata Rindu tak salah lihat, kan? Ini pesan yang dikirimkan Bujang, kan? Ah … konyol! Diedarkannya pandangan ke sekitarnya. Banyak staff lain mungkin dari kantor lainnya yang bersiap untuk mengambil motor mereka. Sebagian ada yang bersama temannya, sebagian lagi sendiria. Seperti tempat parkiran gedung biasanya. Tapi kenapa Rindu merasa merinding, ya? Apa karena pesan ini? Alah! Timbang dirinya jadi masalah lebih baik ia arsipkan pesan yang baru masuk ini. Bergegas ia memesan ojek online dan pulang. Itu jauh lebih baik ketimbang berlama-lama ada di sini. tak butuh waktu lama pesanannya tiba di lobby. Segera saja ia meninggalkan kantor tempatnya bekerja tanpa menoleh lagi. Namun sepertinya pesan itu memang membuat pikiran Rindu melayang pada sosok yang menyebalkan itu. Selaiin terlihat tak suka terhadapnya, Bujang juga tampaknya membuat jarak pada orang yang ingin dekat dengan Rindu. Agar tak ada yang dekat dengannya. Begitu kah? Astaga! Benar. Pemikiran itu yang paling masuk akal dari segala macam kemungkinan mengenai kenapa tingkah sang bos antipati terhadapnya. Arsip pesan itu pun langsung masuk ke dalam keranjang sampah yang ada di ponselnya. Bahkan sekadar untuk menyimpan nomor bosnya saja enggan. Ia hanya meminta nomor Marta pada Ayana. Cukup Marta saja, kan? Toh Marta juga wakil kepala cabang di sana. “Ah, kenapa aku jadi ke sini lagi, sih,” keluh Rindu begitu berdiri di depan pintu kaca ruangan Bujang. “Bos nyebelin amat, ya.” Digerakkannya tangan penuh enggan. Mengetuk pintu juga tak ada semangatnya sama sekali bagi Rindu. Tapi begitu mendengar suara Bujang, ia harus berkamuflase dengan sempurna, kan? “Mana laporannya?” tanya Bujang tanpa perlu menoleh pada Rindu. Ia tak ingin berlama-lama gadis ini ada di ruangan yang sama dengannya. Karena kesalahannya kemarin, ia jadi meragukan bagaimana cara kerja Rindu sebenarnya. Meski Marta bilang Rindu ini cerdas dan cekatan tapi Bujang bukan orang yang gampang puas mengenai pekerjaan. Terbukti hal kecil saja bisa luput dari penglihatan Rindu. Bagaimana mengenai laporan yang biasanya dikerjakan head teller? Pastinya butuh konsentrasi yang cukup mumpuni, kan? “Ini, Pak,” kata Rindu pelan sembari menyerahkan laporan yang ada di tangannya tadi. ia tak ingin duduk di krusi yang pernah ia duduki itu. ada rasa trauma yang membuatnya enggan menaruh bokongnya di sana. Agak lama ia berdiri sembari memperhatikan bagaimana sang bos membaca tiap lembar laporan yang ada. “Duduk,” perintah Bujang. “Enggak usah, Pak.” “Saya masih lama,” balas Bujang dengan cepatnya. “Tadi di floor enggak ada orang lagi, Pak. Saya sepertinya juga harus kembali, kan?” Bujang menurunkan matanya dari laporan yang masih ia koreksi. “Siapa yang nyuruh kamu kembali ke sana? Ada Yuni dan Ayana yang lebih kompeten ketimbang kamu.” Mata Rindu tak percaya karena ucapan Bujang barusan. “Maksudnya, Pak?” “Lihat,” Bujang menyodorkan satu table dengan tanda merah yang besar. “Apa ini? Kamu buat laporan sembari menghitung uang atau apa, sih? Masa nominalnya bisa enggak balance?” Rindu langsung menarik laporan yang ia buat. Ditelitinya sekali lagi laporan barusan. “Enggak, Pak. Nominal ini benar. Ini, kan, setoran sore. Yang akan dibawa nantinya.” Bujang menghela panjang. “Lantas ini apa?” Ia pun membalik satu lembar lainnya. “Saya hitung hanya sekali tapi ada minus lima ratus lima puluh ribu rupiah. Laporan ini saya tahan. Kamu duduk di sini saya mau buka brankas sama Ayana.” “Lho, Pak?” Rindu jadi tak terima. “Periksanya sama saya juga, dong.” Bujang melirik sinis. “Duduk saya bilang.” Kalau saja berteriak tak terima rasanya sopan dilakukan pasti sudah Rindu lakukan. Sayangnya ini ruangan bos besar di kantor Senayan. Ia tak bisa melakukan apa pun selain mengepalkan tangan untuk meredakan kekesalan yang ia punya sekarang. “Kalau sampai uangnya enggak balance, saya bisa buat laporan kalau kamu enggak punya kredibilitas sama sekali untuk jadi head teller di sini, Rin.” Sialan!!! Bujang Sialan!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD