“Halo Alpha, apa kabar?”
Seorang pria dengan tubuh tinggi tegap dan kemeja biru tua yang kontras dengan kulit putihnya berdiri tepat di hadapanku. Sebelah tangannya terulur menyalami yang kusambut dengan ramah.
“Lama tidak bertemu, Julio. Kau terlihat semakin hebat.” Ia terkekeh menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi.
“Terima kasih pujiannya, Al. Tapi, jangan terlalu sering memujiku, aku tidak suka itu.”
“Ya ya, baiklah. Kau bahkan rendah hati.”
“Ck, tidak seperti yang kau pikirkan,” sahutnya cepat. Rautnya berubah datar.
Ternyata selama tiga tahun tidak bertemu, Julio tetap seperti partner kerjaku yang sama seperti dulu. Tidak banyak yang berubah darinya, selain lebih gagah dan berkelas. Sikap rendah hatinya pun masih menetap.
Keturunan garis darah birunya memang sangat mengangumkan. Kebanyakan orang yang melihatnya akan menganggap bahwa Julio adalah orang barat. Padahal pria ini asli putra bangsa. Ibunya menikahi ayahnya yang merupakan seorang pewaris tahta Keraton Mangkunagaran sehingga ia pun menyandang gelar nama bangsawan. Raden Mas Julio Handika Liamar adalah nama lengkapnya.
“Ngomong-ngomong, aku baru tahu kalau Prof. Fany memiliki seorang anak perempuan. Sepengetahuanku, anak beliau bukannya segitiga bermuda ya?” ucap Julio.
Segitiga bermuda visual, yang isinya semua adalah para laki – laki berparas rupawan dan berotak cemerlang. Itu mengapa sejak dulu kami menjuluki anak – anak Prof. Fany dengan sebutan segitiga bermuda.
Dan yang paling membuatku terharu, Prof. Fany serius dengan perkataannya bahwa Aira sudah ia anggap seperti putrinya sendiri. Sampai Julio pun percaya bahwa Aira benar – benar anak beliau.
“Aira itu adikku, Jul. Prof. Fany berkata begitu karena dia menyayangi Aira.” jawabku tegas.
“Oh ya? Berarti Aira pasien spesialku dong. Adik dari teman seperjuanganku dan putri tunggal yang merupakan si bungsu dari keluarga Professor pemilik saham terbesar di rumah sakit elit se-ibu kota.” Julio bertepuk tangan bangga. Aku hanya bisa tertawa melihat aksinya
“Pantas saja aku melihat kemiripan di wajah kalian. Adikmu cantik sekali, Al. Boleh untukku tidak?”
“Kau masih suka bercanda ternyata, Julio,” jawabku.
Ia terkekeh sekali lagi. “Kalau sungguhan diberi restu oleh kakaknya sepertinya aku akan serius. Hahaha ...”
Aku tahu ini hanya sebuah candaan semata tapi, ntah mengapa aku tidak suka saat Julio mengatakan ingin meminta Aira dariku. Apalagi wajah gagahnya terlihat menunjukkan sisi kesungguhan. Atau ini hanya pendapatku saja karena takut Aira dimiliki oleh pria lain?
***
Selama hampir tiga jam Aira melakukan pemeriksaan pra-operasi. Mulai dari pemeriksaan kesehatan umum, kemudian pemeriksaan faktor – faktor yang bisa menyulitkan kegiatan operasi mata sedang berlangsung, meliputi : ada atau tidaknya alergi pada mata, glaukoma, hingga ke kondisi metabolik pasien. Berlanjut ke pemeriksaan kesehatan mata, dan pemeriksaan penunjang.
Selama itu pula, Julio yang ambil alih kuasa Aira. Sementara aku, menunggu dengan harap – harap cemas di luar ruangan.
Kreak!
Pintu tersebut terbuka, menampilkan Julio yang muncul dari balik pintu kayu itu. Ia melepas kacamata yang membingkai hidungnya pada saku snelli. Selembar kertas pun ia angsurkan padaku.
Kertas itu berisi ...
