8. Kopi dan Matcha

1039 Words
Aku mengerutkan kening. Alisku bertaut. Tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu karena ujaran Tuan Fujisaki barusan adalah hal yang sulit. Jujur saja aku tersinggung. Bagaimana tidak? Pernyataannya terlalu berani, 'kan? Bukankah dia tahu aku sedang patah hati. Namun, aku memilih untuk menyembunyikan emosi dan berpikir positif. Bisa jadi, dia hanya bermaksud menolong, bukan menyatakan perasaan lain. Tugasku hanya meluruskan kesalahpahaman saja. "Hei, orang normal bisa salah mengartikan perkataan anda," komentarku datar, berusaha untuk tetap berwajah tenang. Kusunggingkan sedikit senyuman, agar menambah kesan bersahabat. "Aku punya nama," balasnya. "Jangan panggil 'hei' ...." "...." Aku melemparkan pandangan kurang suka padanya. Tapi memilih untuk menyudahi saja dan menerima tawarannya. Menyetujui dalam hal ini akan lebih baik. Jauh lebih baik daripada berdebat. "Oke, dengan cara apa anda akan membantuku ... ehm ... menyembuhkan luka?" tanyaku dengan nada menantang yang tersamarkan. Hanya kedua alis yang terangkat, yang tak bisa membohongi siapa pun yang melihatku, bahwa saat ini aku sedang mencemooh pria itu. Tuan Fujisaki tersenyum, kemudian terkikik pelan. Apakah itu pertanyaan yang begitu lucu baginya? Kadang aku tidak mengerti kelakuannya yang kurang sopan. Sindrom orang kaya, selalu seenaknya saja. "Kamu bisa bercerita apa pun masalahmu," balasnya sambil mengulum senyuman. "Bagaimanapun juga aku adalah orang yang lebih tua. Tentu lebih banyak pengalaman." Kami pun berpandangan sejenak. Ketika mata bertemu mata, ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan oleh sekadar kata. Rasa percaya dan keinginan bertumpu pada seseorang, yang tidak dengan mudah didapatkan walaupun kita sudah mengenal orang itu begitu lama. Entah mengapa kali ini aku merasa ingin percaya padanya. Mungkinkah karena kepercayaanku kepada Yuya dan Risa telah hancur? Hingga tercipta ruang kosong di hati, yang bisa dimasuki oleh seseorang kapan saja. Yang mengisi sela itu begitu saja tanpa permisi. Bisa jadi, saat ini aku sedang dimanfaatkan. Mungkin juga, saat ini aku sedang dikelabui. Tapi entah mengapa, rasanya aku tetap masih ingin percaya. Apakah ini karena pembawaannya yang seperti sosok matang yang bijaksana? Bagai pahlawan perkasa yang menyelamatkan seorang gadis dari sarang penjahat. Membuat semua perkataan Sang Hero menjadi perintah bagi si gadis. Titah mutlak yang harus dilaksanakan. Namun, sisi hatiku yang lain, yang masih waras, memaksaku untuk berpikir logis. Dia adalah orang asing. Tidak mungkin aku sembarangan mengungkapkan isi hati padanya. Aku bukanlah gadis ingusan, yang baru lahir kemarin sore. Tak akan kubiarkan siapa pun mempermainkan hati ini lagi. Dua pengkhianatan dalam waktu yang bersamaan, sudah terlalu banyak buatku. "Air, s**u, kopi, atau teh?" tanyaku kepada Tuan Fujisaki untuk mengalihkan pembicaraan. Menawarkan diri untuk mengambilkannya minuman adalah hal yang bijak, daripada harus mencurahkan isi hati padanya ... dan tentunya lebih baik daripada dia harus memecahkan gelas lagi. Sesederhana itu. "Sebenarnya, aku tadi ingin membuat kopi ... mmm ... kamu tahu, 'kan?" jawabnya jujur, sambil memutar-mutar jari telunjuknya, membuatku tertawa. Yang dia maksud mungkin kopi s**u marble. Bila kopi biasa, tentu tidak akan menggunakan gelas kaca transparan. "Aku hanya punya kopi instan," tawarku padanya. Kutanyakan karena aku tahu tidak semua orang yang menyukai kopi instan. Tapi aku juga bukan penggila kopi. Tidak akan kubuang budget bulanan untuk membeli penggiling kopi dan espresso maker. "Apakah tidak mengapa?" tambahku memastikan. "Tentu saja tidak apa-apa," sahutnya sambil mengerang saat merebahkan diri di atas futon tanpa selimut. Kemudian, aku menyeduh kopi instan untuknya. Hanya kopi instan berbutir, merk sejuta umat biasa saja. Tapi, sudah cukup sedap untuk membuat kopi s**u marble. Sedangkan untukku, cukuplah seduhan matcha bubuk. "Istriku, selingkuh dengan pamanku sendiri," katanya tiba-tiba saat aku menuangkan s**u ke dalam gelas kopi. "Oh, aku lupa. Dia sudah menjadi mantan istriku sekarang," ujarnya lagi, menampakkan air muka yang begitu sedih. Pengkhianatan seorang kekasih, mungkin memang tidak ada apa-apanya bila harus dibandingkan dengan pengkhianatan dalam hubungan suami-istri. Namun, apakah dia harus membawa hal itu sekarang? Di saat aku baru saja mengalaminya. Apakah dia ingin menunjukkan betapa ringannya permasalahanku? "Aku sedang tak ingin mendengar masalah orang lain," timpalku dingin. "Pernikahan kami, dahulu memang atas dasar cinta. Namun, cinta kadang tak selamanya hadir dalam sebuah hubungan. Oleh karena itu, perpisahan adalah hal yang wajar dialami manusia," lanjutnya lagi tanpa mempedulikan protesku. "Walaupun dulunya mereka saling mencintai." Senyuman getir tersungging di bibirnya. Membuat mulutku yang sudah membuka, yang tadinya siap untuk menghujaninya dengan bantahan, mendadak kaku. Lidah pun kelu. Tak sanggup untuk menjelma menjadi pisau untuk merobek dan menyayat hati yang tampak begitu ... hancur lebur? Mungkin saja, sebenarnya, Tuan Fujisaki tidak berniat mencemooh nasibku. Justru, saat ini, dialah yang memang membutuhkan teman untuk mencurahkan isi hatinya. Teman yang bukan dari keluarganya. Teman yang tidak mengenalnya sama sekali. Orang yang tak akan mengadili benar atau salah tindakannya, atau memaksa untuk bersabar. Orang yang hanya akan mendengar cerita, seperti seekor binatang peliharaan yang mendengar luapan emosi patah hati tuannya. Aku pun menghirup matcha yang kini sudah agak dingin. Kulirik Tuan Fujisaki yang sedang melakukan hal yang sama terhadap kopinya, yang sudah tidak tampak marble lagi. Pahit sekali raut wajahnya. Mungkin, dia membutuhkan tambahan gula di kopinya agar bisa tersenyum manis. "Dia tak tahu bahwa paman hanya memanfaatkannya untuk menghancurkan hidupku," ceritanya lagi. Membuat hatiku semakin tak karuan. "Tanpa mengetahui bahwa aku tak selemah itu." Selanjutnya, Tuan Fujisaki bercerita bahwa pamannya memang mengincar perusahaan keluarga yang tak pernah dipercayakan padanya. Sejak dulu, pamannya memang berusaha keras menghancurkan hidup Tuan Fujisaki, si pewaris tahta kekayaan keluarga. Mulai dari mengenalkannya pada pergaulan yang buruk, narkoba, dan berjudi. Namun, ayah Tuan Fujisaki selalu melindungi anaknya. Tak berhenti sampai di situ. Sang paman mulai mengincar istrinya yang mulai bosan karena kesibukan Tuan Fujisaki. Istri polos yang mudah ditipu pria jahat itu pun akhirnya jatuh ke pelukan pamannya, yang berujung perceraian. Tuan Fujisaki semakin gila kerja, agar tak memberi kesempatan pada siapa pun untuk melemahkan posisinya. Dia ingin menunjukkan pada pamannya bahwa tak akan ada masalah yang bisa membuatnya terpuruk. Sekalipun itu berhubungan dengan keluarganya. Walaupun itu istri yang dicintainya. Perasaan dan bisnis adalah dimensi yang berbeda. Bila memang ingin menghancurkannya, dia harus menghancurkan dari dimensi yang sama pula. Mungkin, saat ini keluarga kecilnya memang hancur. Namun dia masih memiliki tempat yang mengakui keberadaannya. Tempat yang membutuhkannya. Tempat yang tidak pernah mengkhianati kemampuan dan kerja kerasnya. Namun, saat sang ayah meninggal, pamannya kehilangan kendali. Dia bertekad untuk menghilangkan keberadaan Tuan Fujisaki secepat mungkin, sebelum sang kakek meresmikan posisi Tuan Fujisaki untuk menjadi pimpinan perusahaan yang baru. "Karena itulah, tadi malam, seorang pembunuh bayaran berusaha mengeksekusiku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD