19. Bibir Tipis

1127 Words
i********:: gorjesso Happy Reading.. "Tidak diangkat?" Tanya pengacara Han yang melihat Aiden hanya mengabaikan sebuah panggilan telepon dari Jessica. "Sebaiknya tidak. Aku rasa itu akan lebih baik untuknya." Jawab Aiden. Terlihat tidak peduli. Tetapi matanya tidak bisa membohongi, Aiden malah terus memandangi layar ponselnya yang tertera nama Jessica. Namun Aiden hanya berpikir, Jessica tak perlu tahu dimana dan bagaimana ia sekarang. Karena dengan begini mungkin bisa menjadi suatu latihan sendiri bagi Aiden bila nantinya misi ini berhasil namun mengharuskan Jessica akan membencinya nanti. Maka dengan itu Aiden tak perlu bersusah payah lagi untuk beradaptasi hidup tanpa melihat gadis itu. Yah..begitu. "Biar ku tebak. Apa kau tidak memberitahunya bila kau akan pergi?" Tanya pengacara Han. "Ne. Tadinya aku berniat memberitahu semuanya pada Jessica. Tepati saat aku hendak pergi, keadaan kami sedang bertengkar, dan ia juga menolak berbicara padaku saat itu." "Oh...seharusnya aku memberimu waktu saat itu. dan bukannya memaksamu untuk cepat datang." Ucap Pengcara Han menyesal. "Yah seharusnya memang begitu." Sahut Aiden santai walau hatinya terasa perih bila mengingat hari itu. hari dimana Jessica menolak berbicara dengannya. Tapi tadi hatinya sempat membuncah ketika ia melihat nama Jessica tengah menghubunginya. Sepertinya gadis itu mulai menyadari ia pergi dari rumah. "Mianhe.." Ucap pengacara Han meminta maaf. "Gwenchana, ahjuhssi...dengan begini malah lebih baik." "Tidak, tidak..kau tetap harus memberitahunya. Keadaan tidak akan lebih baik jika kau tidak memberitahunya." Setelah berpikir tentang usulan pengacara Han agar baginya untuk memberitahu Jessica. Akhirnya Aiden memutuskan untuk melakukannya. Dan cara terbaik yang terpikirkan olehnya adalah menulis sebuah surat untuk gadis itu. Sebuah tulisan pengakuan yang pasti akan membuat semuanya tidak akan lebih baik. Pikir Aiden. Disela-sela ia menulis surat itu, bibirnya tersungging miris. Seolah tiap huruf yang ia gunakan dalam tulisan itu terasa seperti pisau yang begitu mengiris hatinya. Dan berkali-kali pula ia salah menulis sehingga membuat tong sampah yang berada disebelah meja kerja pengacara Han kini penuh oleh kertas berisi tulisannya. Lalu setelah ia berhasil menyelesaikan 'pekerjaan berat' ini. Aiden segera meraih sebuah amplop berwarna biru muda dan memasukkan surat tulisannya kedalamnya. Dipandanginya nanar amplop itu. seperti tengah berbicara pada surat itu bahwa Aiden ingin amplop dan surat ini dapat menyampaikan dengan baik maksud hatinya. Menjelaskan dengan baik bahwa ada makna tersirat yang Aiden tulis disana yang berkata bahwa Aiden begitu mencintai gadis itu terlepas dari apa yang sebenarnya terjadi disekeliling mereka. Tanpa terasa airmata sudah terbendung dipelupuk matanya. Cepat-cepat ia mengusap matanya yang terasa basah lalu terkekeh geli pada dirinya sendiri. Namun wajahnya sekeja kembali sayu dan serius. Perlahan dikecupnya amplop itu. Aku mencintaimu, Jessica. Ucapnya dalam hati. =flowered= Ada yang salah disini. Dia sudah pergi terlalu lama. Dan kau mengkhawatirkannya, Jessica? Atau kau merindukannya? Batinnya berkecambuk. Ia mengehela nafas gusar untuk yang kesekian kalinya. Apapun yang dilakukannya 2 hari ini tak bisa mengalihkan fokusnya pada Aiden. Sejak kemarin ia menghubungi pria itu. Tetapi tak satupun diangkat oleh pria itu. Ia lantas bangkit dari sofa saat mendengar bel kotak surat didepan rumahnya berbunyi. "Siapa yang mengirim surat?" Gumam Jessica memandang sepucuk surat berwarna biru ditangannya. Kini ia duduk diranjang dan bersiap membaca surat itu. Namun belum sempat ia membacanya, kini suara bel rumahnya yang berbunyi. Surat itu pun diletakkannya sembarang diatas ranjang. Dan karena gerakan Jessica yang tergesa-gesa, tanpa ia sadari surat itu jatuh dan masuk kedalam kolong tempat tidurnya itu. "Kris." "Hi." Sapa Kris dengan tersenyum cerah pada Jessica. "Aigoo..kenapa tidak memberitahu dahulu jika akan datang.." Ujar Jessica. "Memangnya harus selalu begitu?" Balas Kris. Lalu dua bola matanya terlihat menyapu kedalam rumah Jessica yang terlihat sepi. "Kau sendirian dirumah?" Tanya Kris. Jessica nampak bingung untuk menjawabnya. "Ah..nde...Aiden pergi beberapa waktu yang lalu." Jawabnya ragu. "Oh, gurrae?" Ini waktu yang bagus. Batin Kris. "Aku ingin pergi bermain, apa kau ingin ikut?" Tanya Kris menwarakan pada Jessica. "Oh..itu terdengar seperti ajakan kencan." Ujar Jessica. "Hahaha...anggap saja begitu nona manis." Kini tangan Jessica bertaut dengan tangan Kris yang masih saja terasa hangat untuknya. Bukankah hatinya kembali terasa naif? Kenapa ia masih saja tak bisa memilih 2 sentuhan dari 2 pria yang mungin mencintainya? Entahlah...kesimpulanya tersasa menggelikan untuk saat ini. Mengingat Aiden bahkan tak menghubunginya sedikitpun 2 hari ini dan entah pergi kemana, ia pun tak tahu. Jadi yang bisa Jessica pastikan saat ini mengenai ciuman yang terkadang dilakukan pria itu padanya hanya sebatas ungkapan sayang. Sayang sebagai teman, sahabat, atau keluarga, mungkin? Walau itu mustahil dilakukan oleh seorang pria bila menggunakan alasan diatas. Jessica menghebuskan nafasnya kasar. Disaat ia berkencan dengan Kris. Bayangan tentang Aiden malah berputar-putar didalam kepalanya. Keterlaluan sekali. Dan terkutuklah ia karena ia malah mengizinkan bayangan Aiden untuk terus berputar disana, memutar memory kebersamaannya dengan Aiden. FLASHBACK Pagi ini udara cukup segar berhembus menemani Aiden, Jessica, dan Doggie—anjing putih Jessica—berjalan-jalan disebuah taman terdekat dilingkungan rumah Jessica. Dedaunan hijau bergerak mengikuti arah angin yang menyapu mereka. Hanya ada beberapa orang yang ada ditaman itu. Mengingat lingkungan rumah Jessica memang jarang penduduk. Jarak antar satu rumah saja harus dihitung dengan satuan MIL. Usai lelah bermain lepar tongkat bersama Doggie yang dengan semangat meraih tongkat yang dilemparkan Aiden dan Jessica. Mereka memutuskan membeli ice cream yang ada disebuah mini market terdekat dengan taman itu. Lalu mereka kembali ke taman itu dan memutuskan menghabiskan ice cream digenggaman mereka disebuah kursi ditaman itu. Mereka duduk bersebelahan dan menikmati ice cream itu dalam diam. Namun Aiden beberapa kali mencuri pandang pada Jessica. Satu yang menjadi favoritnya kini adalah memandangi Jessica ketika gadis itu melahap ice cream terlihat manis seperti ice cream yang dilahap gadis itu. Jadi ia putuskan untuk bersandar pada kursi karena dengan begini ia dapat dengan puas melihat Jessica tanpa harus mencuri pandang kearah gadis yang terlihat cuek dengan ice creamnya. "Uwah...mashitta..." Gumam gadis itu. Membuat seorang pria yang duduk disebelahnya tersenyum. "Tapi kau seperti anak kecil." Cetus Aiden. Jessica langsung menoleh padanya dengan alis bertaut. "Wae?" "Bibirmu." Ujar Aiden. "Bibirku?" "Iya, bibirmu." "Yak! Katakan dengan jelas, Aiden!" Seru Jessica kesal yang tak mengerti maksud Aiden. "Eish.." Dengan lembut kini ibu jari Aiden mengelap noda ice crem disekitar bibir tipis Jessica. Dan hal itu begitu berefek bagi sipemilik bibir itu. Tubuhnya menegang seperti dialiri aliran listrik berkekuatan kecil tapi sangat banyak jumlahnya. Seperti digelitik. Lalu kembali pada Aiden yang masih betah menggusap bibir tipis Jessica walau dilihatnya dengan jelas, sudah tak ada noda ice cream lagi disana. Tetapi pria ini hanya mengikuti kata hatinya saja. Mengusap bibir tipis yang begitu manis ketika menyunggingkan senyum. Begitu ketus ketika memarahinya. Dan begitu perih ketika melihat bibir itu bergetar karena menahan tangis. Perlahan tapi pasti, jarak wajahnya dengan wajah Jessica kini terpungkas senti demi senti. Deru nafas keduanya terasa menampar lembut wajah masing-masing. Aiden memiringkan kepalanya saat hidung mereka sudah saling bersentuhan. Dan kini tangan Aiden sudah berada dibelakang kepala gadis itu. Menarik kepala itu semakin mendekat padanya. Dan— CHUP~ . Flowered | Gorjesso .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD