Bab 7

1256 Words
Pagi bertandang, ayam jantan berkokok menandakan hari mulai terang. Aku menggeliat sejenak. Ketika membuka mata, pemandangan yang pertama kali kulihat adalah wajah teduh Aira. Adikku terlelap berbantalkan lenganku. Dan hal tersebut tentu saja membuatku bingung. Seingatku, kemarin aku hanya menceknya saja tanpa niatan meneminya tidur. Tapi tiba-tiba semuanya terlihat gelap, sedang terjadi pemadaman listrik bersamaan aku yang akan pergi dari kamar Aira. "Kakak!" Aira mulai gelisah dalam tidurnya. Bahkan ia mengigaukan namaku. Adikku benci gelap. Meski tidak bisa melihat, tapi Aira bisa nengenali ruangan yang nyala lampunya dengan yang tidak menyala sama sekali. Pendengarannya pun lebih tajam dariku dan Ayah. "Kak Alpha!" Ia mulai terbangun dan beranjak. Tentu saja aku mendekat. Cahaya bulan memberi penarangan remang - remang. "Aira, Kakak di sini. Kamu jangan panik, tenang oke," ucapku membuatnya tenang. Saat aku menghampirinya di atas tempat tidur, ia langsung mencekram sejumput bajuku sembari mencicit takut. "Husttt ... tidak apa - apa. Kakak di sini, kamu aman - kamu aman." Aku pun menariknya ke dalam dekapanku dan Aira membakasnya dengan sebuah pelukan yang tak kalah erat. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar kecil. Adikku ketakutan. "Aira ... semua akan baik - baik saja. Kakak tidak akan pergi, kau aman." "Jangan takut, Kakak tidak akan meninggalkanmu." Berbagai macam kalimat untuk menenangkannya pun kuucapkan sembari mengelus punggung kecilnya. Yang demi Tuhan, jantungku berdetak sangat cepat selama itu pula. Puncaknya, saat Aira melingkarkan kedua tangannya dan jatuh tertidur di pelukanku. Membuatku merasa gil@ saat itu. "Hngg ..." Aira menggeliat di dalam pelukanku. "Kak Alpha ..." "Hmm." "Kakak ..." "Iya?" Ia mulai membuka mata perlahan - lahan. Dan ketika kedua obsidiannya membentang menampilakan kelereng berwarna cokelat terang di sana, aku terbius. Dadaku kembali bergemuruh. Ada perasaan takjub dan penyesalan yang kurasa. Sepasang telaga indah itu tak lagi bisa melihat karena diriku. "Kakak? Sudah bangun?" tanyanya dengan suara parau khas bangun tidur. Tak langsung menjawab, aku justru meneliti wajahnya sedetail mungkin. Oh Aira, maafkanlah aku. Tanpa kusadari mataku pun memanas. Dengan sendirinya mengeluarkan air di sana. Karenaku, gadis tidak bersalah ini menanggung semua resikonya. "Aira, maafkan aku. Maafkan aku!" "Kak Alpha? Belum bangun ya?" Ia kembali menyuarakan pendapatnya karena aku tak kunjung merespon ucapannya. Aira bahkan kembali merangsek ke dalam rengkuhanku, meletakkan lagi kepalanya di lenganku untuk ia jadikan bantal dan kembali tertidur di sana. Sementara aku, menahan diri untuk tidak menangis. Aira akan terganggu jika merasakan tubuhku bergetar. Juga, keinginanku yang akan membuat semuanya semakin rumit. Mengecup bibirnya. Ini salah tapi, benakku mendoktrin untuk menjadikannya benar. Aku kakaknya dan Aira, tidak pernah mendapatkan perhatian serta kasih sayang seorang kakak sejak ia bayi hingga tumbuh menjadi anak kecil yang cerdas dan baik hati. Lalu, bukankah sekarang saatnya yang tepat untukku menunjukkan itu semua agar Aira merasa bahagia? Meski sebenarnya, setiap perlakuan yang kuberikan lebih dari sekedar kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. "Maaf, tapi aku mencintaimu Aira." Pada akhirnya, perasaan itu hanya bisa kupendam dan kutelan bulat - bulat. Aira tidak boleh mengetahui perasaanku yang sebenarnya. *** Pukul enam lewat delapan belas. Aku kembali membuka mata. Aira sudah tidak ada di jangkuanku. "Aira?!" Sontak, aku bangun dan hampir saja melompat dari tenpat tidur jika tidak mendapati adikku yang baru saja masuk dan menyebut namaku. "Kak Alpha? Selamat pagi ..." sapanya. Aira mendekat, piyama tidurnya telah berganti setelan rumahan yang biasa Aira kenakan. Ia terlihat luar biasa dengan rambut yang dicepol asal. Airaku sangat cantik. "Selamat pagi, kamu dari mana?" Ia menghampiriku dan duduk di ujung tempat tidur. "Melihat, Kak Bintang, Kak. Dia tertidur di sofa sampai pagi," ujar Aira. Tapi, aku menyuruhnya pindah ke kamarku saat aku pulang. Berarti Bintang tidak melakukannya. Aku pun beranjak dari kenyamanan kasur yang empuk. "Biarkan saja, mungkin Bintang sangat lelah dan tidak sempat pindah ke kamar," jawabku. Aira mengangguk saja. "Kamu