Bab 8

1345 Words
"Jangan berlarian, Aira! Nanti kamu jatuh," aku memperingati. Aira yang sedang berlari di halaman pun segera memelankan langkahnya. Kami sedang istirahat selepas lari pagi di lapangan dekat rumah. Aira yang meminta, ia terus saja merengek. "Kak Alpha, ayo lari pagi. Aira ingin." Dan tentu saja permintaannya sempat kutolak. Adikku tidak bisa terlalu lelah. Namun, dengan segala permohonan dan wajahnya yang mencebik, aku pun menyetujuinya. Maka, di sinilah kami sekarang. "Minum dulu, Ra." Aku mengangsurkan air mineral yang Aira terima dengan arah tangan yang salah. Aku tertegun sejenak, kemudian langsung kutuntun telapak tangannya untuk meraih botol air mineral yang kuberikan. "Apa kamu lelah?" tanyaku. Jika menyangkut kesehatan Aira aku akan menjadi sangat cerewet. "Tidak, Kak ..." Aku membawanya duduk di kursi lapangan yang tersedia. "Kakak?" "Hum? Kamu menginginkan sesuatu?" "Perutku-" "Kenapa dengan perut kamu, Ra?!" Aku sudah curiga, sejak tadi Aira terus saja memegangi perutnya. Aku mendekat, mengusap perutnya dari luar. "Sakit?" Aira mengangguk. "Kita pulang!" putusku. Tanpa banyak perkataan lagi, aku langsung membawa adikku ke dalam gendongan. Tubuh kecilnya terasa sangat ringan saat Aira telah menempel di depan. Ya, aku menggendong depan Aira. Dengan segera Aira pun melingkarkan tangannya di leherku. Ia meletakkan kepalanya di sebelah bahuku. Dan dalam kondisi seperti ini, jika saja Aira tidak mengeluh sakit perut, aku akan sangat terbawa suasana. Aroma vanila seketika memenuhi mukosaku. Itu mengapa aku lebih suka menggendong depan dirinya sebab, aku bisa mencium aroma tubuhnya yang wangi dan segar secara alami. Dan yang paling kusuka adalah ketika Aira melingkarkan tangannya di leherku sembari merebahkan kepalanya di sana. Aku merasa dimiliki olehnya. "Kak, tapi-" "Kakak tidak menerima penolakkan apa pun. Oke? Kita pulang, kamu pasti kelelahan." Aira pun terdiam. Aku bisa mendengar deru napasnya yang tidak teratur. Ia pasti sedang jengkel. Karena sejak tadi memotong perkataannya yang belum rampung. Aku tidak bisa melihat Aira dalam kondisi yang tidak baik. "Kak ... ingin es krim." "Tidak! Perut kamu sedang sakit Aira." "Tapi aku ingin es krim!" sentaknya. Aira memberi spasi bibirnya mencebik, sementara kedua matanya sudah mengkristal. Oh jangan menangis. "Bukankah kamu bilang tadi perutmu sedang sakit? Hmm?" Aku bertanya lembut. Tidak ingin sesuatu yang sudah menumpuk di kantung matanya itu tumpah. Aira mengangguk sejenak. "Tapi, aku sangat menginginkannya, Kak," cicitnya pelan. Perlahan, air matanya mulai jatuh. Ya Tuhan, Airaku menangis. "Hei, oke - oke kita akan membeli es krim. Jangan menangis Aira. Kamu membuat Kakak sedih," ungkapku jujur. Sekarang, setiap melihat kesedihannya aku pun turut merasakan kesedihan tersebut. Kelemahanku adalah dirinya. Kuusap lelehan bening di pipi putihnya dengan hati - hati. Kulit Aira terlalu putih dan pucat. Itu sebabnya aku selalu merasa khawatir meskipun Aira mengatakan dirinya baik - baik saja. Dan karena itu pula, setiap menempelkan tanganku di wajahnya aku tidak pernah terburu - buru. Pelan dan penuh kelembutan. Aku merasa bahwa dirinya adalah kaca yang mudah pecah. Kubelai pucuk kepalanya dan kuberi satu kecupan di sana. Cukup lama kami menunggu, lebih tepatnya mengantri. Karena banyak yang sedang memesan juga. Aira tak lagi bersuara, mungkin ia memang tidak ingin. Kepalanya jatuh terkulai di bahuku. Kuusap punggungnya dengan hati - hati. "Kalian pengantin baru ya?" Aku menoleh, seorang wanita parubaya terlihat di belakangku. "Kau terlihat sangat mencintainya, anak muda," katanya lagi. Begitukah? Aku tersenyum menanggapi. "Iya, dia istriku," jawabku. Ada sensasi bahagia tersendiri saat aku berucap demikian. Aira istriku. Seperti ada jutaan kupu - kupu yang beterbangan di perutku. Wanita parubaya itu tersenyum. "Istrimu sangat cantik, bahkan ketika dia sedang tertidur." Oh, Aira tertidur? Pantas saja sejak tadi ia hanya diam. Aku tersenyum menanggapi, "Terima kasih." "Berapa usia kalian, Nak?" "Dua puluh enam tahun, Bu. Dan istriku-" Istri. Ya Tuhan, dadaku bergemuruh hebat saat mengucapkan Aira adalah istriku. "-dia dua puluh dua tahun," lanjutku berdusta. Tidak mungkin aku mengatakan usia Aira yang sebenarnya. Bisa - bisa ibu ini akan mencapku sebagai ped0fil. Dan tebakan lainnya adalah kami yang menikah karena 'kecelakaan'. Aku ingin nama Aira dan reputasinya baik di mata orang - orang. Jadi, maafkan aku oleh kebohongan kecil ini. "Kalian masih muda. Aku suka melihat wajah istrimu. Cantik sekali," ucap ibu tersebut. "Terima kasih." "Apa ia sedang mengandung? Ibu hamil suka mengidam es krim di saat - saat yang tidak kita duga." Hamil? Airaku? Oh astaga, aku tidak bisa membayangkan jika hal itu benar - benar terjadi dan akulah calon ayah dari bayiyang dikandung oleh Aira tersebut. Aku tersenyum teramat lebar. Kehaluan ini, membuatku bahagia meski hanya sebatas angan - angan. "Hmm ... iya," jawabku sekenanya. Lalu, tibalah saat kami yang akan memesan. Aku segera berbalik arah untuk memesan apa yang adikku inginkan tadi. Tanpa perlu Aira harus mengatakan, aku sudah tau apa rasa favoritnya. Rasa cokelat. "Permisi, Bu." Aku berpamitan pada wanita parubaya tersebut ketika akan lengser. Moodku benar - benar baik. Meski dari awal pun sudah sangat baik. Jika itu selalu bersama dengan Aira. Sepanjang perjalanan, senyum tidak pernah luntur di bibirku. Aku sangat - sangat bahagia. Orang - orang mengklaim Aira sebagai milikku adalah suatu hal yang patut kubanggakan. Kukecupi puncak kepalanya yang masih merebah di bahuku. Aira tampak sangat pulas dalam tidurnya. Sesampainya di rumah, aku meletakkan Aira di kamarnya. Tidurnya bahkan tidak terganggu sama sekali. Ia menggeliat kecil saat tubuh mungilnya menyapa kasur. Aku tersenyum, perkataan wanita parubaya tadi kembali memenuhi isi kepalaku. Istri, Aira istriku. Bibirku kembali merekah, mengukir senyum selebar daun talas. Sungguh, membayangkannya membuatku merasa seperti kembali dalam fase anak remaja. Tanganku kubawa membelai random wajahnya yang terlelap. Dari merapikan tatanan rambutnya, mengusap kelopak mata, dan pipinya. Rona kemerahan terlihat jelas di sana dan aku suka sekali memandangi itu. Airaku tampak sangat polos. Ia bersih sebersih hati dan pemikirannya. "Terima kasih sudah lahir dan hidup sampai sebesar ini Aira," ucapku berbisik. Meski ada kesakitan yang kurasa ketika berucap demikian. Kenyataan bahwa Aira adalah adik kandungku, tidak bisa kuelakkan. Mungkin, takdir memang tidak mengizinkan kami bersama melebihi dari seorang kakak beradik. Lalu, jika kini aku menyalahkan takdir, apakah aku terlihat sangat tidak tahu diri? Tanpa terasa air mata telah mengalir dengan sendirinya di pipiku. Sesegera mungkin kuusap lelehan tersebut. Tidak hanya takdir yang mempertemukan kami sebagai kakak dan adik. Tapi juga tentang masa lalu Aira yang begitu pahit dulu, hingga Aira kehilangan penglihatannya karenaku. Lantas, sekarang, aku berharap bahwa takdir bisa menyatukan kami sebagai sepasang kekasih? Mustahil. Kesedihanku terdistraksi oleh ponselku yang bergetar di saku celana. Aku beranjak dari sana. Keluar dari kamar Aira untuk mengangkat panggilan suara tersebut. Nama Chandra tertera di sana. "Halo, Chan. Ada apa?" "Ada yang ingin kami bicarakan denganmu, Al. Bisakah kamu datang nanti sore ke warung tempat biasa kita makan?" Suara Chandra terdengar yakin di ujung sana. "Ada apa, Chan? Kamu terdengar serius?" "Karena ini memang sangat penting. Mengenai Aira," katanya. Hal penting apa sampai membuat Chandra yang notabene tidak pernah serius, kini bisa terdengar sangat serius dan semeyakinkan ini? "Baiklah, nanti sore aku dan Aira akan ke sana. Sekarang, Aira masih tidur." Kudengar Chandra menghela napas lega. Kemudian, panggilan nirkabel itu pun terputus. Chandra sempat berkata kami tadi. Kami yang selama ini terjalin adalah aku, Chandra, dan Bintang. Jadi, mungkin saja nanti pria itu akan bersama Bintang. Dan seingatku, kami bertiga tidak pernah saling bercerita sampai seserius itu. Atau pun mengangkat topik pembicaraan yang cukup rumit. Kecuali ... Otakku berdenting dengan nyaring. Kilasan balik tentang pembicaraan waktu itu yang kami rundingkan terangkat kembali. Setelah sekian lama. Mungkinkah? "Hngg ... Kak Alpha?" Aira bergumam dalam tidurnya. Memecah konsentrasiku, karena selanjutnya hanya ada nama Aira yang merupakan prioritasku. Ia nampak tidak tenang dalam tidurnya. Terlihat dari kernyitan pada alisnya yang tidak sama. Kuusap perlahan kernyitan tersebut, kemudian kuusap punggung tangannya sampai Aira kembali tenang dalam tidurnya. Obsidianku tidak bisa melepas pandangan darinya sedetik pun. Apa yang kamu mimpikan Aira? Apa itu yang membuat ketidaknyamanan dalam tidurmu? Aku mendekat, mengusap puncak kepalanya lama. Lalu, menyematkan sebuah kecupan kasih sayang sebagai seorang kakak kepada adiknya. Ya, pure sebagai seorang kakak dan bukan sebagai lelaki kepada wanita yang dicintainya. Akal sehatku kembali, kewarasanku hampir sirna sebab terlalu menyayangi makhluk berhati luar biasa ini. Airaku yang istimewa. Aku beranjak dari sisi tempat tidurnya. "Tidurlah Aira, adikku sayang," ucapku tulus. Meski suaraku tercekat saat mendapati takdir bahwa Aira adalah adikku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD