“Jadi, apa kabar baik yang ingin Kakak sampaikan ke aku?” Itu pertanyaan pertama yang Aira cetuskan kepadaku ketika telah duduk di hadapannya. Ada secercah binar dalam pandangan matanya yang kosong. Kedua sudut pada bibirnya pun naik membentuk sebuah lengkungan yang indah.
Bagaimana bisa aku mengatakan yang sebenarnya jika kenyataan hanya akan menyakitimu, Aira.
“Kak Alpha kalau ditanya itu dijawab jangan melamun.” Suara Aira terdengar lagi.
“Hmm ... karena kamu sudah tahu sedikit clue-nya. Coba tebak,” kataku sembari mengambil satu tangan kecilnya.
“Hmm ... tidak tau, Kak Alpha. Tidak ada yang melintas di pikiran Aira.” Bibirnya mengerucut lucu. Mendapati rautnya yang menurut ku sangat menggemaskan, aku tahan jika harus mengurung diri seharian di dalam rumah hanya untuk melihat berbagai macam ekspresi yang Aira tunjukkan.
“Ayo, tebak lagi,” kataku. Selain senang melihat mimik wajahnya aku juga ingin tahu hal-hal baik apa yang akan Aira ucapkan. Apa pun itu, aku yakin bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang sangat Aira inginkan.
“Kakak berkencan ya?”
Dari sekian banyak persepsi – persepsi lain, mengapa ide tidak masuk akal itu yang dirimu ungkapkan Aira.
Sementara di dalam benakku, mungkin Aira bisa menebak dengan tepat bahwa ia telah mendapatkan donor mata atau, kesehatannya membaik. Namun, malah sebaris kalimat dari tiga kata itu yang ia tanyakan.
“Berkencan? Untuk apa Aira? Kakak tidak tertarik dengan hal – hal seperti itu,” jawabku cepat.
Ia menganguk sejenak. “Tidak suka ya, baiklah. Aira pikir Kakak sudah memiliki kekasih yang bisa membantu Kakak menjagaku. Kalau begitu kan, Kakak tidak harus bersama denganku selama dua puluh empat jam. Kakak juga butuh istirahat dan bekerja, tapi dokter Fany bilang aku akan berada di sini selama dua pekan.”
Jadi itu kamu khawatirkan Aira?
“Kakak sudah berhenti bekerja.”
Adikku tampak terkejut dengan yang kuucapkan barusan.
“Kalau begitu, Aira mau pulang saja, Kak,” sahutnya cepat.
Tiba-tiba? Kenapa?
“Aira tidak mau di rumah sakit sampai dua pekan. Itu lama sekali.”
“Kenapa Aira, kamu harus dirawat dulu beberapa minggu ke depan ini.”
Ia menggeleng. Melepaskan tangannya yang berada dalam genggemanku sesegera mungkin. Ini aneh.
“Aira sudah sehat kok, Kak. Tidak merasakan sakit dan lain – lain lagi. Buktinya sekarang Aira tidak apa – apa kan?!” Ia bersikeras.
Oh, ada apa denganmu Aira?
“Jelaskan hal yang masuk akal, kenapa kamu jadi memberontak seperti ini?!” Aira bergeming di posisi duduknya. Saat ini ia sedang duduk bersandar di kepala ranjang dengan sebuah bantal yang membantu posisinya agar tetap merasa nyaman.
Binar ceria dan ekspresi bahagia itu sirna dengan cepat. Yang ada kini, hanya wajahnya yang tertekuk dengan air muka yang sulit kuartikan.
“Aira ...” Nada tegas itu dengan cepat ku ubah menjadi selembut kapas. Aira akan semakin takut jika lawan bicaranya berbicara dengan nada tinggi. Katanya, itu berarti orang tersebut sedang marah dan tidak suka dengannya dan oleh karena itu Aira tak ingin menyahuti lagi sebab, takut apa yang ia keluarkan dari mulutnya nanti justru akan membuat masalah semakin runyam. Itu mengapa, pada saat – saat tertentu jika kami sedang terlibat pembicaraan panjang, Aira akan memilih diam dalam waktu cukup lama.
Ku ambil kedua sisi tangannya yang bebas. Menggenggam telapaknya yang jauh lebih kecil sehingga dapat menelan habis semua bagiannya. Menyalurkan kehangatan yang ku harap bisa membuatnya tenang.
“Kenapa, hmm? Kenapa kamu jadi berkuar ingin pulang setelah Kakak bilang Kakak keluar dari pekerjaan?”
Ia menggigit sebagian bibirnya, ragu ingin menjawab.
“Tidak masalah Aira. Kakak tidak akan marah,” ucapku meyakinkan.
“Sungguh? Tidak marah?”
“Iya, tidak akan marah.”
Hening selama sepuluh detik, sampai kemudian kerisauannya pun ia tumpahkan padaku.
“Pasti Kakak keluar dari kerjaan karena Aira kan? Aira sudah banyak memberatkan Kakak dan Ayah. Aira pasti sangat merepotkan,” cicitnya dengan wajah menunduk.
“Aira akan sangat banyak menguras waktu dan tenaga kalian jika terlalu lama disini-” ia menjeda sejenak. Suaranya mulai parau kedua matanya pun mulai terlihat berkaca – kaca.
Namun, aku tetap diam. Membiarkannya mengoceh sembari menyimak setiap keresahan hatinya. Terkadang, seseorang ‘berbicara’ bukan karena ingin menanggapi tapi, karena ingin menyampaikan maksudnya yang tersirat.
“Ayah jadi sering bolak – balik ke rumah sakit untuk menjagaku, Kak. Padahal kan Ayah baru pulang kerja, pasti lelah tapi sudah harus merawat Aira lagi.”
“Kakak pun sampai berhenti bekerja. Aira pulang saja ya, Kak. Nanti, biayanya juga akan kena terlalu mahal kalau Aira terus di sini.”
“Itu yang kamu khawatirkan?” Aira merespon dengan wajah murungnya.
Kursi tunggal yang ku duduki berderit sebab ku geser mendekati ranjang Aira. Gadis berpiyama rumah sakit dengan binar mata redup dan warna kulit yang terlampau pucat itu ku tarik. Bersandar di bahuku, Aira pernah bilang salah satu tempat favoritnya yaitu di bahuku.
Surai panjangnya yang dibiarkan tergerai kuusap perlahan kemudian menanamkan satu kecupan di puncak kepalanya.
“Jangan berpikir demikian, kamu tahu, kenapa Kakak membawa kamu ke mari dan membiarkanmu mendapati perawatan terbaik?” Masih bersandar di bahuku, Aira menggeleng.
“Karena Kakak akan ikut andil dalam merawat kamu, Ra. Sebagai seorang dokter.”
Mendengar penjelasanku, gadis kecil ini memberi spasi. Matanya mengerjap lucu beberapa kali.
“Kakak kembali?”
Aku mengangguk meski tahu adikku tidak akan bisa melihatnya.
“Demi kamu,” jawabku.
“Kakak menjadi dokter lagi? Apa ini serius?”
“Semua hal yang berhubungan dengan kamu tidak pernah main - main bagi Kakak, Ra.”
Ia menutup mulut dengan telapak tangannya.
“Sungguh?!”
Kutarik kembali gadis ini ke dalam rengkuhanku. “Iya, Sayang.”
Andai kamu tahu, itu ungkapan perasaanku yang sesungguhnya.
Aira tersenyum lebar, ia balas memelukku dengan posesif. Menjadi dokter adalah impian ku sejak kecil dan Aira mengetahui betapa besar kemauanku untuk itu. Dulu, meski masih berada dalam hubungan yang kurang baik tapi, Aira turut menjadi saksi atas perjuangan – perjuangan yang telah kulakukan agar dapat menyandang sarjana dengan gelar yang kudambakan dan menjadi seorang dokter bedah. Aira mengetahui semuanya, bahkan penyebab aku memilih hampir pensiun dari dunia medis ini.
Hingga kini, saat ku utarakan aku akan kembali menjadi Alpha sebagai seorang dokter bedah. Aira tak dapat menahan kebahagiaannya. Ia terlihat jauh lebih bahagia dari pada aku.
“Aira sangat sangat menyayangi Kakak, Kak. Jangan berubah pikiran untuk berhenti lagi ya.”
Saat itu, jantungku berdetak tidak karuan. Debarannya luar biasa tak terkondisikan, aku pun ragu Aira yang sedang menempel di dadaku tidak mungkin tidak mendengarnya.
Bukan, bukan karena kalimat yang mengatakan bahwa ia sangat sangat menyayangiku ataupun menyuruhku untuk tidak berubah pikiran lagi. Tapi, karena sesuatu yang ia lakukan pada sebelah pipiku. Sentuhan kecil dari ujung bibirnya yang terasa dingin di sana. Meski hanya sekali dan durasinya pun tidak lebih dari satu detik. Begitu saja, ia sukses memorak porandakan kewarasanku.
Kecupan ringan yang membuatku hampir berteriak saking senangnya.
Gadis ini, sungguh milikku sepenuhnya. Mutlak!