Bab 5

1391 Words
Jam sudah menunjukkan waktu pukul lima sore. Ayah sebentar lagi mungkin akan pulang dan aku akan segera berangkat bekerja. Aira, dia masih tertidur belum kunjung bangun. Usai berkutat dengan dapur dan telah tersaji beberapa masakan yang kubuat secara sederhana, aku segera melesat ke kamar Aira. Hanya ingin sekedar melihatnya. Mungkin, malam nanti aku akan pulang sedikit lebih larut dari biasanya dan selama itu pula aku akan merindukannya. Aku telah berada di depan pintu kamarnya, hendak mengetuk tapi teringat dirinya masih tertidur aku takut akan mengganggu lelapnya. Oleh sebab itu, kubuka pintu secara perlahan tidak ingin menimbulkan suara sekecil apa pun. Aira mudah terbangun saat tidur jadi, aku tidak boleh berisik. Saat masuk, hal yang pertama kali kulihat adalah terang. Adikku tidak suka dengan gelap. Lebih tepatnya, dia tidak bisa tidur jika ruangan dalam keadaan gelap. Ia memiliki trauma pada gelap. Dan itu, karena aku. Katanya, "Saat aku membuka mata pun yang kulihat tetap saja gelap. Jadi, jika aku tidur jangan matikan lampunya ya, Kak Alpha. Aku takut." Dan karena kalimat itu juga lah aku membuat luka yang sampai sekarang masih ada bekasnya di lengan belakangku. Kuhampiri adikku yang meringkuk di atas tempat tidur. Terlihat nyaman sekali. Selimut tebal menutupinya sampai sebatas leher. Ia tidur menghadap ke samping, memudahkanku melihat betapa cantiknya wajah itu. Rona kemerahan di pipi dan hidungnya selalu menetap di sana. Dan aku, selalu saja terpesona melihatnya. Seberapa banyak waktu yang kami habiskan bersama tetap tidak bisa membuatku puas melihatnya. Bisakah dirinya kusimpan hanya untuk diriku sendiri? Dan menjadi milikku selamanya? "Kak Alpha?" Aku terkesiap dari lamunanku. Aira telah membuka matanya. Ia menggeliat sejenak dan aku menyaksikannya sampai puas. Ia terlihat seperti dandeliaon. Lembut dan indah sekali. Ia beringsut, meraba tempat tidur dan mendapati tanganku yang berada di atasnya. "Kakak?" "Hum ..." "Kak Alpha, ada apa?" Matanya mengerjap, lucu sekali. "Apa Kakak mengganggu tidurmu?" Aku bertanya hati - hati. Membawa tangan kecilnya untuk kugenggam. Aira tersenyum membuatku ikut menyunggingkan bibir. Dia selalu suka setiap kali aku menyentuhnya. Katanya, tanganku hangat. "Nggak kok," jawabnya. Adikku telah duduk menyila di atas tempat tidur. Sementara aku duduk di lantai, bersandar di tempat tidurnya. Tangan kami saling bertautan. "Ada apa Kakak ke mari?" "Tidak ada, hanya ingin memastikan kamu tidur dengan nyenyak." Aira berdeham menanggapi ucapanku. Bisakah waktu berhenti sekarang? Aku menyukai momen - momen di tiap kebersamaan kami. Berdua dengannya, melihat senyum dan tawanya. Memberikan perhatian yang dulu tak pernah kuberikan. Memikirkannya, selalu membuat jantungku berdebar. Aku merasa seperti anak remaja yang baru merasakan jatuh cinta. Kini, aku benar - benar sedang jatuh cinta. Pada Aira, adik kandungku sendiri. Rasa cinta sebagai seorang pria kepada wanitanya bukan sebagai kakak kepada adiknya. "Mau ke mana?" Aira turun dari tempat tidur. Aku lekas membuntutinya di belakang. "Ingin ke kamar mandi, Kak," jawabnya. Langkahku berhenti di detik berikutnya. "Oke, hati - hati," kataku. Jam sudah hampir pukul enam sore namun, ayah tak kunjung pulang. Biasanya pukul lima ayah sudah berada di rumah. "Kak Alpha ..." Aira baru selesai mandi, ia berjalan mendekatiku yang duduk di sofa ruang tamu. Piyama tidur lebahnya telah berganti dress bunga - bunga. Sekali lagi, Aira cantik sekali. Aku berjalan menghampirinya, menggiringnya duduk di sebelahku. "Kamu makan ya?" Pertanyaanku hanya untuk mengalihkan atensiku yang tak bisa lepas memandanginya. Begitu raga rampingnya hadir di sebelahku, bau harum buah - buahan berbalur dengan bunga memenuhi penciumanku. Terasa segar dan lembut secara bersamaan. Lagi - lagi aku menyadari telah jatuh kepadanya terlalu jauh. "Nggak ah, tadi kan sudah waktu mau tidur siang." Ia menolak. Alisnya berkedut tidak suka. Tapi, aku suka melihat rautnya. Menggemaskan. "Kakak ... kenapa gak pergi kerja? Bukannya ini sudah malam ya? Aira dengar suara adzan tadi." "Bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendirian di rumah tanpa seorang pun Aira." "Kakak masuk agak malaman," dustaku singkat. "Benar?" selidiknya. "Apa kamu mulai mencurigai, Aira?" Aku terkikik geli diam - diam. Airaku, sangat spesial. Ya, gadis ini begitu spesial. "Hei, kamu menuduh Kakak berbohong?" Wajahnya terlihat sedang berpikir, bibirnya pun mengerucut lucu. "Hmm ... Kakak banyak berbohong denganku," katanya. "Oh ya, apa yang Kakak sembunyikan dari kamu?" "Banyak," jawabnya cepat. Tidak ada yang benar - benar kusembunyikan darimu, Aira kecuali perasaan ini. Sejak otakku dapat berpikir dengan baik, hanya dirimu yang selalu ada di pikiranku. Kamu menjadi prioritas. "Seperti sekarang, Kakak pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Benar kan?" Tidak juga. Hanya saja ... "Itu hanya perasaan kamu aja." Iya, demi kamu dan kenyamanan yang dapat kamu peroleh. Aira pun mendengus sesaat, aku melirik jam dinding. Hampir menunjukkan pukul delapan malam. Kenapa Ayah belum juga pulang? Tidak biasanya beliau terlambat selama ini. "Kak, Alpha ..." Aku menoleh, menemukan paras ayu itu berada tepat di depan mataku. "Iya?" "Ayah belum pulang ya?" Aku mengangguk, lantas menjawab, "Iya. Mungkin Ayah sedang ada lembur. Kenapa? Kamu menginginkan sesuatu?" Aira menggeleng ia kembali hening tanpa banyak pergerakkan. Aira sedang menginginkan sesuatu, aku paham. Sikapnya selalu berkebalikan dengan yang ia rasakan. "Katakan," ucapku sekali lagi. Ia mengerjap selembut bulu merak, indah dan mewah. Pergerakannya pun seperti sebuah slowmotion. Keanggunan dalam dirinya tidak terelakkan. Ia seperti seorang ratu kerajaan bangsawan. Mungkin terdengar berlebihan tapi, Airaku memang seperti itu. "Ini akan merepotkan, tidak jadi saja," katanya dengan suara mencicit. Semerepotkan apa pun kamu, tetaplah bagiku tidak begitu jelas. Karena sikapku yang seperti inilah, Bintang kerap kali menyebutku bucin Aira. Memangnya, apa itu bucin? Bumbu dapur sejenis micin? Tapi kenapa harus bermerk Aira? "Kakak akan marah kalau kamu tidak menyebutkan apa itu." Iya, aku berlagak mengancam tapi, nadaku tetap melembut. Tidak mau membuat adikku berpikir aku sungguhan marah. Karena itu tidak akan bisa terjadi. Di sampingku, ia meremat jemarinya. Pikiran rumit apalagi itu, Aira? "Aku ... lapar, Kak," cicitnya. Seriously, Aira?! Aku langsung menghembuskan napas lega. Beberapa saat lalu terasa sangat mencekik leherku. Aku kira tadi itu adalah hal yang sangat genting. Aku sungguhan takut. Tapi ... hanya karena lapar? "Kenapa kamu takut untuk mengatakan lapar, Aira? Tidak biasanya kamu begini," kataku. "Hmm ... tapi, aku tidak ingin makan makanan biasanya, Kak." Lantas? "Aira ingin spagethi buatan, Kak Bintang. Itu yang terbaik," sambungnya. Tapi, Bintang sedang bekerja. Dan saat kami berkumpul di cafe pagi tadi katanya ia memiliki shif malam, hari ini. Bintang memang bukan dokter ahli bedah ataupun ahli syaraf. Dia dokter umum tapi, tetap saja Bintang memiliki peraguran yang harus ia taati. "Maaf ya, Kak ... tidak usah saja. Tidak papa kok," ucap Aira karena tak kunjung mendapati jawabanku. Sebab aku pun terdiam. Aku meneliti setiap inchi raut wajahnya. Alisnya mengernyit, bahkan kelopaknyanyang seindah bunga lily itu mengerjap bimbang. Ku tebak, ia pasti merasa bersalah karena permintaannya yang ia bilang akan merepotkan. Adikku ini memiliki hati yang lembut dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Meski terkadang jatuhnya seperti gadis cengeng. Tapi, aku menyukainya sebab, rasa ingin selalu melindunginya semakin besar. Di sanalah letak menarik dalam dirinya. Karena dengan begitu, Aira bisa selalu bergantung padaku, mengandalkanku. Aku menyukainya yang versi manja, meski sebenarnya aku suka semua sifatnya. "Kak Alpha ... maaf." Suaranya terdengar lagi. Jangan terus - menerus berkata maaf, Aira. Aku tidak bisa mendengarnya. Aku pun berdeham sejenak untuk menormalkan suaraku yang mungkin saja akan terdengar parau. Melihatnya bersedih, aku juga mendung. "Hei, kamu tidak bersalah apa - apa oke. Jangan selalu meminta maaf pada Kakak." Ia tak menyahuti namun, bisa kulihat kepalanya mengangguk sejenak. "Kamu tunggu di sini sebentar ya. Jangan ke mana - mana. Kakak ingin ke kamar mandi sebentar," kataku. Aira mengangguk. Aku mulai berjalan ke belakang, bukan sungguhan ke kamar mandi tapi ke dapur. Aku mengeluarkan ponsel genggamku dari dalam saku. Mencari nama Bintang, setelah dapat aku langsung menghubunginya. Dalam sekali deringan, suara Bintang terdengar di seberang sana. "Halo, Al. Ada apa?" "Bi, apa kamu sedang sibuk?" "Tidak juga, hanya sedang membaca. Ada apa, Al? Kamu terdengar terburu - buru?" Aku menghela napas sejenak dan mulai memberitahu maksudku menghubunginya. Kukatakan permintaan adikku dengan berkata maaf terlebih dahulu. Aku khawatir Bintang akan merasa terganggu. "Hanya itu?" "Iya." "Dalam sepuluh menit aku akan sampai di sana. Jangan katakan apa pun pada Aira. Ini akan menjadi kejutan kecil untuknya," vokal Bintang di sana. "Kamu tidak keberatan, Bi?" "Kenapa harus keberatan? Aira juga adikku!" katanya egois pada kalimat terakhir. Aku pun terkekeh ringan. Menyepakati ide mendadak ini, aku pun memutuskan panggilan nirkabel setelah mengucapkan terima kasih. Dan ucapan terima kasih paling besar kuucapkan kepada Tuhan yang masih memberiku kesempatan kedua. Serta mengirimkan orang - orang terbaik seperti Bintang, Chandra, dan terkhusus, Airaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD