Sepertinya aku sudah tumbuh menjadi sedikit lebih dewasa. Sakit, sedih, marah, dan seperti ada yang tengah meremas jantungku mulai kurasakan saat memasuki pekarangan yang penuh sesak dengan lautan manusia. Apakah ini adalah saat yang dimaksud Yangkung untukku mengambil sebanyak mungkin pelajaran?
Jika semua anak Abuelo-Abuela juga Yangkung-Yangti, yang selalu sepaket itu, datang semua bersama anak-cucu mereka, maka ada seratus orang lebih di rumah ini. Belum termasuk calon anggota keluarga baru yang masih berada di dalam perut ibu masing-masing. Seingatku ada beberapa kakak dan ipar yang tengah mengandung sekarang, termasuk Ninna Behan. Lalu para petinggi perusahan keluarga yang pasti juga datang. Aku tak perlu menghitungnya, karena aku sudah tahu pasti jumlah mereka semua. Ada ‘banyak’. Ditambah para tetangga yang melayat menjadi ‘semakin banyak’.
Rumah peninggalan Eyang Buyut Gatra untuk Eyang Buyut Lilin (orangtua Abuela) ini berdiri megah di atas tanah seluas dua hektar. Bergaya Joglo lawas yang sangat besar dengan halaman luar yang super luas. Hanya saja beberapa bagian sudah dialih fungsikan sesuai kebutuhan. Di halaman luar ada dua garasi yang terpisah (satu untuk mobil dan satu lagi untuk motor dan sepedah onthel), pavilliun tamu, dan pendhapa yang sekarang penuh dengan pelayat.
Saat Mas Jagad membawa mobil melewati banyak pelayat dan memarkirkannya di gedhongan samping-depan pendhapa yang digunakan sebagai garasi mobil, semua mata tertuju pada kami. Seolah tahu bahwa dua orang yang ditunggu-tunggu sudah datang.
Aku mengenali beberapa wajah tetangga disana, selebihnya tampak asing karena mereka memang kebanyakan orang asing. Aku yakin mereka adalah para petinggi anak perusahaan dari berbagai negara yang datang untuk memberi penghormatan terakhirnya. Ada yang masih sangat muda, tua, pria bahkan wanita. Tentu mereka datang untuk menghadiri upacara perpisahan dengan salah satu pendiri perusahaan tempat mereka bekerja. Aku sangat yakin sebagian besar dari mereka juga merupakan anak asuh Abuelo, Yangkung, atau Paman-Bibiku yang lain. Yah, menurutku Abuelo pantas mendapatkan penghormatan seperti ini.
Renji keluar mobil terlebih dahulu dan memberi isyarat kami untuk mengikutinya melewati seketheng lor (seketheng : tembok pembatas halaman luar dan halaman dalam, lor : utara).
“Kalian berdua masuk saja. Biar bawaan kalian Mas sama Ningrum yang bawa masuk.” Kata Mas Jagad sebelum aku dan Martin membuka pintu mobil.
Aku mengangguk sambil tersenyum padanya. “Terima kasih, Mas.” Aku memberi isyarat Martin untuk segera keluar dari mobil dan menuju ke dalam rumah melewati pintu seketheng lor yang tadi dilewati Renji.
“Dia baik-baik saja, Mami Rishi. Tapi biarkan mereka bersih-bersih dan ganti pakaian dulu sebelum menemui Abuelo.” Aku mendengar Renji sedang berbicara pada ibuku saat aku hampir melewati pintu seketheng lor menuju halaman dalam.
Saat aku sudah masuk ke halaman dalam, aku melihat Mami dan yang lainnya ada disana. Mereka menatap kearahku dan Martin dengan raut wajah harap-harap cemas. Suasana menjadi sedikit tegang karena tiba-tiba mereka semua seperti membeku, bahkan beberapa yang sedang membaca ayat suci Al-Qur’an menjeda bacaan mereka untuk melihat kearah darimana kami bertiga datang. Aku tahu betul bahwa akulah yang paling mereka khawatirkan. Aku tersenyum dan seketika ketegangan di wajah mereka sedikit melembut menjadi penuh haru. Sebagian, mata mereka sembab.
Mami menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Aku akan bersih-bersih dulu, Mami.” Tanpa bersalaman pada siapapun kami bertiga masuk kedalam bangunan utama rumah lewat pintu samping yang lebih dekat dengan kamarku. Begitulah aturannya, tak boleh bersentuhan dengan orang dirumah sebelum menyentuh air saat kami baru tiba dari luar rumah. Aku menuju kamarku dan Renji membawa Martin ke kamar lain.
Kamarku ternyata tak kosong. Dua bocah laki-laki tidur dengan posisi tengkurap yang aneh diatas tempat tidurku dan seorang lagi duduk di window seat. Dia baru saja memutus sambungan telponnya saat aku membuka pintu. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
Aku tersenyum terlebih dahulu padanya, lalu ia balas dengan memberi senyum yang menenangkan. Aku segera masuk ke kamar mandi untuk mencuci tangan, kaki dan muka, kegiatan yang biasanya kulakukan di halaman luar dan bukannya setelah masuk ke halaman dalam. Saat aku keluar dari kamar mandi, sosok yang duduk di window seat itu segera berdiri dan mendekat kearahku lalu ia mendekapku dengan erat. Diciumnya puncak kepalaku seperti yang dilakukan Renji tadi saat menjemputku. Kutepuk pelan punggungnya.
Vicenté. Dia putra Tía Nella, adik bungsu Papi dan satu-satunya putri yang dimiliki Abuelo dan Abuela. Usianya delapan belas tahun ini, dan dia baru lulus dari salah satu SMA Seni paling bergengsi di Korea Selatan awal tahun ini. Di tahun ini juga, dia debut menjadi salah satu anggota idol group dari salah satu perusahan entertainment terbesar di sana.
“Kau datang? Bukankah kau baru saja dabut? Perusahaan memberimu ijin semudah itu?” Tanyaku bertubi setelah melepas pelukan dengannya.
“Kau bercanda?!?” Dia menatapku tak percaya.
Aku terkekeh. “Kapan kau datang?” Tanyaku lagi.
“Kemarin sore, bersama dua bocah itu dan Se-ah imo.” Vicenté menunjuk ke arah tempat tidur dengan dagunya. “Aku mengurus ijinku pada perusahaan dan Se-ah imo yang mengurus ijin dua bocah itu untuk beberapa hari, mungkin beberapa minggu kedepan.”
“Itu Vasily dan putra Se-ah imo?” Tanyaku.
Vicenté mengangguk. “Putra keduanya. Abel. Ares, kakaknya, dia ikut menyiapkan bunga untuk Abuelo sepertinya tadi.”
Salah satu bocah bangun dan menatapku dengan muka bantalnya yang menggemaskan. Akupun duduk di sebelahnya, kupeluk dan kuciumi dia dengan gemas.
“Emmm Gori…” Ucap Vasily dengan malas.
“Enak saja, siapa yang kau panggil Gori hah? Panggil aku dengan benar, bocah!” perintahku dengan galak. Vicenté terkekeh dan ikut duduk di tempat tidur. Sedang bocah yang satu lagi ikut terbangun dengan wajah yang tak kalah kucel dari Vasily.
"¿Por qué solo él el que recibió besos? Yo también quiero besos (Kenapa cuma dia yang dapat ciuman? Aku juga mau dicium).” Abel mengoceh dengan bahasa Spanyol yang fasih.
Baiklah tiga bocah laki-laki Korea dengan Bahasa Spanyol. Tak terlalu buruk.
Lalu dengan jailnya Vicenté mencium bocah itu yang menunjukkan penolakan.
“Hyung-eun ¡no tú! (Bukan kau, Hyung!)” Yak dan sekarang dia mencampur bahasanya.
Aku juga menjadi sangat gemas pada bocah itu dan aku pun menuruti keinginanya dengan memberi dia ciuman pipi yang sama seperti Vasily tadi. Abel memilik mata sayu dan dagu sedikit gugut yang membuatnya tampak menawan. Tapi ketika dia mulai tersenyum senang setelah mendapat ciuman di pipi, perasaanku mengatakan bahwa pasti dia bukan anak tenang dan cinta damai. Dia partner of crime-nya Vasily, aku yakin itu. Senyumannya tampak jail dan jenaka.
“Kau hanya sembilan bulan lahir lebih awal dariku. Aku tak akan memanggilmu Kakak, Noona, ataupun Behan.” Vasily berbicara dengan ekspresi cemberut yang membuatnya tampak imut.
“Apa?!?” Abel berseru kaget. “Kita seumuran? Kenapa kau menciumku tadi?”
“Kau yang memintanya, bocah!” Jawabku kesal sambil mengacak rambutnya.
“Tapi kukira kau orang dewasa seperti Vicenté Hyung.” Tampangnya yang merajuk membuat rasa kesal dan gemasku menjadi berimbang.
“Dengar, Vasily!” Kualihkan perhatianku pada Vasily. “Secara teknis kita lahir di tahun yang berbeda. Kau baru masuk SMP tahun ini, sedang aku sudah lulus dari SMP.” Wajah Vasily makin cemberut.
“Woooh daebak! (woah keren!) Kalau begitu aku akan memanggilmu Gori Noona.” Putus Abel.
“Todavía..... (tetap saja.....)” Rengek Vasily.
“¿Qué? (Apa?) Bahkan aku yakin tinggimu saja tak lebih diatas daguku sekarang.” Kupotong ucapan Vasily agar dia makin kesal. “Dan kau,” aku menunjuk Abel. “Gauri. Bukan Gori.”
Melihat interaksi kami bertiga, Vicenté hanya tersenyum sendu dan sesekali terkikik.
“Baiklah, Gauri Noona.” Abel mengangguk paham. “Tapi kenapa kau bawa-bawa masalah tinggi badan? Kami kan masih dalam masa pertumbuhan. Itu tidak relevan jika dimasukkan dalam pembicaraan ini.” Wajah Abel menunjukkan ekspresi serius.
