TWO NOISY CRICKETS

1749 Words
Selepas isya’, para tetangga berdatangan untuk ikut acara tahlilan yang dilangsungkan di pendhapa dan sebagian halaman luar. Ramai, tentu saja. Menjelang pukul sembilan barulah suasana menjadi sedikit lebih sepi setelah orang-orang bubar. Para eksekutif perusahaan yang datang dari luar daerah dan luar negeri menginap di Resort yang dikelola Paman Ranjit. Lokasinya tak jauh dari rumah, tak lebih dari lima kilo. Sedangkan, seluruh keluarga dan beberapa kerabat dekat ditampung di seluruh bagian keprabon Abuela. Ada tempat yang disebut gandhok, yang bahkan lebih dari cukup untuk menampung seratus orang dewasa. Lokasinya ada di kiri-kanan bangunan utama dan dipisahkan oleh taman-taman kecil di halaman dalam. Jendela kamarku, yang berada di bangunan utama, menghadap ke salah satu gandhok dimana keluarga Tante Se-ah menginap. Aku membukanya lebar malam ini, karena beberapa saudaraku menggunakan sisi luar jendela kamar untuk berkumpul dan bercengkerama. Kenneth, Vicenté, Joshua, Renji, Marshall, Martin, dan masih banyak lagi. Ada yang mengobrol, bermain game di ponsel, dan ada juga yang asik menanggapi cerita bocah-bocah kecil yang tak mau ketinggalan ikut berkumpul. Tinggal menunggu waktu saja sampai ibu mereka berteriak dan menyeret mereka untuk pergi tidur. Sedang di kamarku ada Ella Behan, Katherine, Asako, dan lima orang lain yang baru saja masuk. Jade Behan dan Janice (putri Tío Jemmy), Reina (putri bungsu Rohan Chāchā), lalu ada dua cucu Tío Juan yang ikut nyempil juga, Clara dan Chrissie. Kalian pikir kamarku akan penuh sesak? Oh tidak, kamarku masih cukup luas meski kami bersembilan tidur bersama di dalamnya. Ketika aku mengira para gadis yang lebih muda akan membiarkan kami tidur di atas dan mereka akan mengobrol sepanjang malam sambil tidur di atas karpet, ternyata dugaanku salah. Dengan dipimpin Ella Behan dan Jade Behan, mereka bergotong royong membagi kasurku, yang terdiri dari tiga lapis springbed queen-size, menjadi tiga bagian sama rendah dan saling menempel. Jadilah kami semua bisa tidur di atas kasur. “Kalian, lima bocah kecil, jangan coba-coba untuk mengobrol sepanjang malam. Kalau tidak, kalian akan kuantar pada ibu kalian masing-masing.” Jade Behan bertitah dengan galak begitu tempat tidur sudah tertata rapi. Lima bocah yang dimaksud adalah adiknya sendiri (Janice), Reina, Clara, Chrissie, dan Asako yang sekarang malah terkikik. “Aku juga!?” Janice bertanya, tak percaya dengan perkataan kakaknya barusan. “Ya. Kau juga.” Jawab Jade cepat hingga membuat yang lain tertawa. “Ayolah, Tía! Tía Gauri hanya setahun lebih tua dariku dan Chrissie.” Sahut Clara. “Ini kamar Gauri, Clara. Jadi aku akan bersikap manis padanya.” Tawa makin kencang karena Jade Behan menjawab sambil tersenyum ke arahku. Aku dan Vicenté yang duduk di masing-masing sudut window seat, juga ikut tertawa. “Tadi sore aku mendengar perkataan yang mirip dari Vasily.” Orang yang sedang kubicarakan melirik ke arahku dari sisi luar jendela. Kau hanya sembilan bulan lahir lebih awal dariku. Aku tak akan memanggilmu Kakak, Noona, ataupun Behan.’” Aku menirukan ucapan Vasily dan bagaimana cara dia mengatakannya, lengkap dengan bibir yang mengerucut khas miliknya. Tawa pecah lagi, bahkan dari arah luar jendela, sedangkan orang yang kubicarakan menatapku dengan matanya yang makin menyipit. Kami terus bertukar cerita dan saling bercanda. Tapi aku lebih memilih untuk menjadi pendengar saja kali ini dan menyibukkan diri dengan laptop di pangkuanku. Aku dengar Katherine mulai berpacaran dengan Vicenté sejak dua bulan lalu. Firasatku buruk untuk itu, tapi biarlah. Mereka yang menjalani dan mereka yang akan bertanggung jawab untuk perasaan mereka masing-masing di masa depan. Aku sedang memeriksa e-mail pendaftaranku ke DAIS. Ternyata sudah dapat balasan. Disana mengatakan aku harus melakukan daftar ulang sebelum tahun baru, karena aku adalah peserta akselerasi dan masuk kesana dengan jalur khusus. Artinya aku harus segera ke Mumbai. Lebih tepatnya sebelum Natal semuanya harus sudah selesai. “Behan-ji.” Panggilku pada Ella Behan dengan sopan. Dia mengangkat kepalanya dari atas buku yang sedang ia baca untuk menatapku. “Senin aku harus daftar ulang ke DAIS agar saat tujuh hari Abuelo aku sudah disini lagi. Bisakah kau mengantarku?” Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, kakakku itu sudah mengambil tabletnya yang ia taruh di nakas. Ia memeriksa jadwalnya. “Ok, kita pergi.” Tak menunggu lama dia sudah memberi jawaban. Dia meletakkan tabletnya dan ganti mengambil ponsel. Memencet bebera tombol dan memberikannya padaku. “Minta juga dia untuk ikut dan memesankan tiket untuk kita!” Perintahnya padaku. "Kita akan butuh sopir dan pengawal disana nanti, sayang." Tambahnya sambil tersenyum. Ponselnya sudah ditanganku dan nama Gio Bhai ada disana. Aku segera menempelkannya ke telinga. “Hmm?” Sahut suara di seberang. Suara kakak laki-lakiku terdengar dalam dan tenang seperti biasanya. “Gio Bhai, Senin aku harus daftar ulang di DAIS. Antar aku ya?” Tanpa berfikir dia mengiyakan. “Pesankan juga tiketnya, ya?” “Berikan saja pasport kalian besok padaku. Sekarang aku mau bersantai.” Jawabnya datar. “Kalian?” Tanyaku tak paham. “Kau meneleponku dengan ponsel Ella. Pasti dia juga yang memintamu untuk memaksaku ikut, kan?” Sontak aku tertawa. “Te quiero, Bhai-ji. Duerme apretado. (Aku sayang kau, Bhai. Selamat tidur.)” Sambungan terputus. “Hecho (selesai).” Aku mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik. Disaat bersamaan Renji muncul dari arah jendela. “Kalian akan ke Mumbai? Aku ikut ya, daripada aku kesana sendirian. Aku butuh beberapa buku dari perpustakaan Universitas Mumbai.” Vasily ikut memenuhi jendela. “Biarkan aku ikut juga, Ella Behan. Nanti aku bisa mati bosan disini bersama para orang dewasa jika kalian semua pergi ke Mumbai.” rengeknya dengan memelas. “Ajak aku juga ya? Ya? Ya?” “Jongsan-ah! Naneun eottae? (Jongsan! Bagaimana denganku?)” Abel tak mau tertinggal. ‘Apa yang bocah-bocah ini bicarakan!?’ Batinku sambil menatap mereka bertiga yang menyumpal di jendela kamarku. Menggangguku dan Vicenté yang duduk di tiap sudut window seat sejak tadi. “Vasily! Apa kau pikir Gio Bhai dan Ella Behan adalah teman sepermainanmu?” “Dang-yeonhi aniji (tentu saja bukan). Kaulah yang seumuran denganku.” Jawab Vasily dengan wajah meringis ke arahku. “Tapi. Aku berada di level yang berbeda denganmu, Adik.” Aku berkata dengan percaya diri sambil mengusap rambut Vasily yang mulai duduk menjuntaikan salah satu kakinya ke arah luar jendela kamarku dan bersandar pada tubuh kakaknya, Vicenté. Tak pelak bibirnya semakin mancung karena cemberut. Seketika aku sadar, aku sudah mendaftarkan diri menjadi pusat perhatian dengan beradu mulut dengan bocah ngambekan ini. Mereka semua terkikik geli melihat interaksi kami berdua. “Hei kalian berdua, hentikan!” Ella Behan menengahi. “Begini,” perasaanku mulai tak enak melihatnya membuka mulut, “Giovanni Bhai-ji bilang untuk mengumpulkan pasport besok, untuk memesan tiket. Lakukan yang dia perintahkan dan kita akan berangkat bersama-sama nanti.” Lanjutnya dengan suara lembut dan senyum yang tampak mengerikan dimataku. Hingga rahangku rasanya jatuh menyentuh paha yang tengah duduk bersila. ‘Apa dia pikir ini acara tamasya keluarga?’ Batinku kesal pada Ella Behan. Vasily dan Abel bersorak girang dan yang lain ikut tertawa. Aku? Kepalaku menjadi pening seketika. Aku pun pasrah dengan keputusan itu. Hari sudah semakin larut tapi suasana di luar jendela kamarku masih sangat ramai. Tepat pukul sepuluh Tante Se-ah datang, mengajak Abel dan Vasily untuk segera tidur. Tapi.... “Adios (bye), Abel. Kau tidurlah dulu. Aku akan melek sedikit lebih lama malam ini. Aku akan tidur agak nanti. Jangan lupa cuci kakimu, ya.” Suara Vasily penuh profokasi untuk Abel. Dia tahu kalau saat ini ibunya tidak akan menyeretnya ke tempat tidur, karena Tía Nella akan tidur bersama Abuela. “Tidak ada nanti. Sekarang juga kau akan tidur di kamar bersama Abel, Vasily. Cepat kemari?” Perintah Tante Se-ah galak. “Eomma kenapa hanya aku dan Vasily yang harus tidur? Bagaimana dengan Hyung?” Tanya Abel. “Memangnya kau, yang suka sekali berkeliaran, Hyung-mu sudah tidur sejak sore tadi.” Abel clingukan mencari keberadaan kakaknya. “Ehehehe, benar juga. Dia tidak ada disini.” “Vasily, ayo cepat kemari!” Panggil Tante Se-ah mulai kesal. “Atau kau mau tidur bersama para Noona-mu?” Vasily segera melompat menjauhi jendela kamarku saat melihat kakak tertuanya berjalan melewati pintu seketheng lor, bergerombol dengan beberapa saudara lain. “Aku akan tidur bersama Abel.” Tentu saja, kelakuan Vasily itu mengundang tawa semua orang, termasuk aku. Dia lari terbirit-b***t dan segera menggandeng tangan tantenya hanya karena ingin menghindari sang kakak. “Kenapa dia?” Tanya Violeta pada sang adik, Vicenté, yang masih berusaha menghentikan tawanya. Hingga dia hanya menggedikkan bahu dan menggeleng sebagai jawaban. Pandanganku tertuju pada Tante Se-ah. Secara tiba-tiba langkahnya dibuat berhenti oleh dua bocah yang ia gandeng. Tatapan mereka bertiga tertuju ke arah pintu seketheng lor. “Ryosuke Nii-sama.” Dua sepupu itu membungkuk dan menyapa dengan hormat seseorang yang tidak bisa kulihat dari tempatku duduk sekarang. 'Kenapa lagi mereka?' batinku. Jika memang benar ‘dia’ orang yang disapa dua bocah itu, maka mereka, yang duduk-duduk di luar jendela kamarku, berada dalam masalah. “Apa Dustin tidak bisa tidur? Harusnya dia sudah tidur dari tadi, ini kan sudah malam.” Vasily mulai mengoceh dengan suara yang manis. “Ah, pasti karena disini terlalu berisik ya.” Abel ikut menimpali. “Maafkan kami, Nii-sama. Tadi aku juga bersama mereka. Tapi tenang saja, sekarang aku akan pergi tidur bersama Vasily. Jadi mungkin mereka tak akan seramai tadi.” Abel benar-benar mengagumkan. Dia memilih diksi yang sangat persuasif, meski aku masih belum bisa melihat raut wajah Ryosuke Nii-san. “Benar, Nii-sama. Sebenarnya aku juga ingin meminta mereka semua untuk tidur, tapi aku kan masih kecil. Jadi mereka pasti tak akan mendengarkan kata-kataku.” Dan Vasily memperparahnya. Dia makin tampak seperti aktor drama yang tengah mempersiapkan tragedi untuk para saudaranya. 'Tontonan yang akan menarik', pikirku. Seketika semua orang mulai mengunci mulut mereka dan memperhatikan pintu seketheng lor dengan saksama. Saat seorang laki-laki tinggi besar yang tengah menggendong balita laki-laki terlihat melewati pintu, semua orang bergegas membubarkan diri sambil menutupi mulut mereka agar suara tawa tidak keluar dari sana. Hanya suara berisik dari langkah kaki mereka yang terbirit-b***t saja yang terdengar. Mereka semua seperti mendengar aba-aba, ‘Bubar Jalan!!! Dengan tidak bersuara!!! Karena aku hafal suara kalian semua.’ Aku benar-benar suka suasana grasak-grusuk tanpa suara ini. Tidak hanya aku yang tertawa terpingkal tanpa suara. Abel dan Vasily juga tampak sama puasnya denganku saat melihat mereka yang lari tunggang langgang. Mereka berdua tertawa tanpa suara sambil memukul-mukul paha mereka. Akhirnya aku bisa menutup rapat jendela kamarku lebih awal dan tidur dengan nyaman. “Mereka semua sudah bubar?” Tanya Jade Behan yang terbangun dari tidurnya. Aku yang baru selesai menutup jendela hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Hebat sekali orang yang membuat mereka bubar secepat ini.” Katanya lagi sambil melihat jam di dinding. “Ryosuke Nii-san kan memang ahli dalam hal seperti itu.” Kataku. “Aaaah…. Aku tak jadi heran kalau begitu. Sekarang tidurlah dan besok temani aku lari pagi.” Kumasukkan laptop yang sudah mati ke dalam laci window seat dan segera pergi tidur. Ini hari yang panjang. Banyak hal terjadi dan rasanya aku ingin menangis. Tapi tak bisa. Continuara………
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD