Hari ini merupakan salah satu hari yang ditunggu-tunggu oleh keluarga Satya Wijaya. Di mana mereka akan berkumpul bersama untuk mengadakan sebuah perayaan. Pesta keluarga yang dihadiri oleh orang terdekat dengan berbagai hidangan makanan yang merupakan hidangan favorit keluarga tersebut.
Dengan didominasi warna gold yang memberi kesan mewah, dipadukan dengan beberapa dekorasi warna hitam yang membuat suasana pesta tersebut nampak elegan. Hal itu begitu mencerminkan seseorang yang mengadakan pesata tersebut, mewah dan elegan.
Sesuai dengan temanya kali ini, kemewahan yang elegan, maka nama dari pembuat pesta ini juga menjadi salah satu yang menonjol di sudut ruangan pesta tersebut.
Selamat Ulang Tahun Nenek
Darwati Satya Wijaya
Yang Ke-76
Golden macaron menjadi salah satu hidangan utama sebagai camilan dalam pesta tersebut. Hal ini dikarenakan Darwati sangat menyukai kue olahan dari tepung almond tersebut. Maka dari itu, makaron dengan warna emas ini pun banyak menghiasi meja-meja dalam ruangan pesta tersebut.
Dengan gaun berwarna hitam dan beberapa corak batik berwarna keemasan, wanita berusia tujuh puluh enam tahun itu datang dan duduk di kursi paling depan yang menjadi pusat perhatian seluruh anggota keluarga yang hadir saat itu.
Ini bukanlah pesta yang besar, bahkan tidak ada tamu yang menghadiri selain kerabat dekat saja. Karena Darwati ingin menjadi lebih dekat dengan anak cucu mereka, sehingga di pesta ini ia ingin berinteraksi lebih erat dengan anak cucunya. Apalagi, pada pesta kali ini, ia ingin menghitung bagaimana kesuksesan anak cucu mereka yang dilihat dari seberapa banyak kekayaan mereka.
“Nenek, kau nampak cantik sekali dengan gaun ini.” Cherika yang juga memakai gaun dengan tema dan warna yang sama mendekati Darwati.
Wanita berusia lanjut itu tersenyum dengan lebar. “Terima kasih, kau yang sudah memilih gaun ini. Aku sangat percaya pada seleramu, Cherika.”
Mereka semua nampak tersenyum bahagia. Satu per satu anggota keluarga datang dengan menggunakan dress code berwarna hitam dan emas. Termasuk Satya dan Kinanti yang merupakan ayah dan ibu dari Meisya, mereka berdua datang dengan kompak menggunakan pakaian berwarna hitam dengan corak berwarna emas.
“Ke mana Meisya dan suaminya, Satya? Apa mereka belum datang?” tanya Darwati pada anaknya.
Satya dan juga Kinanti saling berpandangan, justru mereka berharap anak mereka itu tidak datang apalagi bersama suaminya, karena pastinya jumlah kekayaan Meisya akan membuat malu Satya dan istrinya. Apalagi jika sampai mereka membahas tentang pekerjaan dari Rudi, maka mereka akan sampai malu ke ubun-ubun.
“Mereka sepertinya tidak akan datang, Nek,” sela Cherika yang menjawab pertanyaan nenek karena paman dan bibinya, yakni Satya dan istrinya, tidak menjawab dan mematung saling melempar pandangan.
“Benar, mereka tidak akan datang karena mereka pasti akan kebingungan untuk membawa hadiah apa untuk nenek.” Luki pun ikut menyahuti ucapan istrinya.
Darwati nampak manggut-manggut sambil menatap lekat pada anak pertamanya itu. “Apa itu benar, Satya? Mereka bahkan tak memiliki uang untuk sekedar membeli hadiah untukku. Memang seberapa miskinnya mereka hingga hidup mereka terlampau susah seperti itu?”
Satya dan Kinanti hanya menunduk terdiam. Mereka tak bisa menyahuti, karena apa yang dikatakan pasangan Cherika dan Luki itu benar adanya. Namun dalam hati mereka juga dongkol, karena Cherika terkesan ingin menjelekkan nama anak mereka di depan sang nenek. Cherika terlihat sekali sedang mencari perhati dari sang nenek.
“Emmm … mereka memang sedang dilanda kesulitan, Bu. Tapi … mereka pasti datang.” Satya kali ini mencoba menjawab pertanyaan Darwati dengan sedikit membela anaknya.
“Ah, sudahlah. Tak apa jika mereka tak datang pun.” Darwati membalas ucapan Satya dengan ketus.
Cherika tersenyum miring, ia dan suaminya itu nampak senang bila mendengar nenek mereka membenci Meisya. Karena bagi Cherika dan Luki sekarang, sudah tidak ada lagi penghalang bagi mereka untuk mendapat warisan terbesar jika nenek mereka sudah membenci Meisya.
“Seharusnya dia tidak menikah dengan Rudi,” keluh Kinanti pada suaminya. Ia seakan menyalahkan mendiang ayah mertuanya yang sangat memaksa anaknya itu agar menikahi orang miskin semacam Rudi.
“Jika tidak menikah dengan Rudi, lantas siapa lagi yang mau menikahi putri kalian? Bagaimanapun juga, dia sudah mengandung putra dari kuiri pengantar paket itu,” timpal Darwati membalas ucapan menantunya.
Kinanti hanya memeluk sang suami sambil menyembunyikan wajahnya, Satya mengusap kepala sang istri agar lebih menjadi tenang.
“Ah, sudahlah …. Jangan bicarakan lagi Meisya dan si miskin itu, Nek. Mereka mau datang syukur, kalau tidak ya … sudah,” ungkap seorang anggota keluarga yang lain.
“Iya, itu benar. Lagipula mereka datang atau tidak pun, pesta ini akan berjalan dengan lancar pastinya,” timpal salah seorang lainnya.
Semua anggota keluarga yang ada di sana, memang sudah sangat merendahkan Meisya dan suaminya semenjak pernikahan mereka. Pasalnya, banyak dari keluarga mereka yang sangat iri dengan kecantikan, kepintaran dan kesuksesan karir Meisya sebelum ia menikah. Maka dari itu, ketika mereka mendengar Meisya tiba-tiba hamil di luar nikah oleh pria miskin yang hanya sebagai kurir pengantar paket, mereka senangnya seperti ketiban bintang.
Cherika sebagai pembawa acara yang dipercaya oleh neneknya itu pun langsung mengucapkan pembukaan untuk acara ulang tahun Darwati. Semua bertepuk tangan dan bersorak untuk kejayaan yang telah diperoleh oleh wanita lansia itu hingga saat ini.
“Selamat ulang tahun kami ucapkan, selamat panjang umur, kita ‘kan do’akan, selamat sejahtera sehat sentosa, selamat panjang umur dan bahagia ….”
Serempak mereka bertepuk tangan menyanyikan lagu ulang tahun untuk sang nenek. Nenek Darwati sungguh sangat bahagia. Setelah lagu selamat ulang tahun, mereka pun menyanyikan lagu untuk ulang tahun yang lainnya. Seperti lagu panjang umurnya, potong kuenya dan tiup lilin juga.
“Sekarang, potongan pertama dari nenek, silakan nenek berikan pada orang yang paling nenek sukai di ruangan ini.”
Cherika sebagai pembawa acara memberi intruksi setelah usai menyanyikan lagu potong kuenya. Ia pun mendekat pada sang nenek karena ia sangat ingin menjadi orang pertama yang disuapi oleh sang nenek.
Sang nenek melirik pada cucunya satu per satu, Cherika tersenyum-senyum karena ia sudah merasa akan menjadi orang yang menerima kue itu.
“Ayo nenekku yang cantik, silakan berikan potongan kue itu pada salah di antara kami yang paling kau sukai. Ngomong-ngomong, ini adalah hari tercantikmu karena kau mengenakan gaun yang kurancang khusus untukmu.” Cherika jelas hanya berbasa-basi, pada intinya dia mengingatkan pada neneknya tentang gaun pemberiannya. Dia berharap neneknya akan menganggap jika Cherika adalah orang yang paling berjasa untuk pestanya kali ini.
“Ya, selain gaun nenek, nenek juga coba lihat kue golden macaron ini. Semua tersusun dengan sangat cantik, kan?” Cucu nenek lainnya juga mengingatkan akan kue-kue yang ia sumbang untuk ulang tahu Darwati.
Cherika agak mencibir pada saudaranya tersebut, ia sudah mendapat firasat jika sepupunya yang lain juga berharap mendapatkan suapan pertama dari nenek mereka.
“Tapi nenek coba lihat diri nenek, jika orang lain yang memakainya pasti tak akan terlihat mewah dan elegan seperti jika nenek yang memakainya. Contoh saja, Tante Kinanti, seandainya baju ini ia yang pakai, tentu saja baju ini akan terlihat sangat murahan.” Cherika sengaja mencibir sang tante, karena ia sangat tahu jika neneknya membenci menantu yang merupakan istri dari anak pertamanya itu.
Mendengar hal itu, sontak saja nenek Darwati begitu sumringah. “Kau benar, Cherika. Aku lah yang membuat gaun ini nampak begitu mewah dan elegan. Aku terlalu mencintai diriku sendiri sehingga aku merawat penampilanku secara keseluruhan, banyak sekali orang yang begitu iri dengan diriku karena masih bisa tampil dengan paripurna di depan publik sekalipun sudah menyentuh usia senja.”
Cherika langsung terbang mendengar neneknya menyukai pujiannya, hal itu berbanding terbalik dengan Satya dan Kinanti yang bermuka masam karena percakapan tersebut.
“Aku sudah memutuskan siapa yang akan kuberi kue ini.” Darwati tersenyum dengan begitu bahagia sambil mengangkat potongan kuenya.
“Cherika …?” panggil sang nenek.
“Iya, Nek.” Wajah Cherika berbinar-binar, Luki pun nampak senang karena melihat sang istri yang berhasil mengambil hati wanita sumber uang mereka.
“Kau …. Kau membuat aku terharu.” Darwati tersenyum hingga menyipitkan matanya.
“Ah, ini semuanya hanya biasa saja.” Cherika sudah tak mampu menahan hidungnya yang ingin terbang.
Saudara lain sudah saling melirik dan menatap sinis pada Cherika. Jelas mereka merasa sangat iri, jelas sekali.
“Karena Cherika sudah mengingatkanku akan kemewahan dan keeleganan dari gaun yang aku gunakan ini, maka aku memutuskan untuk memberikan suapan pertama ini untuk ….”
Cherika benar-benar sudah kembang kempis dibuatnya.
“Diriku sendiri. Aku baru menyadari jika selama ini aku belum pernah memberi penghargaan untuk diriku sendiri. Maka dari itu, di ulang tahunku yang ke tujuh puluh enam ini, aku ingin memberi penghargaan yang setinggi-tingginya untuk diriku sendiri.” Nenek Darwati menyuapkan kuenya pada dirinya. “Dengan bangga, aku persembahkan suapan pertama kue ini untuk diriku.”
Zonk. Cherika menganga, ia merasa dikhianati oleh usahanya sendiri.
Sementara itu, keluarga yang lain benar-benar menertawakan Cherika pelan-pelan. Sambil berbisik mereka saling mempermalukan Cherika.
“B-Baiklah, karena acara inti berupa tiup lilin dan pemberian ucapan selamat ulang tahun t-telah dilaksanakan,” ucap Cherika sedikit gugup karena kegagalannya. “Sebelum acara pembukaan kado, nenek menginginkan adanya penghitungan harta kekayaan dari masing-masing keluarga para anak-anak nenek. Maka dari itu, sekarang diharapkan setiap keluarga menunjukkan aset milik keluarga mereka.”
Para anggota keluarga sibuk mengeluarkan laptop maupun tablet mereka untuk menunjukkan rekapan harta dan aset mereka. Selain itu mereka juga diminta menunjukkan barang bukti adanya kepemilikan aset tersebut.
Satya dan Kinanti gemetar, karena ia yakin jika keluarga mereka yang lain paling sedikit memiliki 50 milyar rupiah harta kekayaan. Sementara milik mereka berdua tidak sampai menyentuh 20 milyar rupiah.
“Kita perlu memulai dari anak tertua atau yang termuda dulu?” tanya Cherika memancing, karena ia yakin jika orangtua Meisya tidak memiliki banyak harta untuk ditunjukkan.
Namun sebelum pertanyaan itu dijawab, pintu ruangan pesta itu tiba-tiba terbuka dan menunjukkan sepasang suami istri dengan baju yang serasi. Hanya saja baju itu tidak sesuai dengan dress code pada pesta kali ini. Karena sang wanita hamil dengan suaminya itu menggunakan warna abu-abu untuk datang ke pesta ini.
Dan yang lebih mengejutkan lagi selain karena mereka salah memilih warna kostum, adalah perkataan dari sang pria.
“Mohon maaf atas keterlambatan kami, jika boleh memberi usul saya ingin mengusulkan jika penghitungan harta dan aset ini lebih baik dimulai dari keluarga anak termuda dulu saja, karena milik anak tertua … akan memiliki jumlah yang paling besar.”