“Hai, Nona Meisya dan juga Rudi, saudaraku!” Sebuah tepukan di bahu Meisya membuat wanita itu terkesiap. Ia sudah tahu siapa yang memanggilnya, hal itu membuat Meisya tak menoleh dan justru memandang pada Rudi, suaminya.
“Ada apa?” tanya Rudi dengan ketus pada mereka berdua.
“Kamu sedang makan enak ya di sini? Biasanya, kan, kalian makan di warung tenda pinggir jalan.” Cherrika berbicara sekenanya.
Wajah Meisya sudah mulai memerah. Ia menelan makanannya dengan kasar tanpa mengunyahnya. Namun Rudi masih memegangi tangannya dan melarang agar istrinya tidak meladeni Cherrika.
“Sekarang, bayar hutangmu padaku! Kau, kan, berhutang padaku untuk membayar klinik dan makan-makan di sini?” ungkap Cherrika mencoba menghasut Meisya.
Meisya yang mendengar itu langsung membelalakkan matanya dan menatap Rudi dengan tajam. Ia tak terima jika dirinya menggunakan uang dari hasil berhutang apalagi pada keluarganya.
“Apa maksudnya ini, Rud?” tanya Meisya dengan suara lirih namun mengandung nada yang yang tajam.
“Suami kamu berhutang pada istriku, Meisya! Dia punya hutang pada kami! H U T A N G!” Kali ini, Luki, suami dari Meisya yang berkata demikian. Dia bahkan memperjelas kata hutang dengan suara yang lebih kencang.
Rudi menggelengkan kepalanya, ia tidak habis pikir mengapa keluarga Meisya yang satu ini gemar sekali mengganggunya.
“Aku tidak pernah berhutang pada kalian!” tegas Rudi pada mereka berdua.
Cherika pun mencibir mendengar ucapan Rudi yang terlampau percaya diri itu, menurutnya. “Oh, tukang ngutang jaman sekarang ya, sayang! Bukan hanya sekedar nggak mau bayar! Tapi ternyata mereka berani untuk melupakannya!” Meisya sudah menahan airmatanya yang menggenang. Ia tak sanggup lagi menahan malu. Setelah di klinik kandungan tadi, Cherika mempermalukan dirinya, lalu sekarang dia dipermalukan lagi di kedai ayam geprek.
Meisya pun membanting tangan Rudi yang terus memeganginya sejak tadi, lalu ia berdiri. “Oke! Aku akan bayar!” jawab Meisya yang sudah menahan amarah.
“Mei! Kamu mau bayar apa? Aku tidak berhutang padanya, Mei! Percayalah padaku!” Rudi mencoba menahan lagi tangan Meisya.
“ Cukup, Rud! Sudah cukup aku dipermalukan karena kamu!” Meisya sudah tak tahan lagi dengan airmata yang menggenang di kantung mata. Buliran bening itu mengalir menghiasi wajah Meisya yang sudah sangat memerah.
“Nah, begitu! Cepat bayar, lima belas juta!” ungkap Cherika yang padahal semua itu hanya bohong semata.
“Nggak, Mei! Dia bohong!” cegah Rudi pada istrinya.
Meisya lagi-lagi menepis tangan Rudi karena amarah yang sudah teramat sangat. Ia tak menimpali lagi pembicaraan siapapun. Namun wanita hamil itu langsung mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi mobile banking miliknya.
“Aku akan segera bayar uangnya padamu, tenang saja!” Meisya menatap ketus pada sepupunya.
“Mei! Kenapa kau mau dibodohi begitu saja oleh mereka!” Rudi lagi-lagi memperingati Meisya, namun ibu hamil yang satu ini tak bisa dicegah.
Sementara itu, Cherika dan suaminya tersenyum karena merasa sudah memenangkan permainan.
“Kenapa kalian berbohong seperti ini!” Rudi kali ini menatap pada Cherika dan juga Luki.
“Aku tidak berbohong!” timpal Cherika sambil memalingkan wajahnya. Ia agak terkejut saat melihat Rudi berani menatapnya seperti demikian.
“Kau menuduh kami berbohong? Dasar penghutang tidak tahu diri! Diberi hati minta jantung! Sudah diberi pinjaman, ditagih malah tidak ngaku!” Kali ini Luki yang menimpali.
Semua pengunjung sudah menatap mereka, belum ada karyawan dari kedai ini yang berani bertindak. Mungkin karena hal ini terlihat seperti percakapan biasa dan tidak melibatkan kekerasan.
Meisya yang sudah tidak tahan lagi pun segera menengahi. “Ini! Kalian lihat!” Meisya menunjukkan ponselnya.
“Aku sudah transfer uang lima belas juta ke rekening Cherika. Hutang ini lunas.” Meisya mengucapkan hal tersebut dengan kedongkolan dalam hatinya. Dadanya terlihat kembang kempis dan napasnya tak beraturan, benar-benar ciri orang yang sedang menahan amarah.
Ia benar-benar merasa kehabisan rasa sabar pada Rudi, suaminya. Sambil menangis, ia menuju ke arah mestafel untuk mencuci tangan.
“Mei! Mei!” teriak Rudi memanggil.
Meisya tak menggubrisnya, wanita itu pun langsung menuju ke meja kasir setelah mencuci tangan. “Semuanya berapa, Mbak!” tanya Meisya yang telah mengusap airmatanya, walau jejak tangisan di wajahnya masih jelas terlihat.
“Biar aku yang bayar!”
“Meja nomor delapan, semuanya delapan puluh empat ribu rupiah, Bu!”
“Ini uangnya!” Meisya dan Rudi menyodorkan uang secara bersamaan.
“Ambil uang saya!” ujar Rudi pada kasir tersebut.
“Uang saya saja!” ucap Meisya.
“Apakah ada uang yang pas, Pak, Bu?” Penjaga kasir itu menolak uang dari keduanya.
Meisya langsung menarik tangannya karena ia tak memegang uang pas.
“Saya ada! Biar saya yang bayar!” ujar Rudi.
Meisya pun memutar bola matanya, karena ia merasa kalah dari Rudi. Dia pun pergi terlebih dahulu dan meninggalkan Rudi.
*
Rudi menoleh ke sana ke mari karena ia tak melihat Meisya di tempat parkiran. Ia khawatir istrinya itu kenapa-kenapa. Apalagi saat ini, pikiran istrinya itu sedang kacau sehingga tak dapat berpikir dengan jernih.
Rudi pun dengan segera memakai helm nya dan pergi sambil mengendarai motornya.
Ia menengok ke sisi jalanan dan mencari-cari istrinya itu. “Meisya … kamu di mana?” Rudi benar-benar merasa khawatir pada Meisya.
Hingga ia sampai ke area perumahan tempatnya, dia masih belum melihat Meisya. “Apa kamu naik taksi, ya?” gumam Rudi sambil berhenti di gerbang perumahan.
Ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi istrinya lagi. Tak ada jawaban dari wanita itu. Bahkan semua pesan dari Rudi juga tak ada yang dibalas.
“Mei … angkat dong!” gumam Rudi berbicara pada ponselnya.
Akhirnya pria dengan rambut yang diikat dengan gulungan kecil itu pun menjalankan kembali motornya. Ia memutuskan untuk mencari dulu istrinya di rumah, barangkali Meisya memang ada di rumah dan sudah pulang lebih dulu karena menaiki taksi.
Rudi memarkirkan motornya di halaman rumah. Baru saja Rudi berpapasan dengan sebuah taksi berwarna biru di belokan yang ada di ujung gang komplek rumahnya. “Pasti taksi tadi yang dinaiki oleh Meisya,” ucap Rudi lirih sambil melepas helm dan membawanya masuk ke rumah. Tidak lupa, ia juga membawa sebuah bingkisan yang dari tadi ia gantungkan di motor.
Pintu rumah tak terkunci.
“Aaah, syukurlah.” Ia yakin jika Meisya pasti ada di rumah karena kunci pintu rumah sudah terbuka.
“Mei ….” Rudi memanggil dengan lembut.
Lalu sayup-sayup ia mendengar suara tangisan dari balik pintu kamar. Rudi segera membuka pintu kamar dan ia melihat Meisya sedang memiringkan tubuh membelakangi pintu sedang menangis.
“Mei …?” panggil Rudi sambil berjalan mendekati istrinya. Ia pun berjalan ke tepi ranjang tempat Meisya menghadap.
“Aku tau kamu marah.”
Meisya membalikkan tubuhnya saat Rudi menghampirinya.
Rudi dengan perlahan mengusap bahu Meisya. Namun Meisya malah memutar bahunya untuk menepis tangan Rudi.
“Aku benci kamu, Rud!” bentak Meisya di sela tangisannya.
Rudi menghela napasnya. Ia harus lebih bersabar untuk menghadapi Meisya.
“Baik, aku terima kemarahanmu, Mei. Tapi kumohon … dengarkan aku,” ucap Rudi dengan sangat lembut.
Meisya tak menjawab, ia hanya menyembunyikan wajahnya ke dalam bantal dan tak menimpali ucapan Rudi.
“Aku tidak berhutang pada Cherika. Kau telah dibohongi olehnya.” Rudi mengawali penjelasannya.
Ia mencoba mengusap pelan rambut Meisya, namun wanita hamil itu lagi-lagi menepis tangannya.
“Untuk apa aku berhutang pada Cherika? Kau coba pikir sendiri, pertama, mana mungkin Cherika mau meminjamkan uang padaku sebesar lima belas juta? Baru bertemu saja dia sudah membuang muka padaku, segala hinaan sudah ia keluarkan untukku. Coba kau pikir lagi, sayang ….” Rudi benar-benar berkata dengan lembah lembut pada istrinya ini. Ia sangat mengerti perasaan Meisya sedang sensitif. “Kalaupun aku berani merendahkan diriku dengan meminjam uang padanya, pasti mereka tetap tidak akan memberi pinjam. Kau pikir lagi, kau tau sendiri, orang seperti apa Cherika itu.”
Meisya mulai tertergun, namun ia masih tetap menangis meski tak sekencang sebelumnya. Ia pernah mengingat saat makan bersama dengan Cherika dan teman-teman lainnya. Pernah Meisya tidak membawa uang tunai, namun ternyata restoran tempat mereka makan tidak menerima p********n dengan kartu debit. Sehingga Meisya meminjam uang Cherika. Namun belum sampai di rumah, Cherika langsung meminta Meisya untuk segera pergi ke ATM agar mengambil uangnya. Saat itu, Meisya pun langsung ke ATM untuk mengambil uang tunai dan membayar uang Cherika yang ia pakai.
Karena istrinya ini diam saja, Rudi pun melanjutkan ucapannya.
“Lalu, yang kedua apa mungkin aku membawamu periksa di klinik VIP sementara orang yang meminjamiku uang sendiri memeriksakan kandungannya di klinik reguler? Apa itu mungkin?” tanya Rudi sekali lagi.
Meisya mulai mengusap airmatanya. Pikirannya mulai terbuka perlahan-lahan. Ia pun mengganti posisi dengan duduk dan bersandar pada headboard ranjangnya.
“Coba kau pikir lagi? Bagaimana menurutmu?” tanya Rudi lagi.
Meisya masih saja terdiam tidak menjawab, namun tangisnya sudah mereda. Cherika adalah sepupu yang paling julid menurutnya. Cherika tak akan membiarkan Meisya berada di posisi lebih tinggi darinya, apalagi jika Meisya memperoleh hal itu dengan bantuannya.
Meisya mengingat lagi momen ketika mereka bersekolah di SMP yang sama. Saat itu, salah satu buku Meisya tertinggal di rumah. Namun Meisya akan ada jadwal ulangan pelajaran tersebut, Meisya meminta tolong pada Cherika untuk belajar bersama dan ingin ikut membaca buku Cherika. Namun setelah beberapa minggu kemudian, hasil ulangan diumumkan, Meisya memperoleh nilai tertinggi. Entah apa yang saat itu ada di pikiran Cherika, namun Cherika menyebutkan pada semua teman-teman kelasnya, jika Meisya itu bisa mendapat nilai tertinggi karena belajar bersamanya.
Meisya mengakui itu, karena memang mereka belajar bersama. Di mana Meisya hanya meminjam bukunya lalu mereka membaca buku bersama. Hanya saja, Cherika memberikan arit lain pada ucapannya, yakni ia menyebut seakan ia yang mengajari Meisya.
Apalagi ini masalah uang.
“Jika aku memang berhutang pada sepupumu itu, sejak di klinik tadi … dia pasti akan berkoar, jika uang yang kugunakan untuk memeriksa kandunganmu itu adalah uangnya. Dia sudah begitu nyinyir di depan kita bahkan semenjak kita di klinik, tapi … sedikit pun ia tak menyinggungnya. Kenapa baru ketika ia di kedai ia berkata demikian, itu pun setelah dia mendengar obrolan kita tentang aku yang naik pangkat. Coba kau pikir lagi, Mei!”
Meisya merenung. “Dia ingin menghasutku agar aku tidak percaya padamu.”
Rudi pun tersenyum sambil mengangguk.
Wanita itu pun lemas menyadari kesalahannya. “Aku sudah membuang lima belas juta milikku.”
“Uang itu aku pastikan akan kembali lagi padamu, asal kau mau percaya.” Rudi berusaha meyakinkan istrinya.
“Aku pegang ucapanmu,” ucap Meisya sambil mengerucutkan bibirnya. “Tapi … ayam geprekku masih tersisa banyak tadi.”
“Untuk itu … aku juga akan menggantinya.” Rudi berjalan ke arah meja makan dan mengambil bingkisan yang ia bawa.
“Kau membeli lagi?” Meisya pun berbinar.
“Itu pasti dong, aku yakin kamu pasti lapar.”
“Aku boleh memakannya?”
“Makan saja keduanya.”
“Kau pikir aku rakus?”
Rudi tersenyum melihat Meisya yang kembali bahagia.
“Terimakasih, ya.”
“Sama-sama ….”
Meisya pun menyuapkan ayam gepreknya. Ia tak peduli dengan kondisinya saat ini yang masih berada di atas kasur. Baru satu suap ia menelan makanannya. Meisya berhenti dan memikirkan sesuatu.
“Ada apa, Mei?” tanya Rudi.
“Uang lima belas jutaku ….” Meisya kembali merasa lesu.
“Tenang dan percaya padaku.”