“Rekam medis Aira?”
Julio mengangguk, tatapan yang sulit kujabarkan disepasang lensa kecokelatannya. Dengan sendirinya jantungku bergemuruh hebat.
Jangan mengatakan hal yang tidak kuinginkan, tolong.
“Jantung dan ginjalnya bermasalah, Al. Apa kamu sudah tahu?” Aku mengangguk singkat.
Tolong, jangan patahkan semangatku.
“Aira masih tetap bisa dioperasi kan, Jul? Semuanya baik – baik saja bukan?” Ini penuntutan, aku tahu tapi, usahaku untuk membuat Aira kembali melihat sangat besar. Aku sudah berjanji padanya.
Mimik santai yang bersemayam di paras Julio saat sedang bertemu setelah sekian tahun tadi pun luntur. Berganti dengan ekpresi datar yang tidak ingin kuperjelas.
Tatapan sayu itu sudah lebih dari cukup bagiku untuk memahami hal apa selanjutnya yang akan ia ucapkan.
“Kanker ginjal stadium satu, masih awal tapi perkembangannya luar biasa cepat. Aku melihat ada jejak pengobatan herbal yang Aira minum?”
Aku mengangguk.
“Prof. Fany yang memberikannya,” jawabku cepat.
Julio kembali mengangguk semangat.
“Itu bagus, kerja ginjalnya bisa terganggu kalau Aira terlampau sering mengonsumsi obat – obatan dengan dosis tinggi dalam jumlah yang banyak. Tapi, Al-” Ia menjeda.
Semua kata ‘tapi’ dari sususan kalimat baik dan indah yang seseorang ucapkan di situasi kurang baik maka, akan berakhir tak baik pula. Seperti sudah terkontaminasi sampai tujuannya pun untuk menyampaikan hal yang tidak ingin kudengarkan.
“Ramuan itu berhasil memperlambat perkembangan sel kanker dalam waktu satu minggu. Perkiraanku, ini hanya perkiraan, Al selebihnya dokter spesialis ginjal-lah yang tahu pasti. Kanker yang bersemayam di ginjalnya kemungkinan besar akan memasuki stadium dua dalam waktu kurang dari tiga puluh hari dimulai dari pekan depan.”
“Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan itu, Jul?”
“Aira harus melakukan radio terapi dan cuci darah secara teratur. Untuk memperlambat perkembangan sel kanker, lakukan terus mengonsumsi obat herbal itu dan Aira juga harus menjaga pola istirahatnya. Lagi-“
Lagi?
Bisakah aku mendapatkan penjelasan yang positif? Mengapa Engkau harus menyiksa Aira dengan keadaan seperti ini? Dari awal aku yang bersalah, gadis itu tidak tahu apapun.
“Transplantasi jantung. Kutebak, baru-baru ini jantungnnya bekerja kurang baik hingga menimbulkan nyeri pada dadanya dan Aira tidak sadarkan diri?”
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Semua yang Julio katakan adalah kebenaran. Ia telah membaca rekam medis Aira kan? Lalu, harapan sebesar angkasa yang kudambakan terkikis sedikit demi sedikit hingga meninggalkan secuil harapan yang dapat mengirimkan mukjizat.
Ya, hanya bisa menginginkan keajabain saat ini.
“Gagal jantung, Alpha. Operasi apa pun itu akan sangat mempengaruhi kerja jantung. Resiko seperti, serangan jantung mendadak, bahkan jantung yang tiba – tiba berhenti bisa terjadi sewaktu – waktu saat operasi sedang berlangsung. Aku memang bukan dokter bedah jantung ataupun dokter kardivaskular tapi banyak sedikitnya aku mengetahui prosedur – prosedur sebelum melakukan operasi pada pasien.” Julio mengusap surai hingga ke leher bagian belakangnya dengan raut tersakiti.
Sebagai seorang dokter, kegagalan di meja operasi hingga melayangkan nyawa pasien itu adalah perkara yang sangat menyakiti kami. Ada sumpah yang kami ucapkan sebelum dilantik resmi menjadi seorang dokter yang bersedia menyembuhkan dan memberi perpanjangan hidup sementara untuk pasien. Menelisik raut muram Julio, aku bisa melihat kecemasan pada dirinya untuk Aira.
Sangat menyakitkan, bagi dokter yang notabene-nya bersama dengan pasien hingga napas terakhir. Lantas, saat posisiku yang seorang dokter bedah dan juga keluarga dari pasien itu, apa yang harus kulakukan? Aku sudah kehilangan Ibu dan Arina, apakah aku juga harus kehilangan Aira? Hanya satu keinginanku, melihatnya sehat dan sembuh total dari segala macam penyakit – penyakit s****n ini.
Namun, penjelasan Julio justru menghantam dadaku dengan kekuatan yang dahsyat.
“Kepergian itu teramat meyakitkan aku tahu. Kamu dan semua keluarga pasien menginginkan keberhasilan tapi, kita juga harus melihat peluang yang tersedia, Al. Ini akan cukup rumit,” sambung Julio setelah kebungkamannya yang cukup lama.
Kini, giliran aku yang mengacak surai, frustasi.
“Setidaknya, buat Aira dapat melihat lagi sebelum dia pergi, Jul.” Dari sekian banyak huruf yang terangkai diotakku dan pada akhirnya hanya sebaris kalimat itulah yang mampu kuucapkan.
“Kaindra sudah berada di bandara Internasional Halim Perdanakusuma. Mungkin sekitar satu jam lagi dia akan tiba di sini. Kita akan membicarakan masalah ini terlebih dahulu kepadanya.”
“Tapi kita harus bergerak cepat, Jul. Operasi itu harus segera dilakukan kurang dari 2x24 jam setelah kornea donor diambil,” kejarku tegas. Ini kesempatan besar agar Aira bisa kembali menerawang indahnya dunia dengan kedua mata normalnya bukan lagi melalui telinga yang mengatakan seberapa baik cuaca hari ini. Demi Tuhan, hal tersebut seakan menghantamku.
“Prof. Fany bahkan memanggil Dr. Tae Young dari kedutaan besar Korea Selatan secara pribadi untuk merawat Aira. Sejauh ini, Dr. Tae Young adalah dokter Onkologi terbaik yang pernah bekerja sama dengan rumah sakit kita. Jadi, kamu tenang sedikit, Al. Sesuatu yang terburu – buru itu tidak baik. Tidak akan pernah ada penyelesaian jika diri kita sendiri saja tidak dalam kondisi yang baik.” Julio memberi petuahnya padaku.
Namun, yang menjadi menarik di telingaku adalah saat nama Dr. Tae Young terucapkan. Seantero benua Asia telah mengetahui kinerjanya yang luar biasa hebat. Saking banyaknya kasus yang tidak mungkin memiliki harapan lagi pun dapat ia taklukkan, membawa namanya terus melambung tinggi ke kancah Internasional. Dan julukan The Part of God’s Hand pun ia sandang. Menjadikannya dokter onkologi yang banyak diincar seluruh rumah sakit di seluruh belahan bumi ini.
Benar, aku harus tenang. Setidaknya aku harus optimis bahwa Aira pasti akan sembuh. Sekarang, saat ini di detik ini juga, yang kuinginkan hanya melihat Aira. Berada di sisinya dan memeluknya dengan erat. Menyalurkan rasa betapa sayang aku terhadapnya.
Kutepuk sebelah bahu kokoh Julio dengan perasaan campur aduk.
“Terima kasih, Jul. Bisakah aku melihat keadaannya sekarang?”
Pria itu mengangguk dengan sunggingan kecil di bibirnya. “Masuklah, Aira banyak menanyakanmu sejak di dalam aku memeriksanya tadi,” jawab Julio.
Perkataanya membuat hatiku membuncah senang. Aira memikirkanku, dia menungguku.
“Aku tidak akan pernah bisa mendapat restu darimu kalau begini,” gumam Julio bersama dengan kekehan ringannya yang masih bisa kudengar.