Perpisahan

1015 Words
Velina menatap Ferdi tak rela. Baru saja ia memadu kasih dengan pria itu, sekarang ia akan kembali di tinggalkan oleh pria itu. Ferdi hanya memiliki waktu cuti selama tiga hari, terlalu sebentar bagi Velina yang haus kerinduan pada pria itu. Velina memeluk Ferdi erat. Wanita itu menghirup rakus aroma maskulin yang menyeruak dari tubuh Ferdi. Aroma ini yang selalu Velina rindukan. Seandainya ia memiliki kuasa, ia ingin membuat Ferdi memiliki waktu untuknya dan memberikan libur panjang untuk kekasih tercintanya. Namun, semua itu hanyalah angan belaka. Faktanya, ia tidak memiliki kuasa sedikitpun. Velina menghela nafas pelan. Berusaha menahan d*danya yang terasa sesak. Ia harus merelakan kepergian Ferdi. Jika ia terus menahan pria itu, ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan nasib pekerjaan Ferdi. "Kenapa kamu pergi cepat sekali? Padahal aku masih begitu merindukanmu. Bisakah kamu memiliki waktu sedikit lagi untuk tetap tinggal?" tanya Velina sedih. "Maafkan aku sayang, yang aku inginkan seperti itu. Aku ingin memiliki waktu yang banyak untukmu. Tapi keadaan yang memaksaku untuk segera pergi. Maafkan aku. Jaga diri baik-baik, oke? Setelah ini, aku akan mengabarimu lebih sering dari biasanya. Aku akan merindukan. Hah... Rasanya sulit sekali untuk pergi jika melihat wajahmu yang terlihat menyedihkan itu," kata Ferdi berat. "Jangan pedulikan aku. Aku tidak apa-apa. Pergilah, aku akan menjaga diri dengan baik. Cepatlah datang, aku juga akan sangat merindukanmu. Ingat janjimu, kabari aku lebih sering. Jika tidak, jangan harap aku masih mau bersamamu." "Tega sekali kamu mengancamku seperti itu. Tenang saja, kamu bisa memegang ucapanku. Kalau begitu aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Aku mencintaimu," ucap Ferdi sembari mengecup pucuk kepala Velina. Velina mengangguk ragu. Berat hati saat melepaskan kepergian Ferdi. Ia menatap Ferdi yang mulai melangkahkan kaki pergi meninggalkannya. Velina mengusap dadanya pelan. Ia berharap bisa menjaga hatinya untuk pria itu. Velina melangkahkan kakinya dengan lesu. Baru saja ia merasakan sebuah kebahagiaan, sekarang kebahagiaan itu telah pergi meninggalkannya. Ia heran dengan jalan hidupnya sendiri. Kenapa rasanya begitu sulit? Velina harus menerima segala konsekuensi yang telah ia dapatkan. Sejak awal, Ferdi telah mengatakan bahwa pria itu akan disibukkan oleh pekerjaannya. Dan Velina dengan senang hati menerima Ferdi. Namun, kali ini ia sedikit menyesali keputusannya. Seandainya ia tak menerimanya Ferdi mungkin hidupnya tidak akan seperti ini. Hatinya tak akan merasa kosong walaupun sudah memiliki seorang kekasih. Velina menggelengkan kepalanya ribut, ia tidak boleh memiliki fikiran yang seperti itu. Ia tidak boleh menyesali keputusannya. Keputusannya waktu itu adalah hal yang terbaik untuk dirinya sendiri. Ferdi bekerja untuk masa depan dan keluarganya. Pria itu masih memiliki kehidupan lain selain dirinya. Ia sadar bahwa Ferdi tak hanya memusatkan kehidupan yang ia miliki padanya. Velina mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia tidak memikirkan sama sekali akan Keterlambatannya. Ini masih terlalu pagi jika ia menyepatkan kendaraannya. Wanita itu hanya akan kebingungan jika datang terlalu awal. Ia belum banyak mengenal karyawan lama. Wanita itu hanya sedikit akrab dengan Devan. Pria yang pertama kali menyapanya saat memasuki ruangan kerja. Mengingat Devan, membuat Velina sedikit menyunggingkan senyumannya. Pria itu masih gencar menggodanya, padahal ia sudah mengatakan dengan gamblang bahwa ia sudah memiliki seorang kekasih. Mungkin, Devan hanya bergurau saja mengingat dirinya yang cukup pendiam karena masih berstatus karyawan baru. *** Ferdi menatap kepergian Velina yang berjalan dengan lesu. Ia tahu bahwa wanita itu berat untuk melepaskan kepergiannya. Tapi mau bagaimana lagi, ini merupakan kewajibannya. Ia harus menjalankan tugas yang telah di amanatkan kepadanya. Ia tidak mungkin meninggalkan pekerjaan yang telah ia impikan sejak dulu karena seorang wanita. Walaupun Ferdi tahu, bahwa Velina telah menerima segala kekurangannya. Namun, ia masih terlalu mencintai pekerjaannya. Meskipun tak dapat di pungkiri bahwa Velina adalah wanita satu-satunya yang membuat hidupnya lebih hidup dan berwarna. Ferdi yakin, suatu saat ia tidak akan sesibuk ini. Setelah ia mendapatkan jabatan yang cukup tinggi, ia bisa meluangkan banyak waktu untuk wanita itu. Oleh karena iru, Ferdi bertekat untuk terus meningkatkan kualitas kerjanya. Ia tidak sabar untuk mendapatkan jabatan itu. Ia hanya bisa berharap, Velina bisa sabar menunggu akan pencapaiannya. Ferdi merapikan seragam kebanggaannya saat suara wanita pada sebuah speaker mengucapkan namanya. Sebentar lagi, ia akan melakukan penerbangan. Ferdi akan memikulkan beban sebanyak puluhan hingga ratusan nyawa ke pundaknya. Ia berharap beban yang di pikulnya sampai tujuan dengan selamat. Walaupun sudah terbiasa, perasaan takut masih menyelimuti Ferdi. Ia takut jika tidak bisa kembali. Ferdi membuang segala fikiran buruknya. Ini saatnya ia bekerja. Ia akan menunjukkan bagaimana kehebatannya saat mengendarai besi terbang itu. Ia yakin, kali ini ia akan berhasil menerbangkan besi terbang itu dengan baik tanpa kesalahan sedikitpun. Dan membuat semua penumpangnya merasa aman saat berada di dalam pesawat. "Sudah siap, Pak?" ucap salah satu co-pilotnya, Rasya. "Tentu saja. Bagaimana denganmu?" tanya Ferdi. "Saya selalu siap saat Captain siap. Jika Anda belum siap, maka saya pun belum siap," ucap Rasya sembari melebarkan senyumannya. "Seharusnya Anda memiliki pendirian sendiri. Bagaimana jika suatu saat kamu menerbangkan pesawatmu sendiri tanpa saya? Saya tidak bisa membayangkannya." "Tidak tahu, saya belum memikirkannya. Yang jelas, saya akan menjalani pekerjaan saya kali ini dengan sebaik mungkin. Untuk ke depannya, saya belum memiliki gambaran. Saya masih kurang berpengalaman untuk memiliki fikiran sejauh itu." "Bagus. Saya suka jalan fikiranmu. Namun ada baiknya kamu memikirkan untuk kedepannya. Saya yakin, melihat kamu yang bekerjasama keras seperti ini, tak lama lagi kamu akan memiliki gelar Captain." "Benarkah itu? Wah, saya benar-benar merasa tersanjung." "Benar. Yah, mungkin enam sampai sepuluh tahun lagi kamu akan memiliki gelar itu." Rasya mendadak lesu mendengar perkataan Ferdi. Padahal, ia senang sekali mendapatkan pujian dari Ferdi. Lebih baik ia tidak di puji sama sekali daripada di puji kemudian berakhir di jatuhkan. Enam sampai sepuluh tahun lagi katanya, bukankah itu termasuk waktu yang lama? Rasya mengikuti langkah Ferdi menuju camp mereka. Ia tidak membuka suara sedikitpun. Pasalnya, ia masih merasa kesal dengan ucapan Ferdi. Ia paling tidak suka jika di jatuhkan seperti ini. Sedangkan Ferdi hanya terkekeh pelan. Tingkah Rasya layaknya seorang gadis yang sedang datang bulan. Mudah sekali marah. Sebenarnya, apa yang di katakan Ferdi benar bahwa Rasya akan memiliki gelar itu sebentar lagi. Ia hanya tidak ingin Rasya besar kepala akan pujiannya. Ia yakin, Rasya tidak akan segiat sekarang jika sudah besar kepala. Jadi, yang di lakukannya benar bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD