"Perasaan di klinik ini, nggak bisa pakai BPJS, kan? Kok ada orang kelas bawah ke mari?"
Deg
Meisya sangat mengenal suara itu. Dia pun menoleh, lalu seseorang yang selalu tak menyenangkan dalam hidup Meisya tampak di depan matanya.
"Meski kamu pakai kacamata, masker, dan syal buluk ini, aku tetap kenal sama kamu!" Dia adalah Cherika, sepupu Meisya yang pernah sekelas bersama sejak dulu. Kebetulan, Cherika juga sedang mengandung bayi dengan usia kandungan yang sama dengan Meisya.
Cherika mencabut kacamata yang dikenakan Meisya dan melempar ke arah tubuh wanita itu.
Meisya berdiri dan mendongakkan dagunya menatap Cherika. "Siapa, ya?"
Jelas saja, Meisya sama sekali tak ingin berurusan dengan sepupunya itu.
"Jangan sok, ya!" Cherika mendorong bahu Meisya. "Hey ibu-ibu semua, perlu kalian tahu, jika wanita hamil ini adalah orang miskin. Dia tidak punya penghasilan dan suaminya cuma kurir pengantar paket, apa kalian percaya jika dia bisa check-up kandungan rutin di sini?" Cherika mencoba memprovokasi ibu-ibu yang ada di sana.
Meisya diam dan memalingkan wajahnya. Dia merasa tak nyaman atas sorot pandangan dari ibu-ibu lainnya.
"Lebih baik, kamu pergi deh dari sini, daripada nanti cuma malu-maluin keluarga kita kalau nggak bisa bayar. Bidan praktek mandiri yang ongkosnya lima puluh ribu saja yang cocok untuk kamu," ujar Cherika mempermalukan Meisya.
Kali ini Meisya benar-benar dongkol, ia merasa apa yang dikatakan Cherika memang benar. Seharusnya tak perlu datang ke klinik mahal untuk periksa kehamilannya.
"Mei ...?" Rudi pun datang menghampiri istrinya yang tengah menjadi sorotan antrean ibu hamil lainnya.
Dengan kikuk, Meisya membuang muka pada Rudi. Ia tak ingin terlihat jika laki-laki itu adalah suaminya.
"Nah, ibu-ibu, dia adalah suami dari wanita ini. Lihat, sama-sama kampungan, kan? Bajunya nggak ber-merk sama sekali!" Cherika sepertinya senang sekali mengumbar kekurangan dari Meisya dan Rudi.
Pasien yang lain hanya saling berbisik dan memandangi Meisya juga Rudi.
Rudi masih bisa terlihat tenang dan santai, namun tidak dengan Meisya. Ibu hamil yang hormonnya memang mudah bergejolak itu benar-benar merasa ingin menjambak rambut Cherika.
"Mei, ayo," ajak Rudi pada Meisya.
"Udah sana! Diajak pulang sama suami kamu tuh!" ejek Cherika setengah tertawa.
"Rudi, kamu pasti abis nanya ke resepsionis, kan? Di sini bisa pake BPJS apa nggak?" Cherika memutar bolanya dan mempermainkan senyumnya. "Kukasih tahu, ya, enggak! Ini klinik elit! BPJS itu asuransi untuk rakyat kelas bawah, nggak cocok dipake di sini!"
Rudi memegangi pundak Meisya. "Ayo," ajak Rudi agar Meisya tak mendengar lagi ocehan Cherika.
"Kita pulang aja yuk ...?" bisik Meisya yang sudah hampir menangis. Dia tak tahan oleh ejekan Cherika dan pandangan dari ibu-ibu yang ada di sana.
"Kita sudah terlanjur sampai di sini, tanggung. Nggak apa-apa," hibur Rudi pada istrinya.
Cherika terlihat senang jika Meisya tampak kalah secara mental seperti ini. Dia menggandeng suaminya dengan angkuh dan berjalan melewati Meisya serta Rudi.
"Pasti sehabis ini giliran aku, ya, kan, sayang? Kita, kan, nomor 22, ya?" tanya Cherika pada suaminya.
Dia melihat pada layar antrian digital yang terpasang di resepsionis menunjukkan angka Reg 21, yang artinya antrian untuk pasien reguler yang ke-21.
Meisya merengut, apa maksudnya? Jika ini sudah antrian ke-21, maka bagaimana dengan dirinya yang merupakan urutan ke-1.
"Rud! Kamu yang bener, deh! Masa, udah urutan ke-21 aja? Kita gimana? Pulang aja, yuk!" Meisya sungguh sudah benar-benar merasa panik dan gusar.
Rudi hanya tersenyum dan mengusap lembut pucuk kepala Meisya. Namun Meisya dengan segera menepis tangan Rudi.
Pasien lain memperhatikan interaksi yang tak harmonis dari mereka berdua. Rudi segera menjauhkan tangannya, dan membalas tatapan dari orang-orang yang memperhatikannya dengan senyuman.
Kemudian layar antrian digital sebelah kanan yang sedari tadi mati pun menyala menunjukkan tulisan 'VIP 01'.
"Sayang, ada pasien VIP sedang periksa hari ini. Kita lihat orang kaya dari keluarga mana, biar bisa kita dekati. Siapa tahu mereka bisa membantu menjadi investor di perusahaan papa ...," bisik suami Cherika.
Pengeras suara pun berbunyi tak berselang lama dengan menyalanya layar antrian digital untuk antrean VIP.
"Kepada Nyonya Rudi Prameswara, pasien VIP nol satu, dipersilakan menuju ke ruangan periksa." Suara itu pun terjeda.
"Keluarga Prameswara?" Cherika mendelik bersama suaminya. "Ada keluarga Prameswara ke mari?"
Yang terkejut bukan hanya Cherika, namun juga seluruh pasien di sana. Mereka seakan tak sabar ingin melihat wajah nyonya konglomerat yang beruntung karena menikah dengan salah satu keturunan Prameswara.
Di tengah ketegangan para pasien yang sedang saling menebak siapa di antara mereka yang menjadi nyonya Prameswara, tiba-tiba seorang dokter dengan snelly di tangannya baru masuk ke ruangan tersebut.
“Eh … sayang, ada dokter Rasyid.” Suami Cherika berbisik ke arah istrinya.
“Dokter Rasyid? Pemilik klinik ini?” Cherika menjadi semakin histeris.
“Ssst! Jangan keras-keras ….”
Suami dari Cherika itu pun langsung menghampiri sang dokter. “Selamat pagi, Dok.”
Dokter itu hanya tersenyum dan berjalan terburu-buru. “Pagi,” balas sang dokter tanpa menoleh.
Cherika dan suaminya mati kutu dibuatnya. Mereka agak malu karena sudah diabaikan oleh dokter pemilik klinik.
Sementara itu, Rudi sedang membujuk istrinya agar segera masuk ke ruangan karena mereka telah dipanggil.
“Mei, itu beneran kita …,” rayu Rudi untuk yang ke sekian kalinya.
“Iiish. Aku nggak percaya, ah. Pasti ada orang lain di sini.”
“Mei, ayo! Kita sedang ditunggu.”
Di tengah perdebatan mereka, panggilan dari pengeras suara terdengar lagi. "Sekali lagi kepada Nyonya Rudi Prameswara, pasien VIP nol satu, dipersilakan menuju ke ruangan periksa."
Rudi tersenyum pada istrinya. "Tuh, kita dipanggil, yuk!"
“Ada tuan Rudi?” Dokter Rasyid yang sedang berjalan terburu-buru tiba-tiba bergeming. Lalu ia melihat pada jajaran pasien yang sedang mengantri.
Meisya menengok kanan-kiri. Barangkali ada ibu hamil lain yang suaminya juga bernama Rudi Prameswara.
“Eh, Tuan Rudi! Apa kabar?” Sang dokter langsung menyapa akrab pada Rudi.
Rudi pun refleks menoleh pada suara yang memanggilnya. “Dokter Rasyid? Maaf saya baru melihat anda.”
“Sudah lama tidak bertemu, ini istri anda?”
“Iya, Meisya! Sayang, kenalkan ini dokter Rasyid, pemilik klinik ini.”
Meisya benar-benar menyesal karena tidak berdandan rapi hari ini. Apa-apaan ini, kenapa Rudi kenal dengan pemilik klinik elit ini?
“Sa-saya Meisya, salam kenal, Dok.”
“Ah, maafkan saya, Dok. Bukan saya tidak ingin berbincang cukup lama, tapi dokter pasti terburu-buru oleh pekerjaan, saya pun sekarang sedang dalam antrean. Jadi ….”
“Oh, tentu saja, Tuan Rudi. Saya Mengerti. Mari masuk ke ruang periksa, saya akan antar.”
"Ayo," ajak Rudi pada Meisya.
"Be-beneran kita?" ucap Meisya ragu.
"Iya, ayo!" jawab Rudi secara meyakinkan.
Meisya pun berdiri mengikuti suaminya dan sang dokter berjalan menuju ke ruang periksa.
Cherika menatap pasangan tersebut dengan melotot.
"Heh! Heh! Heh!" Cherika segera berdiri dan menarik tangan Meisya.
Meisya yang merasa tangannya ditarik pun langsung menepisnya dan menatap sinis pada Cherika. "Ada apa lagi, sih?"
"Yang dipanggil itu Nyonya dari keluarga Prameswara! Bukan kalian, buluk!" hardik Cherika pada Meisya.
Rudi dan dokter Rasyid yang berjalan mendahului Meisya menyadari istrinya berhenti berjalan. Dia pun berbalik dan menatap pada Meisya yang sedang bersitegang lagi dengan sepupunya.
"Mei, ayo," ajak Rudi dengan nada lembut.
"Tapi, Rud!" elak Meisya.
"Itu panggilan buat VIP, ego! Kalian bisa bedakan apa nggak sih?" Cherika merasa jengkel pada kedua orang di depannya.
"Sudahlah, yuk!" Rudi mengajak Meisya untuk tak menggubris mereka berdua.
Kemudian, dari ruang periksa keluar seorang perawat. "Bu Meisya, istri dari Pak Rudi Prameswara, pasien VIP nol satu sudah ditunggu dokter. Apa ada bu Meisya Yohana Ardilla di sini?" Sepertinya sang perawat memanggil ulang secara manual karena Meisya tak kunjung masuk ke ruang periksa.
"Iya, Sus! Mereka di sini." Dokter Rasyid tersenyum ke arah Meisya.
"Sayang! Kita dipanggil, ayo! Jangan membuat malu, dokter Rasyid bahkan sampai mengantar kita," ajak Rudi sangat bersemangat.
Meski agak ragu, namun yang dipanggil perawat itu benar-benar namanya. Apalagi suaminya ini terlihat sangat akrab dengan dokter pemilik klinik. Akhirnya dia mengikuti Rudi menuju ke ruang periksa.
Meisya pasrah seandainya nanti tagihan periksa kandungan ini harus menggunakan uang tabungannya.
Sementara itu, Cherika dan suaminya melongo melihat Meisya menjadi pasien VIP di klinik mewah langganan mereka. Selain itu keakraban dokter Rasyid dengan Rudi juga membuat ia dongkol, apalagi suaminya sendiri malah diacuhkan oleh kepala klinik tersebut.
Dia merasa tak percaya, karena setahu dirinya, untuk menjadi pasien VIP bukan karena masalah punya banyak uang atau tidak. Namun lebih ke kedudukan sosial seseorang.
Cherika menjadi bertanya-tanya, bagaimana mungkin Rudi seorang pengantar paket bisa menjadi pasien VIP. Memangnya seberapa tinggi kedudukan sosial Rudi? Apa karena dia memanfaatkan kemiripan nama belakangnya yang menyerupai keluarga Prameswara? Atau karena dia mungkin dulu pernah bekerja sebagai supir dari dokter Rasyid? Cherika benar-benar merasa tak rela melihat Meisya berada pada posisi lebih tinggi darinya.