Aruna menatap arlojinya sekilas. Sudah pukul empat sore, namun Rasika belum menampakkan batang hidungnya. Padahal pria itu sudah erjanji supaya pulang lebih awal.
Aruna menunggu kedatangan Radika di teras depan rumahnya. Ia tak sabar menyaka sesuatu terhadap Radika. Baru saja Devan mengabari Aruna jika sang mertua datang ke kantor Radika dan membicarakan sesuatu. Ia ingin memastikan bahwa apa yang di katakan Devan tidak benar. Ia takut jika wanita yang di maksud adalah sahabatnya sendiri.
Aruna menghela nafas pelan saat Radika tak kunjung datang. Tiga puluh menit seakan tiga hari jika menunggu seperti ini. Ia takut jika Radika akan menemui wanita yang di maksud oleh mertuanya.
Aruna bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa ia malah seperti ini? Bukankah seharusnya ia senang jika Radika telah menemukan pendampingnya lagi? Ini yang Aruna inginkan Ia ingin melihat anak biologis Radika di sat ia tak bisa memberikannya. Namun entah kenapa rasanya begitu sakit Ia tak menyangka jika berusaha merelakan pria yang dicintainya bisa sesakit ini Padahal seharusnya ia sudah belajar menerima apa yang akan terjadi kedepannya. Aruna hanya bisa berharap bahwa yang di maksud Devan bukan Velina, sahabatnya. Melainkan Velina yang lain Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika harus berbagi cinta pada sahabatnya sendiri
Cuaca tampak mendung sebentar lagi akan turun hujan Ia mulai mengeratkan pakaian hangatnya saat angin mulai masuk ke dalam kulitnya. Ia terus memanjatkan doa, semoga tidak turun hujan. Ia tidak mau jika sang suami kehujanan.
Selang beberapa lama ia melihat mobil sang suami mulai memasuki pekarangan. Dengan segera ia bangkit dari tempat duduknya kemudian menghampiri suaminya.
Radika mengernyitkan alisnya heran saat melihat kedatangan Aruna. Namun setelah itu ia bisa tersenyum lega saat rona wajah Aruna mulai terlihat. Ia yakin bahwa sang istri sudah baikan kali ini.
“Sudah sembuh?” tanya Radika lembut.
“Sudah,” jawab Aruna sembari mengambil tas yang di jinjing Radika.
“Syukurlah, aku tidak perlu terus-menerus merasa khawatir jika kamu sudah sembuh.”
“Kamu yang lebay, aku sudah mengatakan berkali-kali bahwa aku baik-baik saja. Jangan mengkhawatirkanku terlalu berlebihan.”
“Bagaimana lagi? Aku inginnya begitu, tapi aku tidak bisa.”
“Tidak apa-apa, yang terpenting kamu sudah melihatku sembuh. Ayo masuk, sebentar lagi akan hujan. Suhu juga semakin dingin, aku tidak mau kembali sakit karena terlalu lama di luar.”
Radika mengangguk kemudian menuntun sang istri masuk ke dalam rumahnya. Ia juga berfikir seperti itu, ia tidak mau jika istrinya kembali sakit. Jika itu terjadi, ia akan uring-uringan saat bekerja karena tidak bisa fokus.
Radika duduk di sofa empuknya, ia membiarkan sang istri yang sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Ia mengamati Aruna yang berjalan kesana kemari dengan cekatan. Ia heran dengan tingkah laku Aruna, padahal ia baru saja sembuh tapi sudah seperti orang yang sehat-sehat saja.
“Duduklah, kamu tidak perlu melakukan pekerjaan itu, aku bisa melakukannya sendiri,” ucap Radika.
“Tidak apa, semakin banyak bergerak, aku merasa semakin sehat. Kamu cukup duduk, aku akan menyiapkan pakaian gantimu,” jawab Aruna masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Aku bilang duduk, Aruna Kemala Dewi,” kata Radika dingin.
Aruna terpaku mendengar ucapan Radika. Ia tahu, ketika sang suami telah memanggilnya seperti itu, artinya sang suami telah marah besar. Wanita itu memutuskan menghentikan pekerjaannya. Daripada harus melihat Radika marah.
Aruna mendudukkan dirinya di samping Radika dengan wajah kesal. Apa-apaan suaminya itu, pemarah sekali. Padahal ia hanya melakukan pekerjaan kecil. Suaminya itu seperti melihatnya membajak sawah saja.
“Kamu kenapa sih?” tanya Aruna kesal.
“Kamu yang kenapa. Kenapa tidak menuruti perkataanku,” jawab Radika tak kalah kesal.
“Ayolah, aku hanya melakukan pekerjaan kecil. Kenapa kamu jadi memarahiku seperti itu?”
“Aku tidak bermaksud memarahimu, sayang. Kamu tahu sendiri jika kamu baru saja sembuh. Aku bisa melalukan pekerjaan itu sendiri. Aku yang akan menyelesaikannya.”
“Baiklah. Suamiku ini protective sekali.”
“Tentu saja. Aku tidak mau jika istriku kembali sakit.”
Aruna hanya tersenyum. Ia menatap wajah Radika yang balik menatapnya. Dengan segera, Aruna memalingkan wajahnya. Menatap wajah Radika membuat jantungnya berdetak kencang Tiba-tiba saja, Aruna mengingat sesuatu. Ia harus menanyakan perihal mertuanya.
“Aku dengar Mama Dewi datang ke kantormu,” ucap Aruna lirih.
“Kamu tahu dari siapa?” tanya Radika penasaran.
“Devan. Dia mengatakannya padaku. Katanya, Mama menyuruhmu untuk mendapatkan hati karyawanmu sendiri.”
Radika terdiam. Ia mengutuk Devan yang telah mengatakan hal itu kepada Aruna. Padahal, ia berusaha menutupi dari istrinya itu. Besok, Devan harus mendapatkan hukuman darinya. Karyawan kurang ajar.
“Iya, tapi tenang saja, aku tidak akan melakukan hal itu. Aku tidak mau mengkhianatimu,” ucap Radika lembut.
“Jika kamu melakukan itu, aku tidak apa-apa. Kamu bisa memenuhi permintaan ibumu. Aku tidak mau menjadi lantaran kamu sebagai anak durhaka karena membantah permintaannya.”
“Kenapa kamu berbicara seperti itu? Kamu meragukanku? Aku menolaknya bukan karena kamu, tapi karena diriku sendiri.”
“Kalau boleh tahu, siapa yang di maksud oleh Mama? Apakah dia cantik dan baik?”
“Kamu tidak perlu menanyakannya. Aku tidak akan menjawabnya,” jawab Radika dingin.
Aruna hanya terdiam mendengar perkataan Radika. Ia tak bisa memaksakan kehendak Radika. Di satu sisi ia bahagia karena Radika memilih setia kepadanya. Namun di satu sisi ia sedih, karena dengan seperti itu sang mertua akan semakin membencinya. Ia akan terus di salahkan.
Aruna menghembuskan nafasnya kasar. Sulit sekali untuk menentukan pilihannya. Selalu ada kebimbangan setiap kali ia melakukan sesuatu. Aruna hanya bisa berharap ia bisa menjalani kehidupannya dengan baik. Ia hanya perlu menjalani skenario Tuhan.
Radika menahan dadanya yang terasa sesak. Ia tidak menyangka jika Aruna berbicara seperti itu kepadanya. Padahal ia telah menunjukkan kesetiaannya kepada wanita itu. Ia telah melakukan apa pun untuk membuat wanita itu percaya bahwa ia telah bahagia hanya dengan hidup bersama Aruna.
Radika tak pernah mempermasalahkan kondisi Aruna. Ia tidak peduli jika Aruna tidak akan memberikannya keturunan. Yang ia mau adalah hati Aruna, bukan yang lain. Mereka bisa mengadopsi anak jika mereka tak kunjung di berikan momongan. Walaupun keinginannya untuk memiliki anak begitu besar. Namun keinginannya untuk menjaga hati Aruna lebih besar. Ia tidak akan membiarkan dirinya sendiri menyakiti hati Aruna. Wanita yang paling ia cintai seumur hidupnya.