Yang benar saja! Bocah ini berbicara seperti orang dewasa. Aku dan Vicenté saling pandang dan kami tertawa geli dibuatnya.
Vasily berdiri dan melangkah turun dari atas tempat tidur. “Whatever! (Terserah!)” Dia berjalan ke kamar mandi, bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka.
Tía Nella melangkah masuk. “Niños, cepat bersiap. Abuelo akan segera dimandikan. Vicenté kau ikutlah bersiap dengan para sepupu dan pamanmu yang akan memandikan.” Yang mendapat perintah segera bergegas meninggalkan kamar. “Mana Vasily, sayang?” Tanya Tía Nella pada Abel.
“Hwajangsil (kamar mandi).” Jawab Abel cepat.
“Jika kalian berdua sudah selesai bersih-bersih, cepat ikut yang lain berdo’a di depan ya!” Abel mengangguk patuh lalu bergegas masuk kamar mandi, menyusul Vasily. “Dan kau sayang,” Tía Nella beralih kepadaku. “Kau baik-baik saja kan, Gauri sayang?” Tanyanya dengan mata mulai berkaca kembali di wajahnya yang masih sedikit sembab.
“Akulah yang harusnya bertanya seperti itu, Tía. Tía baik-baik saja kan? Papi Tía-lah yang telah berpulang.” Kuusap air mata di pipinya yang mulai mengalir.
Dia mencium telapak tanganku dan tersenyum. “Iya dia Papiku tapi kaulah yang selalu berada dibawah ketiaknya hampir sepanjang waktu.”
Aku terkekeh pelan. “Aku sedih, Tía. Tapi Abuelo bukan milikku. Pemiliknya sudah memanggilnya pulang. Jadi yang bisa kulakukan hanya mengantarnya dengan senyum dan do’a agar jalan Abuelo tidak terhambat.” Kuberikan senyum terbaikku agar Tía Nella tenang.
“Masya Allah, kau sudah benar-benar dewasa, nak. Papiku membesarkanmu dengan sangat baik.” Air matanya semakin deras tapi wajahnya tersenyum. Dia memeluk dan menciumiku dengan sayang. “Sekarang temui Abuelo-mu sebelum dimandikan. Martin sepertinya sudah menunggumu di luar.” Ucapnya tepat saat pintu kamarku terbuka. Martin melongokkan kepalanya.
Aku dan Martin melihat jenazah Abuelo dengan penuh haru. Mataku berkaca-kaca tapi aku tidak menangis, malah Martinlah yang terisak pelan di sebelahku.
Jenazah Abuelo dibaringkan di tengah ruangan yang disebut pringgitan, tapi ruangan itu sudah dialih fungsikan menjadi ruang tamu sejak lama. Sejauh mataku memandang, dalam ruangan ini hanya berisi anak-cucu-cicit Abuelo yang tengah melantunkan ayat suci Al-Qur’an, pelayat hanya sampai di pendhapa yang menyambung dengan pringgitan. Abuela yang duduk di dekat kepala Abuelo tengah melantunkan ayat suci sambil menatapku dan Martin dengan senyum. Wajahnya benar-benar menenangkan.
Aku mencium punggung tangan Abuelo yang dingin dengan khidmat, lalu menempelkannya pada dahi sebentar sebelum kuciumi wajahnya yang sudah tak merona lagi. Martin melakukan hal yang sama setelahku. Baru setelahnya kami menyalami dan menyapa seluruh saudara satu persatu, dimulai dari Abuela, Yangti-Yangkung, baru ke yang lainnya.
Prosesi dilakukan dengan sangat cepat, mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan, hingga sambutan keluarga dan do’a yang dilakukan oleh Modin. Sebenarnya aku menyayangkan dan kasihan karena harusnya jenazah Abuelo di urus lebih awal, tapi aku benar-benar berterimakasih karena mereka semua menunggu kepulanganku. Agar aku bisa melihat Abuelo untuk terakhir kalinya.
Setelah do’a selesai, Abuela meminta seluruh anak cucunya untuk melakukan upacara brobosan. Dimulai dari Tío Juan sekeluarga, Papi-Mami dan kami sekeluarga, Paman Ranjit sekeluarga, Tío Jemmy dan Radha Chāchī sekeluarga, Tío Luis sekeluarga, Rohan Chāchā sekeluarga, Tía Nella sekeluarga, dan yang paling akhir adalah keluarga Ranchi Chāchī. Masing-masing akan melakukan brobosan sebanyak tiga kali di bawah keranda.
Untuk yang mengangkat keranda? Tentu saja bergantian. Kami semua lebih dari cukup untuk melakukan itu. Bahkan Martin juga dapat giliran. Semua laki-laki dewasa dapat giliran. Jika selama brobosan tidak ganti orang, punggung mereka bisa patah. Jumlah kami ada seratus lebih.
Continuara………