Aruna menyunggingkan senyumannya saat mendapati Radika sedang mengamati langit malam. Suaminya itu begitu menikmati suasana malam yang begitu dingin. Aruna mendongakkan kepalanya ke atas, ia bisa melihat banyak sekali bintang bertaburan menghiasi langit malam. Pantas saja suaminya itu menatap langit tanpa berkedip.
Aruna berharap kehidupannya akan seindah bintang-bintang yang bertaburan di atas sana. Ia yakin bahwa suatu saat kehidupannya akan seindah bintang di atas sana. Aruna menggemerletukkan giginya karena cuaca yang teramat dingin. Ia heran dengan kekebalan tubuh sang suami. Radika tidak menggigil sedikit pun. Padahal, ia hanya menggunakan kaos oblong beserta celana pendek selutut.
Aruna memberikan selimut kecil guna menutupi tubuh atas sang suami. Aruna yakin bahwa Radika terlalu banyak berfikir hingga melupakan pakaian yang seharusnya ia kenakan.
"Kenapa tidak memakai pakaian lengan panjang? Kamu tahu, suhu malam ini begitu dingin. Aku tidak mau jika kamu sakit karena pakaian pendekmu itu," ucap Aruna kesal.
"Iya, dingin. Seperti suasana hatiku," jawab Radika sendu.
"Kenapa suamiku jadi pendrama seperti ini? Aku ragu jika kamu adalah Radika, suamiku."
"Jika kamu meragukanku, cukup tinggalkan aku. Selesai."
Aruna menghela nafas sejenak. Ia tahu bahwa sang suami masih marah dengannya. Pasalnya, ia telah menyuruh Radika segera menikah lagi seperti apa yang di katakan oleh Dewi, mertuanya. Hal itu menyebabkan Radika marah besar dan tidak ingin berbicara sedikitpun kepada Aruna. Tentu saja Aruna kelimpungan. Sebelumnya, Radika tak pernah marah besar sampai sejauh ini. Biasanya Radika akan selalu mengalah dan terlebih dahulu meminta maaf jika terjadi sedikit perselisihan. Tapi sekarang, Radika tidak bisa mentolerir kesalahan Aruna sedikitpun.
"Maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Ini kemauan Mama Dewi, kamu tahu sendiri bagaimana beliau bukan? Aku bahkan tidak bisa mengelak sedikitpun apa yang beliau katakan. Maafkan aku karena aku terlalu bodoh karena tidak bisa mencegahnya untuk terus mendesakmu kembali menikah. Sebenarnya, aku pun tidak mau jika aku di madu. Memangnya siapa wanita yang ingin mengalaminya? Tidak ada! Tapi keadaan yang memaksaku untuk menerimanya. Aku tidak sanggup jika terus menerus di hina dan di caci oleh Mama Dewi. Hatiku terbuat bukan dari baja yang tetap kuat walaupun di katai se menyakitkan itu. Hiks," jelas Aruna sendu.
Melihat sang istri menangis membuat hati Radika tercubit. Dengan segera ia memeluk tubuh mungil sang istri guna memberikan sedikit kehangatan. Benar apa yang di katakan oleh Aruna, keadaan yang membuat Aruna menerima jika ia menemukan kembali pendamping hidupnya. Namun, tak ada sebesitpun dalam hati Radika untuk mencari sosok yang mampu mengisi hatinya kembali. Sosok yang mampu membuat hatinya terbagi menjadi dua bagian. Tidak ada.
Radika membelai rambut panjang Aruna lembut. Dalam keadaan apapun, Aruna tetap menawan. Wanita ini selalu membuat hatinya takluk tak berkutik. Setelah itu, Radika mengusap air mata Aruna dengan tangan besar miliknya.
"Sudah, jangan menangis. Kamu tidak akan terlihat cantik jika menangis seperti ini. Kamu tidak perlu meminta maaf, semua yang telah terjadi bukan kesalahanmu. Ingat itu. Semuanya hanya takdir yang telah di gariskan Tuhan terlebih dahulu. Aku mengerti akan posisimu. Maafkan aku juga karena tidak bisa membuat ibuku yakin bahwa kita bisa memenuhi apa yang di inginkan olehnya. Aku benar-benar suami yang tidak berguna. Seharusnya aku berada di garis terdepan saat orang lain menghinamu bahkan jika itu orang tuaku sendiri. Tapi apa? Justru aku diam dan melihatmu di caci maki oleh ibuku sendiri. Aku begitu merasa tidak berguna," ucap Radika menyesal.
Aruna menganggukkan kepalanya pelan. Wanita itu belum bisa membuka suaranya. Dadanya masih begitu sakit saat kembali mengingat apa saja yang baru terjadi. Ia berusaha menetralkan nafasnya yang tersendat-sendat karena menangis. Ia tidak menyangka jika segala ucapan mertuanya begitu merubah hidupnya.
Aruna menatap sang suami yang balik menatapnya. Dalam mata Radika, hanya terdapat sosok Aruna begitupun sebaliknya. Begitu berpengaruhnya satu manusia di muka bumi ini. Mungkin jika sosok itu tidak masuk ke dalam kehidupan mereka, Aruna dan Radika masih terlihat baik-baik saja. Namun, saat orang itu mulai memasuki dan ikut campur dalam rumah tangha mereka, semuanya seakan rata dengan tanah. Hancur luluh tak berantah.
"Mas, apa yang di katakan oleh Mama benar. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana nasib keluargamu jika tidak memiliki pewaris? Aku tidak bisa membayangkannya bagaimana jika perusahaan kita jatuh ke orang yang salah. Aku tidak mau jerih payah keringatmu hanya berakhir sia-sia," ucap Aruna sedih.
Radika mencubit bibir Aruna keras. Pria itu tidak suka jika Aruna mengatakan yang tidak-tidak. Istrinya ini tidak kapok setelah ia diami selama satu hari penuh.
Sedangkan Aruna menepuk tangan Radika keras karena tangan besar itu dengan seenaknya menempel begitu saja pada bibir tipisnya.
"Jika kamu berkata seperti itu lagi, jangan harap kamu masih bisa berbicara," ucap Radika kesal.
"Memangnya kamu ingin melakukan apa sampai aku tidak bisa berbicara?" tanya Aruna.
"Tentu saja menjahit mulutmu. Oh, atau kamu ingin bibirmu di jahit dengan bibirku?"
"Ck. Fikiranmu terlalu kotor."
"Kotor? Aku kira tidak. Aku benar-benar tidak suka jika kamu mengatakan hal seperti itu kepadaku. Sekali pun kamu memaksaku sebanyak seratus kali pun, aku tidak akan menurutinya. Kecuali memang itu merupakan skenario Tuhan yang tak dapat di ubah sama sekali."
"Seandainya kamu di jodohkan dengan orang yang aku pilih, apa kamu mau?"
"Berhenti mengatakan hal seperti itu. Bagaimana jika kita mengingat masa lalu kita saja? Dulu, aku sampai di tolak sebanyak lima kali saat aku menembakmu dulu. Sainganku juga banyak sekali, aku jadi pesimis waktu itu. Aku fikir, aku tidak akan pernah mendapatkanmu. Ternyata aku salah, justru aku yang terpilih dari sekian banyak pria. Aku heran sampai sekarang, memangnya apa yang kamu sukai dariku?" tanya Radika.
"Aku sendiri bingung, kenapa aku bisa menyukaimu dulu. Padahal dulu kamu bisa di katakan biasa, tapi hatiku mengatakan bahwa kamu adalah pria yang istimewa dan luar biasa. Aku fikir karena segala kepandaianmu. Aku begitu menyukai orang pandai sepertimu."
"Tapi aku tidak sepandai itu."
"Jangan terlalu merendah. Semakin kamu merendahkan maka akan terlihat lebih tinggi."
Radika hanya terkekeh mendengar ucapan Aruna. Ia mengacak-acak rambut sang istri hingga rambutnya kusut tak berbentuk. Hal itu membuat Aruna mengerucutkan suaminya tidak suka. Wanita itu baru saja merapikan rambutnya. Tapi, sang suami dengan seenak jidat merusak tatanan rambut cantiknya. Jika di depannya ini bukan suaminya, mungkin Aruna sudah melemparkan tubuh besarnya itu ke tempat pembuangan.
Malam berjalan begitu cepat. Pasangan suami istri itu masih asyik mengingat kenangan saat pertama kali menjalin kasih. Biar saja dua insan bestatus suami istri itu menjalani malam ini dengan penuh kebahagiaan.