"Karena itulah, tadi malam, seorang pembunuh bayaran berusaha mengeksekusiku," lanjut Tuan Fujisaki menceritakan mengapa dia memperoleh luka di tangan kanannya. "Orang suruhan paman tak cukup hebat untuk membunuhku. Dia harus berusaha lebih keras lagi," lanjutnya sambil tersenyum sinis.
Sorot matanya menyiratkan kesedihan mendalam. Jakunnya bergerak, menelan kenyataan pahit yang dialami. Sungguh ironis hal yang dialaminya. Kekayaan dan ketampanan memang tidak pernah menjamin kebahagiaan hidup. Jauh di atas segalanya, kadang yang ingin menghancurkan kebahagiaanmu, adalah orang yang seharusnya melindungi.
Dalam hati, aku tertawa pahit. Konyolnya. Harta membuat manusia menjadi gelap mata. Mengingatkanku tentang sejarah kerajaan-kerajaan di masa lalu. Pangeran yang satu menumpahkan darah pangeran lain untuk merebut tahta dari putra mahkota. Lupa bahwa dalam diri mereka, mengalir darah yang sama.
Bila sudah demikian, apa bedanya anak manusia dengan hewan? Yang saling memperebutkan makanan dan pasangan, tanpa peduli dengan hubungan darah. Begitukah bila akal telah gagal mengendalikan nafsu manusia?
"Kehidupan yang mengenaskan, bukan?" tanya Tuan Fujisaki menutup kisahnya.
"Iya. Sangat mengenaskan," timpalku sambil tersenyum pahit. "Anda beruntung karena aku bukan teman paman anda," candaku sarkastik.
Kami berdua pun terkikik, namun tidak terlewat batas agar tidak menggangu tetangga, mengingat ini masih dini hari. Untung saja aku tinggal di apato yang masih cukup layak huni dan cukup kedap suara. Suara lantai dua tidak pernah menggangu, suara obrolan di dalam apato tidak pernah terdengar keluar asalkan semua pintu dan jendela ditutup dengan rapat. Seperti saat ini, suara tawa kami, pastinya tidak akan terdengar keluar.
Bosan memandangi benda mati, kualihkan tatapan ke arah Tuan Fujisaki yang masih tertawa menampakkan gigi-gigi putihnya yang tumbuh tak rapi, tapi tampak manis bila bukan hanya giginya saja yang dilihat. Matanya yang memang sipit, kini membentuk dua garis kecil. Cambang tipisnya menghiasi bagian bawah wajah, menambah kesan maskulin. Lebam di pelipis dan sudut bibirnya, sekarang telah berubah warna menjadi agak merah keunguan. Namun, hal itu tak membuat bibirnya yang merah muda kehilangan pesona.
Singkat cerita, aku tidak paham mengapa seorang istri, yang mencintainya, justru berpaling pada lelaki lain? Bukankah Tuan Fujisaki mempunyai semua yang diinginkan oleh wanita pada umumnya? Pria kaya raya, salah satu konglomerat terbesar di kota Sendai, dengan penampilan yang matang, gagah, dan memukau. Sebagai nilai tambah, dia pasti bukan pria lemah karena berhasil meloloskan diri dari pembunuh bayaran. Sosok suami yang sangat ideal, 'kan?
Wanita yang bisa menolak semua pesona Tuan Fujisaki pastilah wanita yang sangat cantik, hingga membuat dirinya merasa pantas untuk menjadi sangat sombong dan meninggalkan suaminya. Atau bisa jadi, paman Tuan Fujisaki adalah lelaki yang sangat hebat, jauh melebihi Tuan Fujisaki sehingga istrinya lupa dengan sang suami dan lebih memilih pamannya.
Secantik apakah mantan istrinya?
Sehebat apakah pamannya?
Entahlah.
Aku mencoba mengalihkan pikiran kepada hal lain daripada sesuatu yang nirguna dan tidak bermanfaat apa-apa untuk hidupku. Namun, sungguh ajaib. Mendengar bahwa ada permasalahan yang lebih berat dari masalahku, memang membuat merasa lebih baik.
Mungkin, bila tadi kuceritakan semua masalah padanya, dia tipe orang yang akan menyuruhku untuk segera menyelesaikan master thesis dan tidak membiarkan diri berkutat dalam kesedihan. Mainstream sekali. Aku tidak ingin dinasihati dengan cara seperti itu. Sekalipun itu adalah hal yang paling benar untuk saat ini.
"Sekarang kamu percaya, 'kan? Aku adalah seniormu dalam urusan cinta dan dikhianati," selorohnya lagi sambil menyeruput lagi kopinya.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk saja. Kulihat dari senyumannya yang sekarang, dia sepertinya sudah tidak memerlukan tambahan gula di kopinya. Mengingatkanku untuk menghabiskan matcha dalam cangkir yang pastinya sudah dingin.
Sluuurrrpp ....
Memang, tak ada minuman yang lebih nikmat daripada matcha. Beban pikiranku berkurang, seiring lenyapnya tetes terakhir matcha dari cangkir.
Normalnya, di saat terpuruk seperti ini, kami akan minum sampai teler untuk melupakan masalah. Namun, sudah lama aku tak melakukannya karena menghargai Aini, roommate-ku. Lagipula, minum berdua dengan lelaki asing bukanlah ide yang brilian. Hal-hal konyol yang tak perlu bisa terjadi di saat yang sangat tidak tepat.
"Terimakasih," ungkapku pada Tuan Fujisaki. "Setidaknya, aku tak sendirian malam ini."
Kami berdua saling menatap dan tersenyum simpul satu sama lain.
"Aku yang seharusnya berterimakasih," balasnya sebelum meneguk seluruh sisa kopi di gelasnya, seolah meminum air saja. Sepertinya ada hal yang membuatnya tiba-tiba kehausan.
"Aku ... sangat bahagia malam ini," tambahnya tersenyum kikuk. Kemudian terbatuk-batuk.
"Anda baik-baik saja?" tanyaku kebingungan.
"Te—tentu sa—ja!"
Tuan Fujisaki membuka mulut, gigi atas dan bawahnya saling mengunci dan mengeluarkan bunyi desisan udara. Seperti orang kedinginan, digosok-gosokkan juga kedua telapak tangannya satu sama lain.
"Ano ... anda ingin aku menaikkan suhu AC-nya?" tawarku padanya. "Atau kubuatkan minuman panas lagi?"
Tuan Fujisaki menggeleng dengan cepat. Menyuruhku untuk tidak melakukan apa-apa. Terheran dengan kelakuannya, namun aku menurut saja. Duduk tanpa melakukan apa pun, diam dan terlarut kembali dalam lamunanku.
"Tadinya aku berencana melewatkan malam ini dengan Yuya ...," ujarku tiba-tiba, tanpa kusadari. "Aku berniat memberikan kejutan kue strawberry yang kubuat sendiri."
Tak terasa, kucurahkan semua isi hati dan kekecewaanku atas kegagalan rencana malam ini. Kuungkapkan betapa sakit hatiku saat mengetahui alasan Yuya meninggalkanku. Air mataku mengalir begitu deras. Aku meratap, mengutuk, dan mengeluarkan semua emosi yang tadinya tertahan.
"Padahal, aku merencanakan untuk melanjutkan ke hubungan yang lebih serius. Aku ingin mengajaknya pindah ke sini," rutukku sambil terisak. "Bodoh sekali, 'kan?"
Tak terasa, sudah setengah box tisu kuhabiskan untuk menghapus cairan dari wajahku, yang tak kunjung berhenti. Kupastikan bahwa saat ini mataku sudah sangat sembap. Mukaku pasti sudah sangat merah.
Namun, Tuan Fujisaki hanya terdiam, tidak berkomentar. Hanya mengambilkan tempat sampah kecil dari sudut ruangan dan membantu membuang sampah tisu yang mulai menggunung. Bahkan, dia melakukannya tanpa sarung tangan.
Ternyata, dia begitu baik dan tidak sembarangan menghakimiku. Apalagi memaksaku untuk berpikir logis, sebagaimana yang tadi kubayangkan. Ternyata aku salah. Dia telah melakukan hal terbaik yang kubutuhkan saat ini. Menjadi pendengar yang baik serta menunjukkan perhatian kecil, yang mengingatkanku bahwa aku tidak benar-benar sendirian.
Tidak sendiri ....
Aku pun terus menangis, hingga tak tahu lagi apa yang kulakukan ....
***
*****
*******
Krrriiiiiiinggg! Kriiiiing!
Sayup-sayup, kudengar suara jam waker berbunyi. Isi kepalaku yang belum terkumpul sempurna, bertanya-tanya, mengapa aku mengeset alarm di saat yang tidak tepat. Aku masih sangat mengantuk. Kepalaku pusing bukan main, padahal bukan hangover. Tangan kananku meraba-raba, mencoba meraih jam waker di tempat aku biasa menaruhnya.
Setelah sumber bunyi tertangkap tangan, kugeser tombol off agar suasana segera damai. Mataku yang masih setengah terbuka, iseng melihat ke arah penunjuk waktu. Namun, betapa terperanjatnya diriku saat melihat jarum jam pendek dan panjangnya sama-sama menunjuk angka 12.
Haaaaaahhh!
Aku pun panik dan membuka selimut, berlari ke arah pintu lalu menggesernya dengan tergesa-gesa.
Greeeeeeettt!
Pandanganku menyapu seluruh sudut ruang tamu. Mencari sosok yang seharusnya ada di sana. Nihil. Hanya kudapati tumpukan futon yang telah dilipat dengan rapi. Di atasnya, terdapat kertas putih yang terlipat rapi.
"Tuan Fujisaki!"