NOISY CRICKET

1358 Words
Saat Tío Juan dan anak cucunya hampir menyelesaikan putaran ketiga mereka melewati bawah keranda, tak sengaja aku menangkap sesuatu yang cukup menarik. Abel, bocah kecil sepupu Vicenté dan Vasily itu sedang merengek pada ibunya dengan bahasa Korea. Aku putuskan untuk mendekat ke arah mereka. “Se-ah imo (tante). museun il-ibnikka? (ada masalah apa?)” “Ah, Gauri agassi (nona). Maaf jika Abel terlalu berisik.” “Tante jangan begitu! Gauri saja.” Aku tidak enak dipanggil seperti itu. Meski bekerja di perusahaan, tapi dia juga adik ipar Tía Nella. Yang artinya kami adalah keluarga. “Kenapa dia, Tante?” “Dari tadi dia terus merengek ingin ikut melakukan prosesi itu.” “Woah daebak! (wah keren!) Noona, neo hangug-eo jalhae (Noona, bahasa Koreamu bagus).” “Dang-yeonhaji! (Tentu saja) Aku kan juga diasuh oleh wanita Korea.” Abel mengerutkan alisnya. “Kau tak tahu nama lengkap Ibu Stevie?” Dia menggeleng. “Stefanie Lee Eun-yong.” “¿Realment? (benarkah?)” Aku hanya mengangguk meski dia mulai mencampur bahasanya lagi. “Kukira yang punya keluarga orang Korea hanya Keun-eomma (Ibu besar, begitu dia memanggil Tía Nella) dan Mama Ranchi (adik bungsu Mami yang juga tinggal di Korea).” “Dang-yeonhi aniji (tentu saja tidak).” Aku menggeleng pelan. “Aku punya unni (kakak) dan beberapa sachon unni (kakak sepupu) yang menikah dengan orang Korea. Coba lihat disana?” Dia mengangguk memperhatikan kemana saja jariku menunjuk. “Tapi, Abel. Kenapa kau ingin ikut prosesi itu?” Tanyaku mengalihkan perhatiannya. “Jongsan (nama Korea Vasily) bilang jika itu adalah penghormatan terakhir untuk Abuelo. Tapi Jong-shin Noona keburu datang dan membawanya pergi tadi, dan lagi Eomma-ku menahanku untuk tidak mengikuti mereka. Padahal aku juga ingin melakukannya untuk Abuelo, dia kakek yang baik.” Dia berbicara dengan bibir cemberut dan wajah sedih. Sebelas duabelas dengan wajah Vasily yang sedang merajuk. Aku tahu dia tulus mengatakannya. Aku tidak apa jika Abel ingin ikut brobosan. Tapi masalah utama adalah pada orangtuanya yang akan memberikan ijin atau tidak. Karena makna dari upacara brobosan tidak hanya sebuah penghormatan saja. Jadi aku memutuskan untuk memberi penjelasan singkat pada Tante Se-ah dan suaminya. Sampai akhir penjelasan, suami Tante Se-ah yang merupakan salah satu orang kepercayaan Rohan Chāchā itu tersenyum dan mengangguk paham. Dia mengatakan tak apa jika putra mereka yang berisik itu ngeyel ingin ikut brobosan. Abel fokus memperhatikan keluarga Tío Juan yang hampir menyelesaikan brobosan terakhir mereka. Dia tidak mendengar bisik-bisikku dengan orangtuanya. Dia memperhatikan dua istri sepupuku. Satu sedang menggendong bayi dan satu lagi yang sedang hamil. Wajahnya cemberut dan seperti hampir menangis. “Abel.” Kusentuh pundaknya yang lebih pendek dariku. “Bagaimana kalau aku mengajakmu ikut upacara brobosan itu? Kau masih ingin melakukannya?” Tingginya sama dengan Vasily, hanya sebatas pundakku. Jadi dia harus sedikit mendongak untuk menatapku. Dia menengok dengan cepat dan menunjukkan binar bahagia. “Jinjja? (Benarkah?)” Aku mengangguk. “Aku berjanji akan menjadi temanmu yang paling baik dan paling setia padamu, Noona.” Meski wajahnya nampak serius aku heran dengan reaksi berlebihan bocah ini, sedangkan bapak ibunya hanya memperhatikan komunikasi kami dengan senyum simpul. “Tidak, Abel. Kau tak bisa begitu.” Abel mengernyitkan alisnya. “Kau tak bisa menjadi ‘temanku yang paling baik’. Kau bukan temanku dan aku bukan temanmu.” Wajahnya berubah sedih. Aku juga tahu jika orangtuanya tengah menahan napas setelah mendengar perkataanku. “Kau adalah saudara Vasily. Jadi kau juga adalah adikku.” Lanjutku lagi dengan tersenyum padanya. Wajah Abel berbinar kembali. “Kalau begitu aku akan jadi adik yang baik sampai kapanpun.” “Kupegang kata-katamu, bung. Karena jika kau laki-laki sejati harusnya kata-katamu dapat dipercaya.” Dia mengangguk dengan wajah penuh keyakinan padaku. “Sekarang mintalah ijin pada orangtuamu dengan baik. Jangan sambil merengek!” Perintahku padanya. Akhirnya Abel ikut rombongan keluargaku untuk mengikuti upacara brobosan di bawah keranda Abuelo. Sesekali kulirik Abel yang dirangkul oleh salah satu kakak laki-lakiku, Kenneth Bhai. Wajahnya serius dan kadang sesekali bibirnya berkomat-kamit. Bahkan ketika Vicenté yang tengah memanggul keranda bertemu pandang dengannya dan memberikan tatapan geli, Abel tak menggubrisnya. Perjalanan ke pemakaman dilakukan dengan berjalan kaki karena jarak yang tak terlalu jauh, tidak sampai lima ratus meter. Apalagi yang mengangkut keranda adalah keluarga sendiri, jadi tentu tidak ada tetangga yang keberatan dan protes jika hanya untuk mengiringi perjalanan ke makam dengan berjalan kaki saja. Ada David Bhai dan Derek Bhai, dua putra kembar tertua Paman Ranjit yang menjadi kaki depan. Lalu ada Eleazar Bhai, putra Tío Jemmy, dan Gio Bhai, yang menjadi kaki belakangnya. Badan keempat orang itu tinggi dan hampir sama besar. Tidak semua keluarga ikut ke pemakaman. Tapi tetap ada banyak sekali orang sejauh mataku memandang iring-iringan menuju makam. Abel tetap mengekor rombongan keluargaku. Kini dia berjalan dengan Asuma, anak kedua Ghina Behan, dan mengapit Tobi, adik Asuma, di tengah-tengah mereka. Sedangkan aku berjalan di belakang mereka, bertiga bersama Asako (anak tertua Ghina Behan, kakak Asuma dan Tobi) juga Ella Behan, satu-satunya kakak perempuanku yang ikut ke makam. “Abel, ¿Tu enfermo? (kau sakit?) Kau diam sejak tadi? Biasanya kau sangat berisik.” Tanyaku lirih. “Aku dari tadi terus berdo’a untuk Abuelo, Noona. Memangnya kau tak melakukannya juga?” Jawab Abel polos. Aku pun terdiam dengan senyum malu karena pertanyaannya. “Sí, este pequeño es tan inteligente (Ay, pria kecil ini sangat pintar).” Ella Behan berseru sambil mengusap kepala Abel. “Gracias, señorita (Terima kasih, nona).” “Aiih, dia juga manis.” Jarang sekali aku melihat Ella Behan segemas ini pada sesuatu. “Debes ser el hijo del señor Kang no es así? (Kau pasti putra Pak Kang kan?) Sepupu Vasily?” Abel mengangguk. “Entonces deberías llamarme Behan, Ella Behan (Kalau begitu kau harus memanggilku Behan, Ella Behan).” Abel menatapku bingung. “Dia Unni-ku. Gabriella Behan. Dia lebih tua dari Victoria dan Vicenté, sekitar dua tahunan.” Kataku menjelaskan. Abel mengangguk paham seperti orang dewasa. “Behan?” Ella Behan mengangguk. “Noona aniya? (bukan Noona?)” Tanya Abel lagi. “¡No! Behan.” Jawab Ella Behan mantap. “Ok.” Abel menunjukkan ibu jari tangan kanannya pada kakakku itu. “Ok. Bagus. Sekarang lanjutlah berdo’a lagi untuk Abuelo.” Perintah Ella Behan yang langsung dituruti oleh Abel. Prosesi pemakaman berlangsung dengan cepat. Edison Bhai, putra tertua Tío Jemmy yang ikut masuk ke liang lahat mendapat kesempatan untuk mengadzani jenazah Abuelo. Tadinya Martin sempat minta ijin untuk mengadzani tapi ia tak bisa berhenti terisak, jadi ia tetap di atas dan tidak boleh ikut masuk liang. Setelah Pak Modin selesai membaca do’a, seluruh pelayat dan keluarga pergi meninggalkan kompleks pemakaman. Langit sudah menunjukkan semburat warna jingga. Mungkin beberapa menit lagi sudah masuk waktu maghrib, jadi kami semua segera bergegas agar cepat sampai rumah. Begitu memasuki gerbang aku mendengar dua bocah yang sudah tak asing lagi sedang adu mulut. Aku yang berjalan berangkulan dengan Ella Behan di belakang mereka berhenti bersamaan untuk memperhatikan kedua bocah itu. “Kenapa kau tidak mengajakku ikut serta bersamamu? Kau bahkan tak menyapaku di pemakaman tadi, Vasily.” Abel merajuk. “Aku bahkan tak tahu kalau kau ikut, Abel.” Vasily membela diri. “Aku bahkan ikut upacara brobosan bersama keluarga Gauri Noona, karena kau meninggalkanku tadi.” “Benarkah? Maafkan aku kalau begitu, Abel. Tapi aku benar-benar hampir tak bisa bergerak tadi. Kau tahu, Jongyi Noona terus menempel padaku seperti permen karet. Bahkan Jongah Noona dan Jongshin Noona seperti memandu kami semua untuk menangis berjamaah. Beruntung Jongin Hyung ikut mengangkat keranda tadi. Jadi dia bisa bebas dari tiga wanita itu.” Oceh Vasily dengan sangat cepat. “Aigoo, bulssanghan uri Jongsan (Aduh, Jongsan-ku yang malang).” Abel mengelus kepala Vasily dengan kedua tangannya yang terlihat lucu dimataku. “Baiklah kalau begitu, ayo kita segera mandi dan minta makan malam. Kau pasti lapar setelah lelah menghadapi para Noona itu.” Dengan bibir masih mengerucut Vasily mengangguk dengan patuh pada Abel. Merekapun segera masuk ke dalam rumah. Aku dan Ella Behan saling pandang lalu tertawa bersama dan mengikuti dua bocah tadi masuk ke dalam rumah. Continuara………
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD