Bab 6

1575 Words
"Sepertinya aku memang cocok menjadi chef ya, Al. Aira mengatakan pastaku yang terbaik. Astaga, aku ingin terbang." Bintang berceloteh di seberang sana. Aku pun terkekeh mendengarnya. "Apa tidak masalah kamu meninggalkan pekerjaanmu di rumah sakit untuk menjaga Aira, Bi?" Kudengar pria di sana berdecak. "Kalau bermasalah mana mungkin aku meng-iyakan permintaanmu, Alpha. Lagi pula mempunyai seribu alasan agar bisa berduaan dengan Aira. Hehe ..." "Jangan berlebihan menggodanya, Bi. Aku tidak tanggung jawab kalau kamu sungguhan menyukainya!" ucapku. Lebih tepatnya, aku tidak akan rela jika Aira bersama pria lain. Memikirkan siapa lelaki beruntung yang akan bersamanya kelak, hatiku sakit. "Tapi aku sudah menyukainya, Al. Bagaimana ini?" Aku mendengar Bintang tertawa di sana. Untuk bisa menyukai Aira bukanlah persoalan yang sulit. Adikku itu, bahkan disaat dirinya hanya diam sekali pun, pesonanya sangat kuat. Ia bisa membuat siapa saja dengan mudah mencintainya. Kelembutan hatinya adalah salah satu contoh pesonanya. "Terserah kamu, tetap saja aku tidak mengizinkan Aira dimiliki siapa pun," jawabku sekenanya. Bintang mencibir, "Dasar posesif!" "Aira sedang apa, Bi?" "Nyemil, selesai makan, dia meminta jajanan. Nafsu makannya mengangumkan, Al," jawab Bintang. Aku pun terkekeh. Meski begitu, aku senang. Ini kabar baik, Aira itu termasuk ke dalam golongan yang sulit makan jika tanpa diriku. Dia bilang, jika bersamaku terdengar menakjubkan. Saat dirinya berkata demikian, rasa bersalahku kembali muncul. Sejak kecil, Aira tidak pernah merasakan kasih sayangku. Dan mungkin, karena hal itulah di waktu sekarang hanya dengan makan bersama pun terlalu berarti baginya. Maafkan Kakak, Aira ... "Hei, Bung. Mengkhayal?" Suara Bintang terdengar lagi. Aku dengan cepat mengembalikan kesadaranku. "Tolong temani Aira sampai Ayahku pulang ya, Bi. Apa kamu bisa?" "Dengan senang hati. Princess Aira dalam pengawasan, laporan selesai!" Aku tertawa ringan. Bintang suka bercanda dan sifat riangnya selalu bisa menghiburku. Pantas saja dia dan Chandra bisa menjadi teman dekat. Karena tingkah dan kelakuan mereka yang satu frekuensi. "Al, ayo cepat bersiap - siap. Setelah ini kamu," ucap seorang wanita yang merupakan salah satu manager cafe. Aku pun mengangguk dan segera mengakhiri sambungan nirkabel dengan Bintang. Malam ini ada beberapa lagu permintaan dari pengunjung yang secara khusus mereka pinta sebab, oran itu akan melamar kekasihnya. Sehingga, jam kerjaku otomatis akan bertambah. Namun, aku juga merasa sedikit bahagia. Dengan begitu, aku bisa mendapatkan uang tip. "Permisi," Seorang wanita ber-dress maroon menghampiriku. Menghentikan langkahku dengan Bu Jeva --manager yang tadi memanggilku untuk bersiap-- "Iya?" Aku menoleh. "Oh ... Anda Nona Sheila? Adik Tuan Gio?" celetuk Bu Jeva. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Wanita itu pun mengangguk. "Benar, Bu." "Ada yang bisa saya bantu, Nona Sheila? tanya Bu Jeva ramah. Ah, pasti orang ini pengunjung cafe. Kulihat, wanita ini sepertinya sedang ragu. Sesekali aku bahkan bisa melihat matanya melirik ke arahku. "Apa mungkin kamu, hmm ... Alpha? Pianisnya?" Aku pun mengangguk, lantas, Bu Jeva yang kembali melanjutkan. "Benar, Nona. Ini Alpha, pianis yang saya ceritakan pagi tadi. Dan Alpha, ini Nona Sheila. Adik Tuan Gio yang akan mengadakan lamaran di sini," terang Bu Jeva. Oh, pantas saja. Aku tersenyum singkat. "Apa Nona memiliki permintaan lagu lain?" "Oh bukan - bukan. Hmm ... saya ingin meminta tolong secara pribadi, dan mungkin ini terdengar aneh tapi ... saya mohon." Melihat raut sedih wanita ini, aku dan Bu Jeva saling melempar pandangan satu sama lain. "Apa yang Anda inginkan, Nona?" tanyaku. "Begini, sebenarnya acara malam ini tidak hanya karena kakakku yang ingin melamar kekasihnya. Tapi, juga ini acara yang telah dirancang oleh kakakku untuk mempertemukanku dengan pria pilihannya." Ia menjeda, aku diam menyimak. "Aku dijodohkan dengan teman kakakku. Dan tentu saja aku menolak gagasan itu. Aku ingin mendapatkan pria pilihanku sendiri." Lantas? "Tapi, sampai detik ini aku belum juga memiliki seorang kekasih. Dan kakakku berkata, akan berhenti menjodohkanku jika aku telah memiliki kekasih." Iya, lalu? "Dan aku ... hmm ... maafkan aku. Tapi, apa boleh aku meminjam kamu, Alpha untuk menjadi kekasih pura - pura-ku?" Untuk sesaat aku kebingungan. Ide macam apa itu? Dan Bu Jeva yang berdiri di sampingku pun berdeham. Suasana menjadi hening. "Kalau masalah ini, sepertinya saya tidak perlu ikut campur. Semua terserah Alpha-nya saja. Ayo, silahkan didiskusikan dulu. Saya permisi," ucap Bu Jeva. Aku selalu menyukai sikap Bu Jeva yang baik dan pengertian tapi, kali ini aku justru mengharapkan sikap tegas beliau. Aku bukan aktor, kemampuan aktingku sungguh meresahkan. Lagi pula, aku tidak bisa berbohong dengan cara seperti ini. Ini bisa disebut sebagai kasus penipuan. Dan entah mengapa, aku merasa akan mengkhianati Aira. Astaga. "Maaf, Nona. Tapi sepertinya saya tidak bisa," ucapku singkat. Aku hendak berlalu namun wanita itu mencekal satu lenganku. "Aku mohon, Alpha. Malam ini saja. Kamu cukup mengaku sebagai kekasihku. Setelahnya, semua ini berakhir." "Tapi, aku sudah memiliki kekasih," jawabku. Dan kekasih yang kumaksud igu Aira. Tampak raut yang sulit kuartikan di wajah wanita itu. Seperti tidak suka? "Aku mohon, hanya malam ini. Setelahnya, kita tidak perlu saling mengenal, kamu bisa menjalani kehidupan normalmu seperti biasa dan aku pun akan begitu." "Hanya malam ini?" Ia mengangguk cepat. Sebenarnya berat tapi, melihat wajah sedihnya aku tidak tega. Ingatanku langsung tertuju pada Aira. Maafkan aku Aira, ini hanya sandiwara. Sebentar saja. Aku tidak tahu kenapa harus merasa bersalah begini pada Aira. Ya Tuhan, sadar Alpha. Aira itu adikmu, adik kandungmu. Otakku menegaskan. Pada akhirnya, aku pun mengangguk. "Baiklah, hanya malam ini," kataku. Ia langsung tersenyum cerah. "Terima kasih, ini karena aku tidak mau dijodohkan. Itu saja kok." Iya baiklah, mari kita mulai sandiwara ini. Kami pun mulai melenggang menuju tengah cafe. Sudah banyak pengunjung yang memenuhi. Agar memaksimalkan akting, wanita yang kuketahui bernama Sheila ini mengapit salah satu lenganku. Kita berjalan berdampingan. Saat melewati meja kasir kami berpaspasan dengan Bu Jeva. Sheila berbisik sejenak dengan Bu Jeva. Yang dapat kudengar mengatakan, "Pinjam Alpha-nya sebentar ya, Bu." Dan Bu Jeva hanya tersenyum singkat. "Hai, Kak ..." Kami sudah sampai di meja yang terdapat seorang wanita dan seorang pria di sana. Sheila menyapa mereka. "Hai, Sheila. Kamu cantik sekali." "Terima kasih, Kak Ris, Kakak paling the best." Mereka saling melempar pujian. Lalu, wanita lainnya yang Sheila panggil Ris itu melihat ke arahku. Begitu pin dengan pria di sebelahnya yang kuyakini bernama Gio, kakak Sheila. "Siapa ini, Sheil? Kamu membawa pria yang sangat tampan." "Mirip bintang film ya," tambah pria di sebelahnya. "Perkenalkan, Kak ini Alpha pacar Sheila. Dan Al, ini Kakakku, Kak Gio. Ini kekasihnya, Kak Riska." Aku mulai menyalaminya satu - persatu. "Astaga Sheila, pantas saja kamu selalu menutupi kekasihmu selama ini. Dia tampan sekali, seperti pangeran berkuda." Wanita beenama Riska itu memujiku. Aku pin tersenyum sekenanya. "Kak ... biasa aja dong. Jangan buat Sheila malu. " "Halo Alpha, senang bertemu denganmu." Ini si kakak laki - laki Sheila. Kami terlibat percakapan yang cukup santai. Untungnya kakak Sheila tidak bertanya secara detail mengenai statusku. Mereka pun tidak terlihat terlalu menilai penampilanku. Sheila lah yang lebih banyak bercerita. Aku hanya diam dan sesekali tersenyum. Jika ditanya baru akan buka suara. "Oh iya, Kak. Alpha ada hadiah spesial untuk Kakak dan, Kak Riska lho. Iya kan, Sayang?" Aku mengangguk singkat. "Oh ya, apa itu?" "Sayang, ayo aku antar ke tempat pianonya," ucap Sheila dan sebelah matanya mengerling kepada sang kakak, memberi kode. Saat permainan pianoku berlangsung, acara melamar itu harus dilakukan. "Terima kasih ya, Bu Jeva, Alpha. Acara melamar Kakakku berhasil." Ibu managerku itu menggeleng, "Terima kasih kembali, Nona Sheila. Kami senang atas kunjungan kalian." Sheila pun tersenyum. Pandangannya kembali padaku. "Dan maaf ya, Alpha aku sudah memaksa kamu. Terima kasih sekali, berkat kamu perjodohanku dibatalkan," ucapnya senang. "Sama - sama," jawabku. *** Pukul 2 dini hari. Aku pulang ke rumah. Sepelan mungkin kubuka pintu utama. Terlihat Bintang tertidur di sofa ruang tamu. Aku menghampirinya. Kutepuk perlahan lengannya, "Hei, Bi. Kenapa kamu tidur di sini? Pindah sana ke kamarku." Pria berwajah bayi itu bergumam sembari menggeliat. "Al, kamu sudah pulang ya? Aku nginap di sini ya? Malas mau balik ke rumah sakit. Aira sudah tidur," katanya dengan suara serak. Aku pun hanya menggelengkan kepala. Terserahnya sajalah. Aku meletakkan tas yang kubawa kerja di sofa yang kosong. Kemudian langsung berlalu menuju kamar Aira. Pintu kayu itu kudorong sepelan mungkin. Hal pertama yang kulihat, yaitu wajah cantik Aira yang terlelep. Seperti biasa, cahaya terang dari lampu kamar yang menyala membuat paras rupawannya tersaji dengan sempurna. Aku mendekat. Terduduk di lantai. Aku enggan duduk di pinggiran tempat tidur karena pasti akan bergerak dan pasti membangunkannya. Kubawa tanganku membenahi anak rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya. Pun kuselipkan surai indah itu ke belakang telinga adikku. Aira masih terlelap sepulas itu. Lalu, sesaat atensiku jatuh telat ke bibirnya. Merah alami seperti buah ceri. Oh astaga, aku segera menggeleng. Isi kepalaku sudah sangat berantakan. Ini tidak benar, ingat, Aira itu adikmu Alpha, adik! Dan setiap kali otakku menegaskan, rasanya sakit. Kenyataan ini seakan menikamku. Perasaan ini salah tapi, rasaku sudah terlampau besar. Aku mencintai Aira, adik kandungku sendiri. Kukecup keningnya, lama. Menyalurkan rasa rindu dan sayangku kepadanya. Saat aku memberi spasi, keningnya mengernyit namun matanya masih setia terpejam. Mungkin ia merasa terganggu dalam tidurnya. Sekali lagi kuusap pelan pipi putihnya yang menampilkan rona kemerahan. Pelan sekali, aku memperlakukannya seperti Aira adalah porselin yang mudah pecah. Ya, aku sangat menjaganya. "Maaf, maafkan Kakak Aira. Tolong, maafkanlah aku," gumamku nyaris seperti berbisik. Tak dapat lagi kutahan, air mata menetes begitu saja membasahi pipiku. Dengan segera aku beranjak dari sana, isakku bisa menguat kapan saja dan itu dapat membangunkan Aira. Sebelum benar - benar pergi, sekali lagi disaksikan oleh keheningan dan kebisuan aku berucap pelan, "Maaf, aku mencintaimu." Dan keluar dari kamar Aira setelah membenarkan letak selimutnya. Menjaganya agar tetap hangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD