Desakan

1020 Words
Aruna menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Ia menatap wajah pucat yang menyelimuti wajah cantiknya. Ia jadi penasaran, sebenarnya ia sakit apa sampai tiga hari tak kunjung sembuh. Padahal biasanya ia akan segera pulih seperti semula jika hanya terserang demam. Aruna menatap suaminya yang sudah bersiap untuk pergi bekerja. Seperti biasa, di terlihat begitu tampan dan berwibawa. Ia menyunggingkan senyum manis saat sang suami datang menghampirinya. “Aku berangkat dulu ya, jaga diri baik-baik,” ucap Radika. “Baik, kamu juga harus bekerja dengan baik. Jangan terlalu lelah, dan jangan pulang terlalu larut. Aku masih membutuhkanmu.” Jawab Aruna. “Oke, aku janji akan pulang lebih cepat. Istirahat yang cukup, jika kamu belum mengalami peningkatan , terpaksa aku akan membawa ke rumah sakit sore ini.” “Kenapa bisa begitu? Aku tidak mau ke rumah sakit. Kamu tahu sendiri buka. Aku sangat membenci rumah sakit.” “Tidak ada bantahan. Sekalipun kamu merengek selama dua jam, aku akan tetap membawamu ke rumah sakit. Ingat, jangan melupakan obatmu. Jangan terlalu banyak beraktivitas.” Aruna hanya mengangguk mendengarkan perkataan Radika. Ia layaknya seorang anak kecil yang di nasihati oleh orang tuanya supaya tidak melakukan kenakalan. Melihat itu, Radika segera menghampiri Aruna kemudian mengecup pucuk kepalanya pelan sembari mengucapkan kalimat perpisahan. Dengan berat hati, Radika meninggalkan Aruna. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan istrinya yang masih sakit. Ia merasa menjadi lelaki paling jahat di dunia karena tega meninggalkan sang istri yang masih membutuhkannya. Ini bukan kemauan Radika. Aruna yang memaksanya untuk segera kembali bekerja, wanita itu berkata bahwa ia sudah mangkir dari pekerjaan selama dua hari. Menurut Aruna dua hari merupakan waktu yang lama. Wanita itu takut jika pekerjaan Radika akan semakin menumpuk karena Radika mengabaikannya. Radika menghembuskan nafasnya kasar. Ia harus bekerja keras supaya bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Setelah itu, ia bisa memeluk Aruna sepanjang waktu. Radika begitu mencemaskan keadaan Aruna. Ia takut ia dalam waktu dekat wanita itu akan meninggalkannya, mengingat sang ibu terus mendesak Arun supaya wanita itu membiarkannya hidup dengan wanita lain. Tak membutuhkan waktu yang lama, Radika sudah sampai ke kantornya. Ia mengernyitkan alisnya heran saat sang ibu sudah berada i ruangannya dengan senyum lebar. “Mama? Kenapa ada di sini?” tanya Radika heran. “Mama hanya merindukanmu. Selain itu, aku ingin bertemu dengan calon menantu Mama.” “Calon menantu? Apa maksud Mama?” “Tentu saja calon istrimu yang baru. Kenapa kamu tidak faham sih?” Radika terdiam sejenak mendengar ucapan sang ibu. Ia tidak menyangka jika sang ibu bisa berbuat sejauh ini. Sampai-sampai menyempatkan diri untuk mendapatkan calon istri yang baru untuknya. Radika benar-benar heran melihat tingkah laku sang Ibu yang sekarang. Sudah keluar dari nalar. “Kamu kenal Velina? Ya, dia adalah calon menantuku. Dan kamu harus mendapatkan hatinya. Aku tidak mau tahu,”” paksa Dewi. “Tidak bisa, Ma. Tidak mungkin aku mendapatkan hatinya, aku masih tidak akan menghianati cinta Aruna kepadaku. Apakah Mama lupa akan hal itu?” “Tidak. Tidak sama sekali, bahkan aku sudah sangat mengafalnya. Aku hanya muak jika bertemu dengan Aruna. Sebagai seorang menantu dia benar-benar tidak berguna.” “Apa maksud Mama? Bukankah Aruna sudah melakukan yang terbaik sebagai seorang menantu? Bahkan dia tak pernah membalas perkataan menyakitkan yang Mama berikan kepadanya?” “Tapi dia tidak bisa memberiku cucu!” Radika menghembuskan nafasnya kasar. Ia mengacak rambutnya frustasi. Pria itu tidak bisa berkata-kata mendengar alasan ibunya. Selalu seperti itu, Dewi selalu mengatakan alasan yang sama ketika bersitegang dengannya. “Ma, dengarkan aku. Aku yakin jika Velina sudah memiliki seorang kekasih, dan aku tidak mau merebut Velina dari pria itu. Aku tidak mau menjadi lelaki b******k yang menghianati seorang wanita sekaligus merebut wanita yang sudah di miliki oleh pria lain.” “Aku tidak peduli. Apa itu begitu sulit kamu lakukan untuk menuruti perkataan mama?” “Tentu saja. Maaf karena tidak bisa menuruti perkataan Mama.” Mendengar itu, Dewi langsung meninggalkan Radika dengan tergesa-gesa. Ia kecewa dengan jawaban sang anak. Seharusnya, menuruti perkataannya. Jika itu terjadi, maka masalah akan segera selesai. Devan menatap kepergian Dewi heran. Wanita itu terlihat bersungut-sungut dan menahan kesal. Ia memasuki ruangan Radika dengan cepat. Ia harus segera menanyakannya pada Radika. Bisa jadi ini akan menjadi bahan gosip yang mahal. “Selamat pagi, Pak. Saya ingin memberikan laporan saya yang telah selesai,” ucap Devan. “Letakkan saja di meja saya,” jawab Radika singkat. “Maaf, Pak. Kalau boleh tahu kenapa Ibu Anda berada di sini? Apakah beliau ada kepentingan?” “Tidak.” “Saya lihat beliau terlihat kesal setelah keluar dari ruangan Bapak?” “Ibu saya memang seperti itu. Suka memaksakan kehendaknya sendiri.” “Maaf, kalau boleh tahu tentang apa?” “Beliau memaksaku untuk kembali menikah. Kamu tahu sendiri bukan? Saya tidak mungkin menghianati istri saya. Apalagi, beliau menyuruh saya untuk menikahi karyawan saya sendiri.” “Karyawan? Apakah saya mengenalinya?” “Iya, dia adalah Velina.” “Apa? Apakah saya tidak salah dengar? Bukankah Velina baru saja bekerja beberapa hari di perusahaan ini? Bagaimana bisa Ibu Dewi mengenali Velina?” “Saya tidak tahu.” “Tapi menurut saya, saran Bu Dewi tidak buruk juga. Anda bisa menuruti perkataan Ibu Anda. Siapa tahu, itu adalah hal yang terbaik bagi Anda. Lagipula, Velina merupakan wanita yang baik.” “Hal terbaik bagaimana? Saya sudah bahagia dengan Aruna. Saya tidak mau bersama wanita lain selain Aruna. Jika kamu sudah selesai dengan urusanmu, kamu bisa meninggalkan ruangan saya.” Devan mengangguk. Dengan cepat Devan meninggalkan ruangan Radika. Ia tahu bahwa sang atasan marah dengannya. Ia jadi merutuki dirinya sendiri karena telah salah berkata-kata. Ia tidak menyangka jika perkataannya bisa membuat Radika semarah itu. Ah, Devan baru ingat bahwa Radika begitu mencintai Aruna. Radika menghembuskan nafasnya kasar. Kenapa semua orang memiliki fikiran yang hampir sama? Kenapa mereka menuntutnya untuk segera mencari pendamping lain selain Aruna? Padahal, ia sudah merasa bahagia hanya hidup dengan Aruna. Radika mendudukkan dirinya pada kursi kebesarannya kasar. Lebih baik ia memfokuskan dirinya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia ingat bahwa Aruna menyuruhnya untuk pulang lebih awal. Ia tidak mau jika wanita itu menunggunya lebih lama. Radika merentangkan tangannya. Ia sudah bersiap untuk mengerjakan semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD