[0] Ruang Brankas

1778 Words
Bujang sebenarnya sudah lama sekali tak berkutat dengan bundelan uang. Baik yang seratus ribu atau yang lima puluh ribuan. Tapi karena ia memang harus mengecek laporan yang Rindu buat, ia terpaksa melakukannya. Disaksikan langsung oleh Ayana dan Dela, di saat customer akhir mereka sudah selesai dilayani, Bujang benar-benar merealiasikan ucapannya. Rindu hanya bisa melihat dari area luar. Bingung juga kesal kenapa Bujang sampai segitunya. Menurutnya nominal uang yang ada sudah sesuai dengan hitungan serta laporan. Hanya saja entah kenapa Bujang seperti mencari celah agar Rindu mendapatkan masalah baru. Ia yakin sekali Bujang tengah melakukan hal itu. buktinya kenapa juga dia bicara mengenai kredibilitasnya sebagai calon head teller yang baru? Astaga! Memang Rindu ini salah apa, sih, sama Bujang? Sampai bosnya ini menghalangi betul promosi yang ditawarkan padanya? Apa karena ia pindah ke cabang Senayan? Memang maunya? Kalau saja mendumel di tengah matanya yang memperhatikan bagaimana Bujang menghitung uang bersama Ayana diperbolehkan, pasti sudah sejak tadi bibirnya menyumpahi Bujang. “Ada apa ini?” tanya Marta dengan raut heran. Tak biasanya sang bos ada di floor. Apa terjadi sesuatu selama dirinya ke kantor pusat? Biasanya juga Bujang memberinya kabar tapi kenapa kali ini tidak. “Laporan saya lagi dicek sama Bapak, Bu,” sahut Rindu pelan. “Tumben,” Marta masih menampakkan keheranannya. “Sore, Pak,” tegur Marta yang membuat Bujang menoleh. “Ah, sudah kembali rupanya. Nanti kita diskusi sebentar, ya, Bu. Saya urus ini dulu.” Marta tersenyum saja. Sepertinya memang Bujang ini tak ingin diganggu saat menghitung lembaran uang yang ada. Nanti. Pasti akan Marta tanya ada apa sebenarnya. Jangan sampai salah satu di antara teller juga kasir membuat masalah apalagi berkaitan dengan uang. Di tangannya, sudah ada pengajuan untuk branch terbaik tahun ini. Nama cabang Senayan masuk list lima besar menyusul dengan Medan dan Surabaya. Ada beberapa kriteria kelengkapan berkas yang harus dipenuhi oleh Bujang juga Marta selaku pimpinan di Senayan. Jangan sampai ada kesalahan yang terendus oleh kantor pusat yang mana akan mempengaruhi penilaian mengenai cabang terbaik. Bukan apa, bagi Marta, bekerja di bawah komando Bujang membuatnya mendapatkan nama dan tempat yang jauh lebih layak ketimbang sebelumnya. Meskipun Bujang ini irit bicara dan kadang bekerja tak kenal waktu, tapi setidaknya dampak yang ia bawa positif sekali. Makanya ia heran ada apa sampai Bujang turun ke bawah. “Semuanya balance, Pak,” kata Ayana memberitahu. Semua laporan yang sama persis dengan milik Rindu juga sudah ia ceklis dan hasilnya tak ada yang aneh. Apalagi sampai minus. Tapi kenapa Bujang terlihat kurang suka dengan hasil yang ada. “Tapi kenapa saya hitung ada selisih?” “Oh, mungkin karena tabel ini, Pak.” Ayana langsung menunjuk apa yang dimaksud bisa membuat selisih pada perhitungan yang ada. Ia pun menjelaskan cukup detail perihal tabel yang ditunjuk tadi. Bujang mendengarkan dengan saksama dan juga menghitung menggunakan kalkulasinya. “Nah kalau dijelaskan seperti ini saya paham.” Bujang melirik ke arah Rindu yang masih berdiri tak jauh darinya. “Jangan hanya dibilang balance tapi enggak bisa menjelaskan apa yang salah di laporannya.” Rindu ingin sekali bicara panjang lebar. “Ya sudah. Lanjutkan laporan kalian. Jangan sampai ada kekeliruan.” “Baik, Pak.” Ayana dan Yuni segera mengangguk patuh. Membiarkan Bujang untuk keluar dari ruangan tempat mereka bekerja. Sementara Rindu tak menyahuti apa-apa, justru memberikan tatapan tak suka karena ucapan Bujang terkesan menyudutkannya sekali. Setelah memastikan bosnya itu menghilang di balik kotak besi yang akan membawanya sampai lantai empat, tempat di mana ruangannya berada. “Apa-apaan, sih, Pak Bujang ini!” dumel Rindu begitu memasuki ruang teller. “Kesal banget aku tau!” Ayana memilih mengusap bahu temannya itu. “Sabar. Memang terkadang Pak Bujang nyebelin banget.” “Iya tapi kenapa kayaknya musuh banget sama aku, Kak?” Rindu mengerang frustrasi. Ia sampai duduk agak kasar di kursinya. “Kesalnya enggak ilang-ilang. Padahal tadi aku berusaha untuk menjelaskan tapi sepertinya Pak Bujang ini enggak mau dengar apa-apa, Kak.” Ayana tersenyum penuh arti. Sementara Yuni merapikan semua bundle uang yang tadi dihitung ulang. Beruntung laporan sore mereka sudah selesai dibuat dan tak ada kendala apa-apa. Semuanya balance dan bisa dikunci dibrankas. “Mungkin enggak, sih, kalau Pak Bujang naksir Kak Rindu?” kata Yuni dengan kerjapan polosnya. Rindu langsung menegakkan punggung. “Enggak sudi!!!” Ayana memilih tertawa dengan kerasnya. “Duh … perut aku jadinya sakit.” “Ih, Kak Ayana ini malah kayak ngeledekin aku!” Rindu melipat tangannya di d**a. Menatap tak percaya pasa seniornya di sini. “Tapi memang terkadang Pak Bujang ngecek keadaan brankas dan laporan kok, Rin. Mungkin pas apes kamu yang buat laporannya dan beliau memang hobi banget mendesak kalau bertanya. Jadi harus punya jawaban yang selalu tepat sasaran karena Pak Bujang kalau tanya itu muter-muter juga bikin pening.” Rindu masih cemberut. Tangannya tapi tak bisa berhenti begitu saja. Ia pun langsung mengambil bagian untuk menyelesaikan laporan akhir sorenya kali ini. Berhubung dari ada Bujang, sekalian saja laporan sore dicek dan hasilnya sesuai dengan laporan yang ada. Memang berkaitan dengan uang dan laporan mengenai transaksi masuk serta keluar itu riskan sekali. selisih selembar saja bisa membuat pening kepala. Bukan perkara mengganti tapi di bagian mana yang salah dan apa yang berkendala. Itu harus ditelurusi dengan jeli. Tak jarang juga mereka harus membuka rekaman CCTV siapa tau ada yang salah baik dari teller atau pun pihak customer. Bukan sekali dua kali customer ada yang memanfaatkan kala kasir atau teller tengah sibuk menghitung catatan transaksi lainnya. memanfaatkan kelemahan pada bagian teller yang bisa saja saat itu pecah konsentrasinya. Makanya kenapa bekerja di posisi seperti Rindu ini harus benar-benar konsentrasi dalam bersikap. Baik pada customer atau juga pada uang yang ada di tangan. “Tapi kayak nuduh aku gitu, Kak,” kata Rindu masih tak terima meski tersisa sedikit lagi laporannya. Matanya juga tak lagi menatap Ayana juga Yuni. Mereka pun fokus pada layar kerjanya masing-masing. Meski begitu, tangan dan otak bekerja, mulut mereka masih bisa digunakan untuk menggosip. Seperti sekarang. “Enggak usah sentimel, Rin,” kata Ayana dengan kekehan. “Dela pernah dimarahi sampai mau nangis, ya, Yun?” Mendengar hal itu membuat Yuni mengangguk cepat. Tak ada raut wajah tak terima, masih kesal, atau dendam dengan bosnya. “Tapi, ya, Pak Bujang biarpun marahin kita gitu, dia selalu back up kalau terjadi sesuatu. Enggak pernah lepas tangan begitu aja, Kak Rindu. Lagian, ya, aku nangis itu merasa bodoh banget hal sesepele itu bisa enggak mengerti. Pak Bujang sabar, kok, jelasinnya. Aku aja yang keburu baper.” Rindu mana percaya. Yang ia terima tak seperti itu. Malah tuduhan dan sorot mata yang sangat sinis, yang ia dapatkan selama ada di ruangan Bujang. *** Mata Rindu tak teralih ke mana-mana selain pada ponselnya. Pesan yang dikirim dari ibunya satu jam lalu masih menjadi fokusnya sekarang. [Ibu : Ibu berangkat lebih cepat. Kamu beli makan di luar aja, ya] Sebenarnya pesan itu biasa saja namun bagi Rindu, ada sesuatu yang janggal di sana. setelah kepergiannya ke Bandung beberapa hari lalu memang ibunya kembali ke rumah dengan selamat tanpa kurang apa-apa. Lalu bekerja seperti biasanya di kawasan Mangga Dua. Pekerjaannya sering sekali membuat Rindu berusaha untuk membuktikan diri kalau ia bisa menghidupi mereka berdua kini. Sayangnya sang ibu tak mau mendengarkan apa permintaan Rindu. Padahal pagi tadi kondisi kesehatan ibunya membuat Rindu khawatir. Tapi sayang, sang ibu tetap lah keras kepalanya. Segera Rindu balas pesan itu karena rasa sayangnya yang demikian besar. [Rindu : Iya. Ibu hati-hati, ya. Rindu baru mau pulang] Setelah memastikan pesan itu terkirim, ia pun bersiap untuk mengeluarkan motornya dari slot parkir. Helm serta jaketnya juga sudah terpasang apik memeluk tubuh serta kepalanya. Ponsel yang tadi ia genggam sudah kembali masuk ke dalam tasnya. Hanya terpasang salahs atu earbuds sebagai penemannya di perjalanan pulang ke rumah. Tanpa Rindu sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan dengan lekatnya. Setiap gerak Rindu benar-benar memenuhi sorot mata setajam elang itu. Bukan karena di dalam kantornya ia tak puas untuk melihat sang gadis. Astaga. Tak ada pemikiran seperti itu di hatinya. Ia hanya tak suka dengan kehadiran Rindu di kantornya. Padahal sudah ia protes segala rupa, tapi tetap saja. “Lho, Pak Bujang tumben di sini?” tegur Marta yang tampak terkejut mendapati Bujang ada di area parkir motor. Biasanya sang bos sudah duduk manis di dalam mobilnya. tapi memang di parkiran lobby depan, tak ada sedannya yang biasa digunakan Bujang. Marta justru berpikir kalau Bujang sudah pulang beberapa waktu lalu. Tak ia sangka kalau bertemu di sini. “Iya, Bu,” Bujang hanya tersenyum tipis. “Saya duluan.” “Lagi bawa motor, Pak?” Marta berusaha untuk mengejar Bujang tapi terlihat menahan diri agar tak terlalu kentara kalau dirinya mengikuti sosok pria itu. “Iya, Bu.” Hanya itu yang Bujang katakan. “Saya … duluan, ya.” Marta cemberut jadinya. Padahal tadi saat mereka diskusi banyak yang Bujang katakan. Yah … meskipun pembicaraan mereka berkisar pada pekerjaan tapi Marta senang kalau Bujang bicara. Sulit sekali membuat bosnya itu bicara. Padahal tak ada yang salah kalau bicara dengan para karyawananya, kan? Bujang tadinya ingin menghampiri Rindu. Ingin ia peringati gadis itu agar tak lagi berulah tapi mengingat ini parkiran, ia tak bisa melakukan hal itu, kan? Tak sopan rasanya kalau harus bicara di sini terutama karena masalah pekerjaan. Andai tadi tak diskusi masalah nominasi branch terbaik tahun ini, pasti Rindu sudah ia panggil kembali ke ruangannya. Agar bisa ia peringati lebih hati-hati dan bisa menjawab apa yang ia tanyakan. Padahal format yang mereka pakai juga sama, kan? Kenapa Rindu malah tak bisa menjawab pertanyaannya? Gadis dengan kapasitas seperti itu, kok, mau diajukan menjadi head teller? Yang benar saja. Belum juga langkahnya terhenti di depan motor besarnya, ponsel yang ada di sakunya berdering cukup nyaring. Merasa bisa mengangguk obrolannya, ia memilih menepi di sekitar batas luar parkiran. Gedung ini menyediakan fasilitas parkir yang cukup lumayan bisa dijadikan tempat sekadar menghabiskan satu batang rokok. Seperti yang dilakukan beberapa staff lainnya yang ada di pelataran parkir. Tapi tidak berlaku untuk Bujang. Ia memilih bersandar di salah satu tiang di mana udara bebas menyapanya. Nama Kurniawan muncul di layar yang mana membuatnya mengerutkan kening. “Ya, Pak?” Tumben sekali atasannya itu menelepon di luar jam kerja. “Kamu ada waktu? Saya ingin bicara. Kebetulan ada di Senayan City.” Bujang terkekeh. “Café shop biasa?” “Boleh lah.” “Baik, Pak.” Bujang pun segera mematikan sambungan telepon itu. Rasanya ada hal yang cukup mendesak yang akan dibicarakan seorang Kurniawan padanya. Segera saja ia putar arahnya menuju tempat yang telah disepakati tadi. Matanya tanpa sadar mengarah pada tempat di mana Rindu memarkirkan motornya. Jelas sudah tak ada, sih, tapi entah kenapa Bujang malah terus memperhatikan. “Ck! Bocah itu!” dumel Bujang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD