Bab 15

1302 Words
Benar saja, Aira sungguhan terlelap di bahuku. Begitu sampai di ruang rawatnya, aku meletakannya dengan hati – hati. Ia sempat menggeliat sejenak kemudian tanpa terusik sedikit pun kembali melanjutkan tidurnya dengan tenang. Aku terduduk di kursi sebelah nakas, memandanginya tanpa bosan. Wajah pucat Aira membuatku terluka. Aku menoleh, Bintang dan Lia memasuki ruangan lengkap dengan setelah dokter mereka. “Kabar baik, Al,” ucap Bintang sembari menepuk sebelah bahuku. “Ada apa, Bi? Wajahmu cerah sekali.” “Hum, tentu saja. Akan lebih baik jika kita membicarakannya tidak di sini. Aira sedang tidur.” Aku mengangguk. “Dokter Alpha bisa mengikuti Dokter Bintang, saya akan memberi suntikan vitamin terebih dahulu kepada Aira,” Lia buka suara. Aku mengangguk singkat. Lantas kembali terhenti sejenak tepat di sebelah Lia. “Panggil aku Alpha saja, Lia. Aku bukan lagi seorang dokter,” kataku. Lia menggeleng tidak setuju, “Anda tetap dokter Alpha, senior saya di sini. Terlepas apakah Anda memakai atau melepaskan snelli.” Baiklah, aku menyerah. Tidak akan mempermasalahkan panggilan itu mulai sekarang. Karena hampir seluruh mantan rekan – rekan kerjaku dulu jika bertemu denganku akan tetap menyematkan panggilan dokter sebelum namaku. “Sudahlah, Al. Lagi pula kamu memang akan kembali menjadi dokter dalam waktu dekat ini kan?!” Aku menghela napas panjang tanpa mengangguk ataupun menggeleng. Demi Aira, aku kembali meski karena dirinya jugalah aku berhenti sejenak. Profesi sebagai dokter adalah impianku sejak kecil. Dan ketika gelar Sp. B berhasil ku raih di usia ke 22 tahun sekaligus menjadikanku dokter muda, kala itu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Selama kurang lebih 7 tahun aku menjalani pendidikan kedokteran. Bersyukur sebab beasiswa sejak awal jenjang pendidikanku masuk ke dunia kedokteran hingga sarjana dan lagi, akal cerdas Ayah menurun padaku. Pada awalnya keinginanku menjadi dokter karena persalinan ibu yang berjuang melahirkan Arina dan Aira, namun seiring berjalannya waktu selepas kepergian Arina dan kebodohanku terungkap, aku menyesali segalanya. Hanya nama Airalah yang menjadi motivasi terbesarku untuk menjadi dokter. Ketika mengetahui Aira mengalami kebutaan karenaku, kanker ginjal karena transplantasi beberapa tahun lalu, dan kepergian Arina di meja operasi. Keberanianku hilang, dan memutuskan berhenti bergelut di dunia kedokteran sementara waktu. “Setahun sudah kamu menghabiskan waktumu untuk melakukan pekerjaan sebagai pianis dan meninggalkan jabatanmu begitu saja sebagai dokter. Apa kamu tidak rindu, Al?” Rupanya Bintang masih saja merecoki keputusanku yang rehat dari dunia medis. Aku rindu, tentu saja. Tapi rasa takutku mengalahkan itu semua. Wajah Ibu, Arina, dan Aira akan muncul bergantian saat aku berada di ruang operasi dan itu menyiksaku. Aku takut jika nanti Aira akan berakhir sama seperti dua wanita yang kusayangi sebelumnya. Saat ini hanya Aira dan Ayah yang kumiliki. “Sekarang kembalilah, ada banyak yang mendukungmu. Terlebih, ingat Aira. Dia membutuhkanmu sebagai seorang dokter yang siap merawatnya. Bukankah kamu ingin Aira sembuh?” “Aira harus sembuh!” monologku bersungguh – sungguh. Yang kuyakini Bintang masih dapat mendengarnya karena dari ekor mataku, bisa ku lihat pria bertubuh mungil itu menganggukkan kepalanya dengan senyum lega. “Aduh!” “Maaf, kamu tidak apa – apa?” Seseorang menabraku, tas selempang kecilnya terpelanting tepat di depan kakiku. Aku pun menunduk, mengambil tasnnya guna mengambalikan kepada orang itu. “Aduh ... hati – hati dong, Mas lain kali kalau jalan itu jangan sambil melamun,” ucanya sedikit marah. “Maaf.” Ketika orang itu mendongak otomatis mata kami saling bertemu. “Alpha?” “Kamu?” Ia mengambil tasnya di tanganku kemudian tersenyum ramah. Bintang pun ikut menghentikan langkahnya. “Sheila? Kamu sedang apa di sini?” tanya Bintang. “Oh, hai Bintang kamu di sini juga?” Bintang menanggapi dengan anggukan ringan. “Kamu ... dokter?” tanya Sheila lagi setelah memperhatikan setelan yang Bintang kenakan. Snelli putih dan stetoskop yang melingkar di area leher dan saku pria itu memperjelas segalanya. “Ya, begitulah. Kamu terlihat sehat, ada apa ke sini?” “Ah ... itu, Kakakku mengalami kecelakaan motor kemarin jadi, aku menemaninya.” “Kecelakaan? Kakak kamu yang-” “Iya, Al. Kak Gio. Dia ingin menjemput Kak Riska malam itu tapi, pengendara sepeda motor lain menabraknya dari belakang cukup kencang. Jadi, Kakakku berakhir menabrak pohon,” jelasnya. “Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku. “Tidak ada luka serius, hanya memar di beberapa sudut tubuhnya. Sekarang sudah ditangani.” “Syukurlah.” “Kamu sendiri, ada keperluan apa di sini, Al?” Ketika aku hendak menjawab, ponselku berbunyi. Nama Prof. Fany tertera di sana sehingga membuatku tidak bisa mengabaikannya. “Halo, Prof.?” “Iya, kita sedang dalam perjalanan.” “Baik.” Sambungan nirkabel pun terputus. Bintang mengalihkan pandangannya ke arahku. “Prof. Fany?” Aku mengangguk. “Maaf tidak bisa menjenguk kakakmu hari ini, Sheil. Aku sedang ada keperluan cukup penting,” kataku. “Eh iya, tidak masalah kok, Al.” “Salam untuk kakakmu semoga lekas sembuh.” Sebelah tanganku menepuk pundaknya, pelan. “Yang sabar ya,” lanjutku, kemudian pergi bersama Bintang. Sekitar empat meter jarak kami setelah bertemu dengan Sheila, Bintang berucap, “Sepertinya ada sesuatu dengan gadis itu, Al.” Tentu saja aku bingung dengan ucapan Bintang. “Maksud kamu bagaimana, Bi?” Salah satu beagles ini mengendikkan bahunya asal. “Ntahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja tapi, dari caranya memandangmu itu jelas menunjukkan ketertarikkan, Al.” “Ketertarikkan bagaimana, Bi?” “Ck, kamu ini. Dia suka sama kamu, gitu lho. Masa soal begituan saja tidak tahu. Makanya berkencan sesekali, Al. Kamu seperti makhluk goa.” Mana bisa aku berkencan jika yang ada di pikiranku hanya Aira, Aira, dan Aira. “Tidak bisa,” jawabku cepat. “Tidak bisa atau tidak mau? Heh?!” Pria tampan dan cantik di waktu yang bersamaan itu menaik turunkan alisnya. Dia menggodaku. “Bilang saja karena di hati kamu sudah ada nama Aira yang melekat kuat. Iya kan? Memang kalau sudah cinta itu sulit untuk berpaling ya, Al.” Dan sepanjang perjalanan pun, Bintang tidak henti – hentinya meledekku. Sampai saat kaki kami berhenti di depan pintu ruangan Prof. Fany barulah beagles ini mingkem. *** “Pendonor mata untuk Aira sudah ditemukan. Dia meninggal di usia 22 tahun murni karena kecelakaan lalu lintas. Waktu kematiannya jam dua siang ini hari. Sewaktu hidup, dia telah mendaftar sebagai pendonor mata dan seluruh pihak keluarganya setuju dengan keputusan itu. Hasil pemeriksaan mata pendonor mulai dari kondisi epitel kornea, arcus senilis, hingga ke hepatitis, retinoblastoma, HIV, dan lain – lain semuanya bagus. Enukleasi akan dilakukan jam lima sore nanti. Sehingga Aira bisa kita operasi nanti malam.” Di sebelahku, Bintang mengangguk setuju. “Lebih cepat lebih baik,” jawabnya semangat. “Bagaimana, Alpha. Kamu setuju?” tanya Prof. Fany. Aku mengangguk cepat. “Mata dari pendonor harus diambil kurang dari 6 jam setelah waktu kematian. Karena, kornea pendonor harus segera digunakan dalam waktu kurang dari 2x24 jam agar tingkat keberhasilan operasi lebih tinggi,” jawabku. “Tepat sekali. Setelah Aira bangun, kita akan melakukan serangkaian pemeriksaan sebelum operasi. Jam sepuluh malam nanti, dipimpin oleh Julio operasi kita lakukan.” Aku mengangguk setuju. Setahuku, Julio adalah doktek spesialis mata terbaik di rumah sakit ini. Bertepatan dengan aku yang memilih rehat dari dunia kedokteran, Julio juga melanjutkan studi S3-nya di San Fransisco. Lalu, saat Prof. Fany mengatakan bahwa yang akan mengoperasi mata Aira nanti adalah dirinya tentu saja aku terkejut. Apa Prof. Fany menggunakan kekuasaannya? Apa pun itu, aku sangat berterima kasih dan bersyukur dengan banyaknya orang yang menyayangi Aira. “Terima kasih banyak, Prof. Saya berhutang banyak dengan Anda.” “Jangan menganggap ini hutang, Alpha! Sudah kubilang, Aira sudah kuanggap seperti putriku sendiri. Aku ingin memberikan yang terbaik untuknya. Kamu pun sama halnya, sudah kuanggap seperti putaku juga,” jelas Prof. Fany penuh penekanan disetiap nadanya. Seakan menegaskan bahwa Aira dan aku itu berharga. Apalagi yang bisa kukatakan selain terima kasih. Bahkan mataku mulai berkaca – kaca. Terharu dengan kebaikan Prof. Fany.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD