7. Kenangan

1061 Words
Praaang!! Aku terbangun paksa dari tidur, terperanjat karena suara pecahan kaca yang sangat ribut. Ada apakah gerangan? Apakah ada penyusup? Aku pun segera bangkit dari futon dan berlari membuka pintu geser yang memisahkan kamar dengan ruang tamu. Aku hampir saja menjerit melihat seorang laki-laki tinggi besar yang tengah berdiri memunggungiku. Hampir saja aku menjerit. Hampir …. Bila saja aku tidak melihat futon Aini yang masih tergelar dalam kondisi berantakan, di dekat meja kotatsu, mungkin aku tidak ingat bahwa saat ini aku tidak sendirian di apato. Tuan Fujisaki menoleh, meminta maaf telah membuatku terbangun. Kulihat di depannya, pecahan gelas berserakan di lantai kayu ruang tamu. Aku pun lega melihatnya. Kukira ada maling atau penjahat yang masuk ke rumah. Walaupun mungkin bisa mengatasi, aku bukanlah tipe orang yang berharap untuk bertemu lawan. Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh menit dini hari. Hmm … sudah tanggal 25 Desember sekarang. Untunglah hari Minggu. Teman-teman asingku yang merayakan natal tahun ini, tentu tidak perlu repot meminta izin libur kepada profesor mereka karena kebetulan jatuh di tanggal merah. "Biar aku saja yang membersihkan pecahan kacanya. Tuan istirahat saja," ujarku pada Tuan Fujisaki yang dengan canggung, atau malas, mencoba membersihkan pecahan yang besar. Aku pun segera mengambil sapu dan pengeruk sampah, kemudian mengambil kardus bekas berukuran kecil sebagai wadah pecahan kaca. Sisanya, harus dibersihkan memakai vacuum cleaner. Namun, itu akan sangat berisik sekali mengingat orang-orang saat ini sedang beristirahat. Kalau dibersihkan saat pagi hari, tentu akan berbahaya bila kami lupa, atau tidak sengaja ada yang lewat area ini sebelum pagi. "Punya tisu basah?" celetuk Tuan Fujisaki tiba-tiba. "Kita bisa pakai tisu basah untuk membersihkan pecahan kaca yang lembut." Mengapa tisu basah? 'Kan, tidak ramah lingkungan. Tapi ya sudahlah. Aku pun tak ingin berdebat lebih jauh lagi. Yang penting bersih dan tidak membahayakan kami. Kami pun membersihkan pecahan kaca yang lembut bersamaan, menghabiskan beberapa lembar tisu basah. Sampah yang terkumpul di kardus pun menjadi menumpuk. Setelah selesai, aku mengepak dengan rapi dan memasukkannya ke kantung plastik sampah ukuran dua puluh liter warna hijau, yang ditulisi: "Awas! Benda tajam" dalam tulisan kanji yang besar dan rapi. Plastik standar terakhir yang kupunya. Yang tersisa banyak tinggal plastik sampah warna merah. Plastik sampah khusus untuk plastik yang bisa didaur ulang. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud melecehkanmu semalam dengan mengatakan bahwa kamu menggodaku dengan menangis," ujar Tuan Fujisaki tiba-tiba. "…." "Aku mengenal seseorang yang seperti itu. Membuatku salah berpikir bahwa semua wanita sama," jelasnya lebih lanjut. "…." "Aku bersalah. Tak seharusnya aku menyinggung perasaan orang yang sudah menolongku," bisiknya pelan. "Aku tidak tahu bahwa sebenarnya kamu memang punya masalah yang begitu berat." "…." Aku membiarkannya berbicara dengan dirinya sendiri, tanpa sedikit pun keinginan untuk menyahut permintaan maafnya. Sebenarnya, aku bahkan sudah lupa apa yang Tuan Fujisaki katakan kemarin. Yang terbayang olehku, justru kejadian setelahnya. Pengkhianatan sahabat dan kekasih—mantan kekasih yang baru beberapa jam lalu putus. Mungkin, mereka sudah lama melakukan perselingkuhan di belakangku. Aku mencoba mengingat, kapan terakhir kali Risa mengatakan dia sudah punya pacar baru. Kucoba pula mengingat, kapan sebenarnya sikap Yuya mulai tidak wajar. Mungkin dua atau tiga bulan yang lalu. Atau empat bulan yang lalu? Ya Tuhan …. Apakah selama ini diriku terlalu sibuk, sampai-sampai tidak menyadari bahwa ada yang berubah pada diri orang-orang terdekat? Apakah kesibukanku yang membuat mereka akhirnya memilih jalan yang busuk dengan cara mengkhianati kepercayaan yang sudah terpatri selama bertahun-tahun? Kalau saja kemarin Tuan Fujisaki tidak membuatku marah dan pergi meninggalkan apato, mungkin saja aku tak akan pernah tahu apa yang disembunyikan oleh Yuya dan Risa. Mungkin, selamanya mereka akan membodohiku, sampai akhirnya aku mengetahui hubungan mereka setelah mereka menjadi suami istri. Konyol sekali, bukan? "Tak apa. Mungkin sudah kehendak langit. Kalau Tuan tidak melakukannya, mungkin aku tak akan pernah tahu apa yang dilakukan oleh kedua pengkhianat itu di belakang," sahutku kemudian demi menjawab permintaan maafnya. Air muka Tuan Fujisaki berubah sedih, seolah-olah dia memahami perasaanku dengan sebenar-benarnya. Dia kemudian bersandar ke dinding dan menghela nafas panjang. Menerawang entah apa yang tak kumengerti sedikit pun. Bisa jadi dia mengingat sesuatu yang tidak menyenangkan di masa lalunya. "Lagipula, aku yang seharusnya berterimakasih pada Tuan karena telah repot-repot mengikutiku, dan bahkan menolongku sehingga aku tidak melakukan hal yang bodoh lebih jauh lagi," tambahku agar pikiran Tuan Fujisaki kembali ke saat ini. Jujur saja, aku tidak suka melihat seseorang yang bersedih mengenang masa lalunya. Mengingatkanku akan sosok ayah yang selalu bersedih karena kehilangan ibu. Ayah yang selalu bersedih saat menatapku hanya karena wajahku yang sangat mirip dengan ibu. Berhasil. Tuan Fujisaki pun menoleh kepadaku sambil tersenyum. "Kamu membuatku teringat pada seseorang," ungkapnya dengan senyuman yang lebih lebar lagi. "Siapa?" tanyaku penuh rasa ingin tahu, hanya kebiasaan bila seseorang menyebutku mirip dengan orang lain. "Emm … seorang yang bertemu denganku belasan tahun yang lalu. Bukan masalah besar. Sepertinya dia juga sudah tidak ingat lagi," ungkapnya sambil kembali menerawang, namun kali ini tidak dengan air muka yang penuh kesedihan. Justru sebaliknya, sepertinya ini adalah kenangan yang indah, karena dia tersenyum dengan sangat manis. Sungguh, pasti kenangannya sangatlah mengesankan. Hingga aku ingin ikut berbagi kenangan dengannya. Namun, aku cukup tahu diri untuk tidak menanyainya lebih lanjut. Bagaimanapun juga, kami berdua tetaplah orang asing. "Aku juga ingin mengucapkan terimakasih," ujarku malu-malu. Terkenang kembali kepingan peristiwa yang baru terjadi beberapa jam yang lalu. Betapa heroiknya kehadiran Tuan Fujisaki, bahkan hingga menggendongku di punggungnya. "Terimakasih sudah rela berberat-berat menggendongku." "Tak apa, kamu penolongku. Aku juga ingin menolong kamu," balasnya santai. "Aku suka hubungan timbal balik seperti ini." Tuan Fujisaki menatapku dengan pandangan mata dan senyuman yang penuh arti. Seolah ada perasaan sayang yang tercampur di dalam senyuman itu. Serasa kami telah saling mengenal begitu lama. Aku pun menunduk karena tak sanggup membendung emosi yang tiba-tiba muncul secara natural. Kupandangi lekat-lekat selimut hangat pembungkus kotatsu, seolah motif daunnya tampak begitu menarik perhatian. "Bila kau mengizinkan, aku ingin membantu menyembuhkan lukamu," bisiknya dengan penuh kepastian, menjanjikan sebuah kekuatan baru untuk menjalani kehidupan di masa mendatang. Aku yang tadinya menunduk, kini kembali menengadahkan muka, membiarkan mataku menatapnya. Memastikan apakah yang dia katakan adalah serius. Bukan candaan. "Anggap saja sebagai balas budi karena kamu telah membantu merawat lenganku." *** Hi, Semua! Terima kasih yang sudah mendukung cerita ini. Walaupun nggak kepilih untuk dapat prize, nanti aku akan update pelan-pelan. Sementara baca ceritaku yang lain dulu ya! Dua Istri masih gratis kok. Silakan dibaca. Semoga suka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD