Bab 14

1091 Words
“Kamu takut jarum suntik?” “Hmm ... sedikit. Aku lebih takut pada tempat ini,” jawab Aira. Lia menoleh ke arahku sejenak. Kegiatannya pada benda tajam dan selang infus Aira pun terhenti, aku mendekat. Mengambil alih alat – alat medis yang Lia pegang. “Aku saja,” kataku. Lia mengangguk, ia mundur beberapa langkah. Aira masih membuang muka ke arah lain, tangannya bahkan bergetar. Kuambil telapak tangan pucat itu. Memainkan jermarinya random. “Ingin jalan – jalan ke taman?” tawarku. Bravo. Aira memutar wajahnya ke arahku. “Memangnya aku boleh pergi?!” katanya seperti peringatan. “Kenapa tidak? Mau?” Wajah pucatnya yang menekuk menampilkan lengkungan tipis di sudut bibirnya. Ia bergumam sembari mengangguk. “Sebentar ya, Kakak ambil kursi roda dulu.” “Tidak boleh jalan?” tanyanya lagi. “Nanti kamu kelelahan Aira.” “Tidak apa – apa Dokter Alpha, Aira juga memerlukan olahraga ringan agar tubuhnya tidak kaku. Asal tidak terlalu jauh dan lama berjalan, itu tidak masalah,” sela Lia. Sejujurnya aku sedikit tidak rela. Namun, melihat wajah ceranhnya seketika membuatku tidak tega. “Baiklah, ayo,” putusku. Mata Aira berbinar, ia segera turun dari ranjang dengan semangat. “Pelan – pelan, Aira!” Aku membantunya turun, ia tampak agak kesulitan. “Terima kasih Dokter Lia yang cantik. Aira main dulu ya ...” Lia yang mendengar pun tertawa geli. Begitu pun denganku yang tidak bisa menahan senyum melihat tingkahnya yang menggemaskan. Aira menyukai alam, ke mana pun tempat bepergian yang ia inginkan pasti akan terdapat destinasi ini dari beberapa daftar tujuannya. Laut, pantai, gunung, taman, semua adalah hal yang ia sukai sejak kecil. Oleh sebab itu sekarang aku membawannya ke taman, walaupun hanya taman di pelataran rumah sakit. Aira memaksa tidak mau naik kursi roda, jadilah sekarang ia yang melangkahkan kakinya dengan riang sepanjang perjalanan. Aku mewanti – wanti dari belakang, takut adikku terjatuh. “Jangan melangkah terlalu lebar, Aira.” Ia mendengus sesaat kemudian menjawab dengan wajah murung. “Iya iya ...” Tidak banyak yang Aira lakukan di sini, ia hanya duduk di bangku taman dengan bibir yang sejak tadi masih mempertahankan sunggingan indahnya. Sebelah tangannya berada dalam genggamanku. Ia tak banyak protes dengan hal yang kulakukan ini. Siang ini matahari tidak terik hembusan semilir angin pun terasa sejuk. Maka dari itu aku mengajaknya ke sini, jika panas terlalu menyengat aku tidak akan membawanya kemari. Aku tidak ingin Aira kepanasan dan berkeringat. “Kak Alpa, kenapa kita tidak pulang saja? Aira tidak kenapa – napa kok. Cuma pingsan saja kan? Biasanya setelah minum obat juga tidak akan terasa sakit lagi,” ia merengek. “Tidak bisa! Jangan membuat Kakak semakin marah,” ucapku tegas. Bisa kulihat air mukanya berubah sendu. Aira pun bungkam. “Apa yang kamu lakukan sampai dokter Lia berkata kamu kelelahan karena pekerjaan berat?” “Hmm ... gak melakukan apa pun kok, Kak. Aira kan bersama Kakak seharian, kerjaanku hanya makan, tidur, belajar - makan, tidur, belajar memangnya sempat melakukan apalagi?” “Jangan berbohong Aira!” Ia menggeleng dengan cepat, wajahnya menoleh padaku dengan pandangan kosong seolah sedang menatapku. Aira memang sedang berbohong. Aku tahu apa yang dia sembunyikan. Aku hanya ingin melihatnya sampai mana ia akan mampu menutupi dariku. Gerak – geriknya ketika sedang berbohong pun mudah sekali kukenali. Aira akan memegang hidungnya secara implusif, dan kebiasaannya itu sejak ia masih kecil. Aku jadi ingat saat baru kerja dan mendapati Bintang di depan pintu sedang mengintip ke dalam rumahku. “Bintang? Kamu sedang apa di sini?” “Hustt! Jangan berisik. Sini!” Tangannya kibas – kibas memerintahkanku mendekat. Saat kepalaku melongok ke dalam, ternyata ada Aira yang sedang rebahan di sofa sembari memainkan kakinya yang menjuntai ke bawah. Awalnya aku juga bingung, itu hanya adikku yang sedang teronggok di atas sofa. Lalu, Bintang buka suara. “Aira baru saja membereskan rak bukumu di ruang tengah, Al. Ia menyusun dan mengelapnya satu –satu. Pasti dia sedang kelelahan.” “Jangan bercanda, Bi? Untuk apa Aira melakukan itu?” Bintang mengendikkan bahunya. “Sepertinya dia bosan berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan apa pun, Al.” Dan hari itu juga aku menyadari saat masuk ke dalam rumah, kondisi rumah lebih bersih dan harum.Jadi, benar apa yang Bintang katakan. “Tidak berbohong, Kak Alpha. Serius!” katanya bersikeras. Tangannya yang berada dalam genggamanku pun seketika berubah dingin. Bagaimana bisa kamu berbohong kalau tubuhmu saja sudah memberikan jawabannya Aira. Meski demikian, aku tak kan memperpanjang. Kucium punggung tangannya sampai tak lagi terasa dingin. “Kak Alpha ... kok cium – cium tangan Aira?” protesnya. “Kenapa? Kakak suka harum tangan kamu. Persis saat kamu masih kecil, bau bayi,” jawabku. “Masa sih? Padahal Aira tidak pakai minyak bayi,” sahutnya lucu. Aku terkekeh, gemas. Airaku yang polos. Bau bayi yang dia artikan adalah bau bayi sungguhan, padahal maksudku itu hanyalah sebuah kata kiasan yang berarti tangannya harum. “Jangan diciumi terus, Kak Alpha nanti kalau ada yang lihat mereka pikir tangan aira itu ceker ayam.” Hahaha ... Aku semakin gemas maka kuraup tubuh mungilnya masuk ke dalam dekapanku. “Tidak apa – apa, kamu kan memang persis anak ayam versi yang warna – warni.” “Mana bisa begitu, Aira tetap Aira adiknya, Kak Alpha yang cerewet bukan anak ayam.” Suaranya serupa cicitan sebab teredam dalam rengkuhanku. Kuhirup dalam – dalam harum surai panjangnya yang selalu membuatku tenang. Memeluknya selama mungkin yang kumau sembari menikmati euforia degupan jantungku yang dua kali lebih cepat. Aku belum pernah merasakan sensasi sebahagia ini saat bersama lawan jenis. Bahkan Chandra dan Bintang bilang aku terlalu polos untuk ukuran pria dewasa berusia 26 tahun karena belum pernah berpacaran. Tapi, kenyataannya aku memang tidak bisa suka dengan wanita lain selain Aira. Dan ketika ku sadari bahwa rasa sukaku ini berbeda makna dari suka biasa. Aku gelisah, takut, dan khawatir. Mengapa sekalinya aku jatuh cinta harus kepada Aira? Yang notabene-nya adalah adikku sendiri. "Ayo masuk, anginnnya semakin kencang. Kakak tidak mau kamu masuk angin," kataku. Matahari memang tidak sepanas biasanya tapi, tiupan angin semakin lama semakin kencang. Aku takut Aira kenapa - napa mengingat tubuhnya yang sangat lemah. "Aira lelah jalan, Kak." Sekarang ia merengek padahal tadi dirinya sendiri yang ngotot tidak mau naik kursi roda. Aira Aira ... Tanpa banyak bicara segera kuangkat tubuh kecilnya dalam gendonganku. Gendong depan, karena sejak kecil dia suka sekali digendong depan oleh Ayah. Aira pun dengan senang hati menyandarkan kepalanya di bahuku. "Aira juga suka bau harum, Kak Alpha. Aku jadi mengantuk," gumamnya sembari menguap. Aku tertawa geli melihat kelakuannya. "Tidurlah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD