"Aira, apa kamu di dalam?"
Saat kembali dari ruangan Prof. Fany, aku mendapati ranjang Aira kosong. Beberapa kali panggilanku tak mendapatkan sahutan. Lalu, saat suara gemericik air yang berasal dari kamar mandi, aku segera menuju ke sana.
Mengetuk pintu bertubi - tubi. Setidak sabar itu diriku jika berkaitan dengan kesehatan Aira. Aku takut ia kenapa - napa.
"Ra?! Kamu di dalam?! Jangan buat Kakak khawatir, Ra?"
"Iya, Kak." Jawaban dari dalam sana terdengar sangat lemah. Setelahnya pun aku mendengar Aira yang terbatuk beberapa kali.
Tidak, tidak boleh! Serebrumku penuh oleh hal - hal buruk yang bisa saja terjadi padanya. Maka, dalam sekali terjangan pintu berbahan dasar kayu itu pun terbuka.
Aira yang sedang berdiri di depan washtafel berjengkit kaget. Tidak apa - apa, tubuhnya terlihat seperti biasa hanya lebih kurusan lagi. Lantas, aku pun menghampirinya.
Dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, kuperhatikan sedetail mungkin yang melekat di sana.
"Kak Alpha! Kakak apa - apaan sih? Munculnya tiba-tiba terus rusuh sekali. Kakak dobrak pintunya ya? Astaga! Kakak kenapa?!"
Tak merespon ucapannya, aku malah lebih memilih bertanya balik.
"Kamu gak papa kan, Ra? Ada yang sakit?" Demi Tuhan, beberapa menit lalu jantungku berdetak cepat sekali. Dadaku pun bahkan terasa menyempit karena sebuah alasan yang kutebak sendiri.
Dengan wajah bingungnya Aira menyangguk. Sekali lagi, adikku terlihat baik - baik saja. Tidak ada yang aneh dengannya kecuali, busa di mulutnya dan sebuah brush pembersih gigi yang berada di dalam sana. Jangan bilang kalau suara batukkannya tadi karena ...
"Aira gak kenapa - napa, Kak. Tidak ada yang sakit juga kok. Hanya sedang menyikat gigi," jawabnya tenang. Sontak hal tersebut membuat dadaku berdetak normal kembali.
"Kakak mendengar kamu terbatuk beberapa kali, Ra," sanggahku cepat.
Masih dengan wajah bingungnya yang terlihat manis, Aira mengerjap - ngerjap lucu.
"Batuk karena sikatnya hampir tertelan Aira, Kak. Aira baik - baik saja kok," katanya kemudian.
Aku sangat diburu keadaan. Sungguh, Alpha yang payah. Batinku menghardik sarkas.
Aku pun menghela napas lega. Beruntung bukan hal yang kutakutkan sedang terjadi. Aira kembali melanjutkan kegiatan membersihkan giginya dengan tenang. Sementara aku, masih tinggal. Menontonnya yang berbaur dengan brush mini dan pasta gigi itu.
"Kak Alpha?"
"Hum."
Aira berdecak sesaat.
"Kakak masih di situ?" tanyanya, paras jelitanya menyita perhatianku.
"Tidak ingin keluar, Kak?" sambungnya.
Kewarasanku kembali, astaga Alpha apa yang sedang kamu lakukan di dalam kamar mandi sementara Aira akan bebersih tubuh.
"Ah ... iya. Kakak mau keluar kok. Jangan mandi tanpa air hangat Aira. Jangan terlalu lama juga di dalam kamar mandinya. Mengerti?" Gadis remaja di hadapanku ini menampilkan raut jengah.
Apa aku terlalu banyak mengomel?
"Iya, Kakak tenang saja. Aira mematuhi perintah dokter kok. Lagi pula, Aira bukan mau mandi. Sudah tadi mandinya," sahutnya sembari menampilkan daut datar.
"Oke, Kakak keluar. Kalau kamu membutuhkan sesuatu segera panggil Kakak." Aku mengingatkan.
"Iya, Kak."
Aku kembali ke sofa, duduk dengan tenang di sana. Merilekskan tubuh dan pikiranku. Semua tentang Aira memang semenakutkan itu bagiku.
"Huh ... Kamu membuatku seperti orang tidak waras, Ra," monologku.
Saat Aira kembali memunculkan diri, aku dengan cepat menghampirinya. Bukan tanpa alasan, wajahnya pucat sekali.
Grep!
"Kak Alpha? Eh eh, kenapa, Kak?" Ia tampak kebingungan mendapatiku yang tiba - tiba saja menggendongnya.
"Kamu lama jalannya, Kakak tidak sabar."
Ia terkekeh ringan, kedua tangannya pun mulai mengalung di leherku. Tanpa banyak protes lagi saat kuletakkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Berapa banyak lagi kamu kehilangam berat badan, Ra?"
"Hah?"
Perasaanku sakit begitu membawanya dalam gendongan. Tubuhnya terasa seperti kapas, sangat ringan. Terakhir aku menggendongnya tadi pagi. Dan kali ini bahkan lebih ringan dari itu.
Wajah cantiknya sedang berpikir, rona kemerahan pada pipinya kembali muncul meski hanya setitik.
Ya Tuhan, bagaimana bisa aku mengendalikan perasaanku kalau begini terus. Semakin hari rasa sayangngku terhadapnya semakin besar, hingga menimbulkan ketakutan luar biasa.
"Kak Alpha melamun." Itu pernyataan.
Aku tersenyum perih sejenak. Padahal, aku ingin menyampaikan kabar baik untuknya. Tapi, mengapa hatiku terasa sangat perih. Melihat kondisinya, aku takut kehilangan sewaktu - waktu.
"Eh! Kakak kenapa, Kak?" Suara Aira membuatku semakin mengeratkan pelukanku. Ia hanya diam tanpa membalas pelukan ini. Tampak dari wajahnya, ia kaget mendapati perlakuanku yang cukup tiba - tiba.
"Kamu selalu membuatku khawatir, Aira. Bisakah kamu tetap tinggal? Dan menjadi milikku selamanya?"
Menjadi milikku yang sesungguhnya, Aira. Hiduplah terus bersamaku sampai tua. Menjadi hak milikku dan aku milikmu. Tak pernah terpikirkan olehku jika suatu hari nanti, aku hidup sendiri tanpa kehadiranmu. Sebab, kamu memilih pergi.
Aku memberi spasi di antara kami. Airaku tampak begitu mewah dan cantik luar biasa walaupun pakaian rumah sakit yang menempel di raga ringkihnya. Pandangan kosongnya membuatku berani melakukan hal tidak waras ini kepadanya.
Aku tahu ini salah. Sejak awal, aku memang sudah mencap tentang rasa ini kepadanya adalah sebuah kesalahan. Tapi, tolong. Di waktu yang bersamaan aku mencintainya.
Maka, saat bibirnya kuraup dalam kuasaku. Otakku menegaskan kesalahan yang teramat namun, logikaku ingin berkhianat.
Sebentar saja, izinkan kesalahan ini menegaskan betapa aku membutuhkan sosoknya di sampingku, bersamaku hingga akhir cerita.
Puk puk!
Pukulan keras darinya di kedua bahuku mengembalikan kesadaranku. Segera kulepas tautan dosa itu. Aira meraup napas sebanyak -banyaknya. Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan padanya?
Alpha, apa kamu sudah gila? Ini Aira, adikmu.
Wajah pucatnya terlihat kesusahan dengan irama napas yang tidak beraturan. Ia terengah karena perbuatanku.
"Aira ..."
"Pergi, Kak." Dan kalimat yang kutakutkan pun ia lontarkan.
Tidak tahu diri! Aku mencerca diri sendiri.
Lihat, akibat dari kebodohanmu Alpha. Lihat sekarang, Aira mengusirmu.
"Pergi dari sini, Kak Alpha! Aku mohon." Nada tegas dan lirihnya bercampur menjadi satu.
Aku menggeleng walaupun tahu ia dapat melihatnya. Jarak kami cukup dekat. Parasnya menampilkan raut datar dan ya Tuhan, aku takut mengatakan kenyataan ini. Ada kilatan tidak suka di sana, mungkinkah karena tindakanku barusan?
"Kakak, pergilah! Aira mau berganti pakaian! Dokter Lia bilang, Aira akan melakukan pemeriksaan sebentar lagi."
Aku mengerjap, lantas dapat merasakan pijakanku kembali. Jadi, ia tak bermaksud mengusirku setelah aku menciumnya kan? Aira tidak marah?
"Apa yang Lia katakan padamu?"
"Kata dokter Lia, ada kabar naik yang akan Kakak sampaikan padaku setelah pemeriksaan. Jadi, aku sangat bersemangat. Sudah sana, Kak. Keluar, Aira mau berganti pakaian." Ia sangat menggemaskan dengan nada merengek seperti itu.
"Iya - iya, Kakak keluar," kataku.
Namun, sebelumnya aku menyempatkan diri untuk kembali mengusap kedua bahu sempitnya dengan cepat. Sekedar memberi semangat.
"Kakak sayang kamu, oke?"