"Rudi ...!" panggil Meisya ketika mereka sampai di parkiran.
"Iya, sayang?" tanya Rudi sambil memutarkan badan menatap Meisya.
"Stop panggil aku sayang! Kita udah di luar sekarang!"
"Iya, Nona Meisya," ralat Rudi dengan segera dan senyum yang tak pernah pudar untuk istrinya.
"Kamu tadi nggak ngutang, kan?" tanya Meisya dengan penuh curiga.
Rudi mendengarkan pertanyaan Meisya dengan santai. Ia kenakan helm-nya dan memberikan helm berwarna ungu milik Meisya.
"Jawab, Rud!" ketus Meisya sambil menyambar helm ungu dengan ekspresi tak ramah.
Rudi membuka kaca helm-nya, lantas ia tersenyum dengan hangat pada istrinya. "Mei ... meski hidupku susah, mencari uang buatku susah, tapi aku tak akan pernah meletakkan istriku pada posisi yang sulit."
Pria itu menatap serius wajah Meisya. "Semenjak aku berjanji pada mendiang kakekmu, aku tidak pernah bermain-main dengan janjiku untuk membuatmu bahagia."
Rudi memberikan senyum hangat lagi pada Meisya. Sementara wanita itu selalu memalingkan wajahnya dari sang suami. Ada rasa hangat yang mengguyur pada dadanya, namun Meisya berpikir jika ini bukan saatnya untuk mengakui perasaan itu pada Rudi, suaminya.
"Ayo, naik!" ajak Rudi yang langsung menutup kaca helm dan menaiki motor matic-nya.
"Tunggu dulu, Rud!" rajuk Meisya masih dengan bibir kerucutnya.
"Kenapa lagi, Nona Meisya?"
"Kamu ... dapet uang dari mana? Bukan dari nyolong, kan?"
Rudi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku jawab nanti, kita makan dulu di kedai kesukaanmu, yuk!" Rudi membujuk Meisya. "Tuh, anak kita kayaknya kelaparan," ujar Rudi sambil menyentuh pada perut Meisya dengan ujung jarinya.
"Ish! Apaan, sih?" gusar Wanita itu yang malah membuat Rudi tersenyum lagi.
Pada akhirnya, semua rasa penasaran Meisya itu tak satu pun terjawab. Dia bersama suaminya segera mengendarai motor matic mereka ke kedai PakSu yang tadi mereka lewati.
Aroma-aroma sambal ayam geprek telah menghunus hidung Meisya. Wangi bawang putih dan cabai yang ditumbuk lalu disiram minyak panas, benar-benar membuat saliva menggenang di bawah lidah Meisya.
Meisya turun dari motor dan melepas helm-nya. Rudi menerima helm itu dan menyimpannya di motor mereka.
Berjalan terlebih dahulu, Meisya memimpin untuk segera mencari tempat duduk. Rudi membiarkan Meisya melakukan semua yang dia suka.
"Di dekat jendela yang itu, ya?" ujar Meisya meminta pendapat Rudi. Walau sebenarnya itu tak perlu, karena Rudi pasti akan selalu setuju apa yang Meisya inginkan selama itu tak membahayakan dirinya.
Rudi hanya tersenyum melihat Meisya antusias menarik salah satu kursi yang ada di sana.
Pelayan dengan seragam biru merah khusus untuk kedai ayam geprek PakSu ini, menghampiri Meisya dan Rudi. Seperti biasa, mereka akan menawarkan menu untuk para tamu yang baru datang.
"Silakan menu-nya, Pak, Bu," tawar sang pelayan.
Tanpa melihat menu, Meisya langsung menyebut menu kesukaannya. "Geprek PakSu sambal teri, pakai nasi tutug oncom!" ujarnya tanpa ragu.
Rudi yang baru saja membuka menu pun pada akhirnya menutup kembali. "Disamakan saja kalau begitu," ujar Rudi seraya memberikan kembali buku menu itu pada si pelayan.
"Minumnya?" tanya sang pelayan sebelum mengambil buku menu tersebut.
Rudi melirik pada Meisya.
"Lemon tea!"
"Disamakan saja ya, mbak!"
"Baik, Pak!"
Buku menu itu telah kembali pada sang pelayan yang juga sudah mencatat pesanan mereka berdua.
Kembali pada Rudi-Meisya yang saling tak bicara selepas perginya si pelayan.
Pemandangan di luar kedai dengan suara bisingnya motor lebih menarik diperhatikan bagi Meisya.
Sementara untuk Rudi, justru sebaliknya. Meisya adalah wujud dari keindahan itu sendiri. Terlepas dari sikap ketus Meisya pada dirinya, Rudi menilai jika Meisya adalah wanita yang baik dan apa adanya.
Meisya bersikap demikian itu, hanya karena wanita itu merasa tak nyaman dengan tekanan dari keluarganya.
Seandainya pernikahan mereka berlangsung secara normal, dipastikan jika Meisya tak akan bersikap demikian pada Rudi. Begitu menurut pria itu menilai istrinya.
"Rud!"
"Hmmm?" jawab Rudi yang sedari tadi memang menunggu pertanyaan dari Meisya.
"Dari mana uang itu? Ayo jawab!" desak Meisya.
Rudi hanya tersenyum sambil mengayun-ayunkan kepalanya.
"Rud! Kamu janji kalau bakal jawab sekarang, kan?"
"Itu ... aku dapat uang dari naik pangkat," jawab Rudi berpura-pura.
Meisya mengerutkan kening. "Yang benar saja?"
"Benar! Aku sudah tidak menjadi kurir lagi," jawab Rudi mencoba meyakinkan istrinya.
"Jadi ... uang itu?"
"Ya, aku dapat dari gajiku yang naik." Rudi tersenyum. Ia masih belum siap mengatakan yang sebenarnya. Lagipula dirinya juga belum sepenuhnya menerima tawaran dari Andromeda untuk benar-benar kembali pada perusahaannya.
Perlahan senyum Meisya pun terbit, meski ia terlihat berusaha keras untuk menyembunyikannya. "Hmmm ... selamat, ya!"
"Terima kasih," timpal Rudi. "Kamu nggak usah khawatir, ke depannya hidup kita akan lebih terjamin."
"Emm, aku ... aku tetap ingin berpisah denganmu. Jangan pernah berpikiran untuk terus hidup bersamaku!" Meisya berujar dengan nada dinginnya.
Tak lama kemudian, menu yang mereka pesan pun datang ke hadapan mereka. Sambil tergiur melihat kelezatan menu di hadapannya, Meisya segera menyambar salah satu piring berisi ayam geprek miliknya.
Mereka sama sekali belum menyadari jika ada sepasang telinga yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka berdua.
"Rud! Aku tidak akan sungkan makan ini! Jadi, siapkan uangmu jika aku ingin menambah!" Meisya langsung melahap ayam geprek dengan sambal teri kesukaannya.
"Silakan."
Nikmatnya ayam dengan tepung renyah melahirkan rasa gurih yang menggoyang lidahnya, ditambah sensasi pedas dari sambal yang ditumbuk bersamaan dengan teri menambah selera makan seorang Meisya yang sedang mengandung bayi.
"Sayang, ternyata kita bertemu lagi dengan mereka di sini. Bagaimana ini? Aku sangat malas berurusan lagi dengan orang miskin yang sok kaya, cuma karena punya nama belakang yang sama dengan keluarga konglomerat."
Sebuah suara melengking nan mengeluarkan kata-kata yang tak enak didengar menurunkan kenikmatan Meisya yang sedang melahap ayam gepreknya. Kebetulan, Meisya membelakangi orang yang menjadi sumber suara tersebut.
Berkebalikan dengan Rudi, yang justru dapat melihat sepasang suami-istri tersebut karena duduknya yang berhadapan dengan Meisya.
"Sudahlah sayang, ini kedai makan terdekat dari klinik. Kita abaikan saja mereka," ujar sang suami. Padahal sebenarnya dirinya sedang tidak ada uang untuk mengajak istrinya makan di restoran favorit istrinya itu.
Meisya yang sudah ingin menoleh ditahan oleh Rudi. Rudi memegang tangan kiri Meisya seraya mengusap punggung tangan wanita itu.
Meisya menatap pada Rudi. Biasanya ia akan langsung menarik tangannya agar tidak disentuh kembali oleh Rudi. Namun kali ini, Meisya membiarkannya.
Cherika merasa kesal, kenapa lagi-lagi dia bertemu Meisya dan suami miskinnya ini di satu tempat yang sama.
Dia pun mengingat dialog Rudi dan Meisya tadi mengenai sumber uang Rudi yang katanya sedang naik pangkat. Cherika menerbitkan senyum liciknya.