sudah mandi?" "Sudah. Ayah sudah pergi berkerja lagi, Kak." Sepagi ini? "Ayah?" "Iya, katanya sedang banyak pekerjaan yang harus Ayah selesaikan. Tadi malam pun, Ayah pulang sangat larut. Hampir memasuki waktu tengah malam." Aira menjelaskan. Apa mungkin Ayah sedang melakukan pekerjaan ganda? Saat Aira masih SMP, Ayah kami pernah melakukan hal tersebut agar Aira tetap bisa membayar uang sekolah yang cukup mahal. Beliau tidak ragu untuk melakukan segalanya agar putrinya mendapatkan pendidikan yang terbaim meski Aira tidak bisa melihat. Aira melakukan kegiatan belajar mengajar secara home schooling. Dan sudah berlangsung selama Aira masih berada di kelas enam Sekolah Dasar. Yang tentunya, cara belajaranya pun istimewa. Aira diajarkan membaca dengan huruf braille. Dan aku tahu seberapa besar keinginan Aira untuk retap belajar. Di awal - awal, Aira selalu menangis ketika membaca. Sebab, huruf yang selama ini bisa ia lihat dan ia baca langsung kini, berganti menjadi huruf braille yang harus ia raba untuk dapat mengerti bacaannya. Ia pun harus belajar menulis dengan tanpa melihat. Dan betapa sulitnya itu bagi seseorang yang tiba - tiba menjalankannya jika biasanya semua berjalan normal. "Apa tadi malam kamu tidur sendirian?" Aku bertanya guna mengalihkan kesedihanku jika mengingat sosok Aira yang dulu. "Hmm ... iya. Tapi, Kak Bintang sempat menyanyikan lagu lulabi untuk Aira. Kak Bintang juga yang memindahkan Aira saat ketiduran di sofa," jawabnya. Aku tersenyum. Bintang sangat menyayangi Aira sama seperti aku yang sangat menjaganya. Ingatkan aku untuk berterima kasih pada manusia beagles itu nanti. "Apa Bintang masih tidur?" Aira mengangguk. "Iya, sepertinya, Kak Bintang sangat kelelahan, Kak." Aku pun beranjak bangun, menghampiri Aira dan mengambil salah satu tangannya untuk kugenggam. "Ayo, kita bangunkan dia." "Jangan, Kak. Kasihan, Kak Bintang pasti akan terganggu." Aku tersenyum, kamu benar - benar malaikat Aira. "Baiklah, kalau begitu ayo temani Kakak membuat sarapan." Aira pun mengangguk. Tanpa banyak kata, ia mengggenggam erat telapak tanganku yang jauh lebib besar dari telapak tangannya yang kecil. *** "Kakak ... aku ingin mengaduk saja." "Tidak boleh, Aira." "Sekali saja, Kak. Aira kan juga ingin memasak." Kulirik adikku, ia mencebik teduduk di meja makan. Sejak tadi, ia memaksa ingin membantuku masak tapi, aku melarangnya. Mulai dari ingin membantuku memotong sayuran yang tentu saja kularang. Mecuci piring, menanak nasi, hingga kini, ia merengek minta mengaduk sayur sop yang ada di dalam panci. "Tidak untuk kali ini, Ra. Nanti kuahnya akan menyipratimu." Aira pun terdiam, ia memasang wajah datar yang kutebak pasti sedang sedih. Maafkan kakak, Ra. Aku hanya tidak ingin melukaimu ataupun melihatmu terluka lagi. "Hoam ... hai guys. Sudah pada bangun ya?" "Selamat pagi, Kak Bintang ..." Bintang, dengan rambut acak - acakan dan wajah cantik sekaligus tampannya, menghampiri kami di dapur. Kemudian ia mendekat pada Aira. "Hai, Princess. Selamat pagi ... bagaimana tidurmu?" "Nyenyak sekali," jawabnya antusias sembari menampilkan senyum indahnya. Aku pun ikut tersenyum di balik meja kompor. "Great!" sahut Bintang. "Hmm ... kamu wangi vanila. Sudah mandi kah?" Bintang mencium pucuk kepala Aira dan memeluknya. "Udah dong. Kakak saja yang masih bau iler." "Wah wah ... padahal di rumah sakit tidak mandi pun banyak perawat wanita yang mengatakan Kakak tampan." "Dih, dasar terlalu kepedean," Aira mencibir. Ngomong - ngomong, Bintang masih memeluk Aira. "Mandi sana, Bi. Jangan menempeli Aira dengan tubuh kotormu itu!" ucapnya nyaris seperti larangan ketidaksukaan. "Hei, Bung. Aira saja santai. Iya kan, Darl." "Huum." Aku berdecak melihat Aira tersenyum dan tidak masalah saat Bintang memeluknya. Tapi, aku yang bermasalah. "Ck, pergi kamu, Bi. Mandi sana, menjauh dari Aira!" Bintang tertawa di sana, ia segera melepaskan Aira dari kungkungannya. "Dasar laba - laba pencemburu!" Bintang mengoceh dengan kekehannya. Terserahlah, yang penting Airaku tidak ia peluk lagi. "Sebentar ya, Darl. Kakak mandi dulu." "Mandi saja sana, tidak usah meminta izin Aira," sentakku. Bintang semakin tertawa geli. Apa yang dia tertawakan. "Kak Alpha ... jangan seperti itu dengan, Kak Bintang." Aira, jangan membela pria lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD