6. Amarah

1024 Words
"Biadàb!" bentakku tanpa peduli apakah tetangga terganggu atau tidak. Mendengar umpatan keluar dari bibirku, mereka memandang dengan mata terbelalak. Mungkin keduanya tak percaya bahwa seorang Sara bisa mengumpat. Terlebih lagi terhadap mereka berdua. "Kalian manusia apa bukan?" hardikku lagi, tak kuasa membendung amarah dan sakit hati. Aku bahkan tidak berusaha menahan air mata, sebagaimana yang sering kulakukan di depan orang lain karena tak mau bertingkah kurang elegan. Mereka berdua benar-benar memuakkan. Mana mungkin ada manusia yang tega berbuat seperti itu kepada orang terdekatnya? Risa sahabatku dan Yuya kekasihku? "Bínatang!" jeritku makin keras. Tak kuasa menahan marah, kuambil gelas kaca dari rak di sisi kananku dan kulempar ke dinding. Praang!!! Serpihan pecahan kaca bertaburan di lantai tatami kamar Risa. Tak puas dengan itu. Entah iblis mana yang berusaha memainkan tanganku, tanpa sadar, kuambil piring dari rak dan siap-siap kulempar ke arah mereka. Kupejamkan mata, berharap agar lemparanku lebih memuaskan, sekaligus ngeri bila melihatnya secara langsung. Namun, suara 'praang!' yang kutunggu tak kunjung terdengar. Mengapa? Apa lemparanku mengenai mereka berdua sekaligus dan langsung mati? Kubuka mata perlahan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Betapa terkejutnya aku tatkala melihat sosok bermantel hitam di depanku menangkap piring yang tadi kulempar dengan tangan kirinya. Tidak mungkin! Sedang apa dia di sini? "Tuan Fuj—" "Bodoh! Nekat sekali kamu ini!" bentak Tuan Fujisaki dengan ekspresi marah. Seperti orang tua yang menghardik anaknya setelah melakukan kesalahan yang berat. "Bagaimana kalau jatuh korban? Kamu bisa dituntut dan dipenjara!" tambahnya dengan kekesalan yang tak ditahan. Namun, di saat yang sama, aku merasa dia juga perhatian. Bagaimana tidak, saat ini dia lebih peduli tentang masa depanku daripada dirinya sendiri. Mengetahui kebodohan dan menyadari ketidakberdayaan, membuatku malu, marah dan terluka sekaligus. Serta-merta, lututku lemas seperti jelly, membuat badanku tersungkur berlutut. Wajahku tertunduk, tak tahu harus berkata apa. Hanya air mata yang semakin deras. Mengapa tidak ada hukuman untuk orang yang mengkhianati sahabatnya? Mengapa tidak ada hukuman untuk orang yang menyakiti hati kekasihnya? Mengapa tidak ada hukuman untuk orang yang ikut campur urusan orang lain? Aku menangis terus menerus, memukul lantai dapur yang berlapis 'join mat' dengan tanganku. Entah berapa lama, aku tak tahu. Aku bahkan tak mengerti mengapa tetangga yang di lantai bawah tidak marah karena suara gaduh yang kuperbuat. Aku baru bisa berhenti tatkala tangan Tuan Fujisaki menangkap kedua kepalan tanganku yang sudah mulai terasa sakit. Aku berusaha melepaskan diri. Namun, cengkeraman Tuan Fujisaki jauh lebih erat. Aku pun menyerah. Tuan Fujisaki mencoba membantu berdiri, namun aku enggan dan tidak ada tenaga, sehingga sia-sia saja usahanya. Kupikir, dia menyerah karena mendudukkanku kembali di lantai. Namun, tak disangka, dia justru mengambil sepatu boots merahku dan memakaikannya di kedua kaki. Aku, yang seharusnya menolak, entah mengapa hanya terdiam menyaksikan diri ini diperlakukan seperti seorang putri raja. Sudah lama sekali aku tidak diperlakukan seperti ini oleh seseorang. Tak berhenti sampai di situ saja. Tuan Fujisaki membuatku semakin terkejut dengan menawarkan punggungnya untuk menggendongku. Membuat hatiku menimbang-nimbang, apakah harus kuterima atau tidak? Aku menoleh ke arah Yuya dan Risa yang kini memasang ekspresi terpana dengan mulut menganga. Sudah pasti karena melihat Tuan Fujisaki yang memperlakukanku begitu baik. Membuat pilihan untuk menerima tawaran Tuan Fujisaki menjadi semakin kuat. Tak perlu menunggu lagi, aku pun segera mendekap bahunya dari belakang, dan dia pun mengangkat kakiku, kemudian berdiri. Kudengar sedikit erangan yang tertahan dari mulutnya. Apakah aku begitu berat? Apakah dia sebelumnya mengira berat badanku ringan? Eh, tidak. Mungkin karena tangan kanannya yang terluka, kan? Mengingat kondisi lukanya yang belum sembuh, seharusnya aku menolak agar dia tidak terbebani. Namun, entah mengapa, aku justru menerima saja perlakuan istimewa ini, tanpa rasa malu dan sungkan. Kurasa, saat ini, aku bukanlah diriku yang biasanya. Sebelum membuka pintu, Tuan Fujisaki menoleh ke arah Yuya dan Risa. Melihat raut muka mereka berdua, kutebak bahwa saat ini mereka tidak sedang ditatap dengan wajah yang ramah. "Kalian berhutang besar! Baik penjelasan maupun permintaan maaf!" bentaknya pelan, namun tegas. Aku memang tidak bisa melihat ekspresi wajah Tuan Fujisaki saat ini. Namun, aku bisa menebak dari gelagat kedua lawan bicaranya yang makin menciut. Pastilah wajah orang yang menggendongku saat ini sangat mengerikan. Kami pun keluar dari kompleks apato Risa dalam kebisuan. Langkah Tuan Fujisaki sangat pelan dan hati-hati, namun kokoh, tidak sempoyongan. Membuatku merasa nyaman dan tenang, karena yakin tidak akan jatuh tergelincir di jalanan bersalju. Sebenarnya aku sempat takut, mengingat Sendai adalah kota yang berbukit-bukit. Kamu tidak akan menjumpai jalanan datar kecuali di kawasan pusat kota, sekitar Sendai Eki saja. "Aku bisa jalan sendiri dari sini!" bisikku pelan, ketika kami sudah menempuh separuh perjalanan. "Sudahlah, nikmati saja! Aku masih kuat menggendongmu walaupun satu jam perjalanan lagi," jawabnya tanpa formalitas, sambil meneruskan berjalan. Sungguh lucu bila diingat. Beberapa saat yang lalu, kami masih berbicara dengan sangat canggung, penuh formalitas. Namun, semua kekakuan hilang karena peristiwa memalukan yang baru saja terjadi. Aku menjadi bertanya-tanya. Apakah dia benar-benar mengasihaniku? Atau ingin menertawakanku? Ataukah terjebak di antara kedua perasaan itu? Kami pun melanjutkan perjalanan dalam diam lagi. Entah mengapa, aku merasa hangat dan nyaman berada di balik punggungnya, padahal udara sekitar seharusnya terasa dingin. Rasa kantuk pun tiba-tiba menyerang, membuat kepalaku tersentak ke belakang. "Sara-kun!" seru Tuan Fujisaki panik. "Kalau mengantuk, bersandarlah di punggungku. Kalau tidak, kamu akan jatuh!" Kantukku hilang. Barusan dia memanggilku apa? Sara-kun? Bukankah aku tidak memasang papan nama di apato? Apakah dari Tuan Hari? Sungguh aneh karena Tuan Hari tidak menambahkan "-kun" di belakang namaku. Apakah dia terbiasa memanggil "-kun" ke semua karyawannya, termasuk wanita juga? Kurasa, ada sesuatu yang familiar dari caranya memanggilku. Namun, aku tidak berhasil mengingat apa-apa. Rasa kantuk pun kembali menyerang mata, dan aku pun tertidur, menyandarkan kepala di bahu kanannya. *** "Bukan Sarada! Namaku Sara!" bentakku kepada seorang yang mengenakan seragam SMA karena dia memanggilku Sarada. Sesuai dengan nama yang tertera di topi sekolahku. "Baiklah, Sara-chan!" balasnya mengalah. "Sara-kun! Tidak bisakah kamu melihat kalau aku anak lelaki?" bentakku lagi saat dia memanggilku dengan sebutan untuk anak perempuan. "Oke, baiklah! Sar—" *** Praaang!! Aku terbangun paksa dari tidurku, terkesiap karena suara pecahan kaca. Ada apakah gerangan? Catatan: tatami: alas lantai yang terbuat dari anyaman bambu -chan: secara umum adalah panggilan untuk anak kecil perempuan -kun: secara umum adalah panggilan untuk anak lelaki
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD