[7] Pesan Aneh di Hape Rindu

1836 Words
Rindu meringis sesaat setelah diobati tetangganya. Sang ibu masih belum pulang dan tak tau kalau lengan putrinya harus mendapatkan perawatan, meski sedikit tapi tetap saja rasanya sakit. Untungnya tetangga Rindu orangnya baik-baik walau tak jarang mengghibahi Rindu dan ibunya yang bekerja di tempat yang menurut mereka kurang sesuai. Setidaknya masih ada yang perhatian dengan Rindu, kan? “Kalau bisa besok jangan kerja dulu, Neng,” kata Mpok Mirah. Tukang urut yang mengobati lengan Rindu kali ini. ketindihan motor serta sedikit tergores persis di bagian siku membuatnya kesakitan sepanjang jalan pulang tadi. Ia memutuskan meninggalkan motornya di parkiran gedung ketimbang berkendara di saat tangannya seperti ini. itu juga disarankan oleh Yusup (lebih tepatnya dipaksa). “Kamu diburu apaan, sih? Macam lihat hantu saja.” Yusup tertawa sembari membangunkan motor yang jatuh menimpa Rindu karena tergelincir tadi. Sebenarnya ia tak ingin tertawa tapi mau bagaimana lagi, kejadian itu benar-benar membuatnya sakit perut. Mendengar tawa Yusup ini membuat Rindu manyun. Tapi ia juga tak bisa menyalahkan tingkah pria yang masih belum mau meredakan tawanya itu. Salahnya juga, kan, kenapa malah ngebut begitu saja? Memangnya salah kalau Yusup menegurnya? “Lebih baik kamu naik ojol aja, Rin. Motornya taruh sini dulu. Takutnya tangan kamu bengkak sampai di rumah. Lecet juga, kan?” Apa yang Yusup bilang benar juga. Ada nyeri yang mulai Rindu rasakan sekarang. “Tapi motor Rindu aman di sini?” “Aman, kok.” Jadi lah Rindu tak pulang bersama motornya. Ia juga tak ingin mengambil risiko lebih besar lagi mengingat jarak kantor dan rumahnya cukup jauh. Sepanjang jalan pulang, tangan kirinya semakin nyeri saja. ia rak berhenti meringis sakit selama di motor. Untung saja tak terlalu lama bagi Rindu untuk sampai ke rumahnya, karena driver ojolnya pintar menyalip sana sini. ia bisa segera ke rumah Mpok Mirah untuk minta diurut. “Besok enggak usah kerja dulu, Neng. Biar istirahat dulu tangannya.” Bahu RIndu terkulai lemah. “Enggak terlalu banyak pakai tangan kiri, kok, Mpok.” “Yang penting dibebat dulu aja, ya. Besok pagi setelah kamu mandi, diganti dulu.” Rindu tersenyum riang. “Iya, Mpok. Makasih.” “Lagian kamu lagi ngapain, sih, Neng? Segala jatuh dari motor?” Tak mungkin Rindu berkisah cerita yang sesungguhnya, kan? “Lain kali hati-hati.” “Iya, Mpok.” Tak lama berselang, Mpok Mirah dan Bu Kiran pun pulang. Sejak taadi juga Bu Kiran menemani Rindu dan bertanya ini itu. Rindu hanya jawab sekilasan karena merasakan sakit di sekitar tangan kirinya. Jam di dinding kontrakannya sudah menunjuk pukul tujuh malam. Mendadak juga ia merasakan perutnya agak lapar. Teringat kalau malam ini ia masih tidur sendirian karena sang ibu juga belum ada kabar sama sekali. Padahal banyak pesan yang Rindu kirim padanya. Dulu, saat pertama kali Rindu tau bagaimana cara menggunakan ponsel, sering sekali ia berkirim pesan pada sang ibu. Punya rasa khawatir yang besar saat ibunya tak kunjung membalas rentetan pesannya. Tapi sekarang, rasa khawatir itu tak terlalu besar karena Rindu tau, ibunya pasti baik-baik saja. “Aku harus makan. Jangan sampai telat makan. Bahaya,” kata Rindu sembari mengambil dompet dan ponselnya segera. Ia memilih mampir ke warung nasi yang tak jauh dari gang depan rumahnya. Biasanya ia berkendara menggunakan motor tapi karena tangannya seperti ini, ia akhirnya berjalan. Lingkungan tempat tinggalnya tergolong cukup padat. Jadi ia tak khawatir berjalan sendirian di jalan lingkungan rumahnya karena masih banyak warga lainnya yang beraktifitas. Pilihannya jatuh di warung makan padang yang terlihat menggugah seleranya begitu melihat jejeran lauk yang ada di sana. Tak lupa juga es teh manis sebagai penemannya makan malam kali ini. Rindu tak bisa telat makan sedikit saja. kalau tidak, maag-nya bisa kumat. Kalau sudah berulah perutnya, ia bisa tak masuk kerja beberapa hari. Makanya ia sangat menjaga dirinya terutama perkara makan. Penyakitnya ini juga disebabkan oleh pekerjaannya yang memang tak bisa begitu saja makan siang tepat waktu. Seperti sudah menjadi sebuah risiko karena dirinya bekerja sebagai frontliner di salah satu bank swasta terkemuka di Indonesia. Kendati begitu, ia berusaha agar tak gampang kambuh mengenai penyakitnya ini. Termasuk makan malam yang jangan sampai terlambat. Ditemani drama kesukaannya, malam yang Rindu lalui sendiri mulai merambah larut. Sebenarnya ia kesepian juga tapi mau bagaimana lagi? Sang ibu tak pernah mau mendengarkan apa yang ia minta. Memastikan semua pintu serta jendela terkunci rapat, ia pun memilih tidur saja. masih ada hari esok yang panjang dan ia berharap tak lagi menemui Bujang di ruangannya. Karena sosok sang bos juga lah ia mengalami hal seperti ini, kan? Benar. Ini semua salah Bujang! *** “Lho, Rin?” Ayana tampak terkejut begitu melihat Rindu. bukan karena kedatangan rekan kerja barunya ini tapi tangannya yang dibebat. “Kamu kenapa?” Rindu belum juga menaruh tasnya tapi sudah keburu diberondong pertanyaan. Inginnya, sih, menghindar karena takut dibilang drama. Tapi mau lewat mana lagi ia untuk masuk ke dalam kantornya kecuali lobby utama? mesin absen juga adanya di dekat lantai satu, kan? Jadi lah ia meringis saja. “Enggak kenapa-napa, Kak.” “Enggak kenapa-napa gimana,” Ayana berdecak. Dipegangnya pelan tangan Rindu yang mendapatkan bebat kain seperti menderita patah tulang. “Kamu kenapa?” tanyanya sekali lagi. bertepatan dengan pertanyaan Ayana, Marta juga masuk. “Kalian kenapa?” tanya Marta heran. Namun begitu melihat Rindu dengan tangan dibebat matanya jadi langsung penasaran. “Kamu kenapa, Rin? Jatuh?” “Iya, Bu.” Sudah lah, Rindu tak bisa mengelak lagi. “Kemarin saya jatuh.” “Astaga!” Marta tampak prihatin. “Kamu bisa nantinya di depan?” “Bisa, Bu.” Sekadar nyeri saja tak akan menghalangi Rindu untuk bekerja. Toh ia bisa bekerja pelan-pelan. Masih ada Dela dan Ayana, kan, di kasir depan? Ia pasti mendapatkan bantuan. Atau setidaknya membantu Ayana membuat laporan serta pekerjaan lainnya. “Kamu koordinasi saja dengan Dela dan Ayana, ya. Duh … hati-hati, Rin, berkendara.” Rindu tersenyum tipis. Meski di depannya Marta masih menatapnya dengan sangsi tapi ngeri melihat tangannya, tapi ternyata Marta masih punya rasa perhatian padanya. “Ehm … tapi, Bu,” kata Ayana menyela. Matanya terlihat gusar menatapi satu per satu orang yang ada di depannya. “Dela sakit, Bu. Semalam ia masuk rumah sakit.” “Kenapa memangnya si Dela?” Ayana memejam sejenak. “Keracunan makanan, Bu. Semalam salah makan kata ibunya.” “Astaga,” Marta menutup mulutnya. “Kalian harus bisa bekerja sama nantinya, ya.” “Rindu bisa, kok, Bu. Ini sudah jauh lebih baik. Hanya tinggal nyeri sedikit aja, kok.” Marta menepuk bahu Rindu sekilas. “Pokoknya kalian berdua sama-sama, ya. Ada Yuni juga, kan?” Ia pun menatap Ayana yang langsung mengangguk. “Iya, Bu. Ada Yuni juga, kok. Enggak terlalu mengkhawatirkan banget.” “Syukur lah kalau begitu.” Sebenarnya Rindu tak terlalu yakin bisa menggunakan tangan kirinya tapi ia tak bisa mengeluh sekarang. jangan sampai karena tangannya ini malah semakin membuat repot Yuni juga Ayana. Apalagi melihat perut Ayana yang besar itu. Pastinya lelah gampang sekali menyerah wanita yang tampak cantik itu. “Biar aku yang hitung uangnya, Kak Rindu buat laporan dan cek slip, ya.” Yuni menghampiri Rindu yang kini tengah berusaha untuk merapikan penampilannya. Agak susah ketika tangannya menggapai bagian belakang rambutnya yang harus tertata rapi. “Sini aku bantu, Kak.” “Makasih, ya, Yuni,” kata Rindu dengan setulus hati. “Iya. nanti biar aku yang urus slip juga laporannya. Kamu hitung uang aja. nanti aku bantu juga, kok.” “Iya, Kak.” Rindu tersenyum menanggapi. “Oiya, tadi Bu Marta ajakin nengok Kak Dela. Kak RIndu mau ikut?” “Di mana memang rumah sakitnya?” “Dekat rumahnya, sih, di daerah Pondok Indah.” “Jauh dari sini?” “Enggak terlalu tapi macet yang pasti,” kata Yuni sembari memberi sentuhan akhir di bagian rambut Rindu. “Warna rambut Kak RIndu pas banget sama wajahnya. aku iri, deh.” Rindu terkekeh. “Oke lah aku ikut. Tapi nanti ke sananya naik apa? Grab?” “Kayaknya gitu.” Rindu tak jadi masalah. Selama belum bisa menggunakan motornya, sepertinya ia harus keluar dana lebih untuk pulang. Tak apa lah ketimbang dirinya celaka lantaran nyeri di tangannya yang kadang masih suka ia rasakan. Sepertinya saat kemarin ketindihan motor, persis sekali di undakan parkiran. Makanya ada lebam juga di sekitar tangannya. Beruntungnya ia, pekerjaan hari ini berjalan lancar meski agak lelah mondar mandir naik ke lantai tiga juga empat. Karena Rindu tak bisa menggunakan tangan kirinya untuk menghitung uang, dirinya lah yang mondar mandir untuk minta validasi terutama pada Bujang. Entah kenapa juga, sosok bosnya ini tak banyak bicara seperti biasanya. Oh … hanya bertanya kenapa lengannya dibebat dan setelah Rindu beritahu apa yang menimpanya, Bujang tak banyak bertanya lagi. syukur lah. Setidaknya ia tak mendapatkan banyak koreksi mengenai slip yang diajukan untuk divalidasi oleh Bujang. Tapi sepertinya keberuntungan itu hanya sepanjang Rindu bekerja. Begitu ia bersiap untuk ikut rombongan Yuni untuk menjenguk Dela, Bujang berulah. “Lebih baik kamu pulang,” perintah pria itu dengan seenaknya. Ia sudah bersiap dengan kunci dan mobil yang terparkir di depan kantor. Tak jadi menggunakan Grab lantaran sang bos turun tangan mengantarkan mereka ke rumah sakit. Lagi juga rumah sakit tempat Dela dirawat pun searah dengan tempat tinggal Bujang. “Tapi saya mau jenguk Dela, Pak,” sahut Rindu dengan polosnya. Ia juga kebingungan karena Bujang melarangnya naik. “Pulang saja. Pikirkan tangan kamu itu. Jangan sampai besok bermasalah dan izin enggak kerja.” Rindu terperangah. Salahnya apa, sih, sama Bujang? Sampai sang bos segitunya dan memperlakukan Rindu tak adil begini. “Rumahmu juga terlalu jauh, kan, dari rumah sakit?” “Ta-tapi, Pak,” Rindu bersikeras. “Pulang saja. Ingat besok masih hari kerja.” Bujang bicara sekali lagi. “Mobil saja juga enggak muat kalau harus tambah orang lagi.” Astaga, Tuhan!!! Ternyata Bujang sepelit itu?! Rindu tak habis pikir jadinya!!! “Ehm … yang Pak Bujang bilang benar, sih, Rin. Kalau kamu ikut, kamu enggak bisa cepat istirahat. Pikirkan tangan kamu dulu aja.” Marta sebenarnya juga heran kenapa Bujang bertingkah begitu. Selama kenal dengan Bujang di kantor Senayan ini, jarang sekali pria itu memperhatikan detail terkecil dari staffnya. Semuanya berjalan normal seperti biasa dan tak pernah terjadi adu debat seperti ini. Ia jadi curiga. Makanya berusaha juga agar Rindu tak duduk di mobil Bujang. Rindu menggertakkan giginya kesal. tapi ia tak mungkin semakin membantah, kan? lebih baik kali ini ia mengalah dan pulang. Lagian kalau begitu bukannya ia yang paling diuntungkan, ya? Bisa sampai rumah dengan cepat? dihelanya napas panjang sebagai bentuk penerimaan karena tak bisa ikut menjenguk. “Oke deh, Bu.” Ia pun terpaksa tersenyum semanis mungkin. “Sampaikan salam saya untuk Dela, ya, Bu.” “Iya, Rin.” Selepas Rindu bicara seperti itu, Bujang pun langsung berlalu begitu saja. Diikuti Marta yang tampak bergegas mengekorinya. Begitu mobil sedan milik Bujang mulai keluar area parkirn, entah kenapa Rindu jadinya ingin pulang mengendarai motonya saja. Namun getar di ponselnya menghentikan langkahnya menuju tempat motornya terparkir. [+61813***10080 : Order ojek saja. Jangan coba-coba pulang menggunakan motor kamu.] Kening Rindu berkerut dalam. “Siapa, ya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD