Kalau kamu laki-laki jantan, kamu harus berani katakan yang sebenarnya terjadi. Jangan tutupi satu kebohongan dengan kebohongan lainnya! Kalau iya, mulai saat ini kamu ganti celana panjangmu dengan rok saja dan ganti namamu jadi Zackiyah! Jangan menumpuk dosa Zack! Lihatlah betapa istrimu itu butuh perlindungan dan kejujuranmu!
Seperti biasa, sisi baik hatinya memberi nasihat, tanpa basa-basi.
Heh, enak saja! Jantan, jantan! Zack bukan ayam! Lagipula jika dia beri tahu Elena yang sebenarnya, Zack pasti akan langsung ditendang dari keluarga tajir melintir bak petir ini! Bisa jadi sedetik kemudian dia juga tidak bisa melihat matahari esok pagi. Tenang saja Zack, aku dukung kamu untuk membuat skenario yang masuk akal. Bukan bohong loh ya, dia hanya tidak mengatakan yang sesungguhnya saja. Ingat, kamu harus sepintar mungkin mengatur skenario yang tidak akan dicurigai oleh Elena dan eyang!
Tentu saja, sisi buruk hatinya protes jika Zack berkata sejujurnya. Sudah menjadi tugasnya untuk menjerumuskan Zack, menjadikan hal yang buruk menjadi tampak baik, tampak tidak apa-apa, padahal sekali salah, sampai kapanpun tetap saja itu sebuah kesalahan. Bahkan memelintir dengan memberi saran bukan bohong hanya tidak berkata sesungguhnya! Padahal, apa bedanya?
“Zack, aku kenapa kok bisa ditabrak truk sih? Gak elit banget deh.” Elena mengguncang pelan lengan Zack, berharap mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya. Zack tergagap karena tadi masih berdebat dengan sisi baik dan buruk hatinya, tentang apa yang akan dia ceritakan pada Elena.
“Elen sayang, mau ditabrak Ferarri sekalipun juga, itu gak elit loh, kamu ini, ada-ada saja.” Zack menjawil hidung bangir Elena, mengusir rasa resah yang menderanya. Dia harus ingat untuk berkata hal yang sama dengan yang dia ceritakan pada eyang, sehingga semua skenario seperti nyata. Toh, sebuah alat pendeteksi kebohongan, tidak akan mampu mendeteksi kebohongan pada apa yang dia yakini itu benar jika pada alam bawah sadarnya dia menekankan memang itu yang terjadi kan?
“Hehe, iyaa ding. Aku kenapa dong jadinya?” Elena menuntut jawaban. Mata bulat indahnya sudah tidak selayu beberapa hari lalu saat tergolek lemah di rumah sakit.
“Maaf sayang, sebelumnya aku sungguh ingin minta maaf padamu. Tolong maafkan aku ya.” Kecup Zack di bibir merah merekah itu. Sungguh dia takut ingatan Elena tiba-tiba kembali dan mengingat sepenuhnya kejadian di hotel itu.
“Iya aku maafkan, walau aku gak tahu kamu berbuat salah apa sih. Sepertinya juga kamu gak mampu berbuat salah padaku kan Zack? Bukankah kamu sangat mencintaiku? Buktinya kamu sangat memanjakan dan perhatian banget ke aku kan?” Kerling manja Elena, malah semakin membuat hati Zack remuk. Zack semakin mengeratkan pelukannya.
Andai kamu tahu yang sesungguhnya terjadi Elen, kamu pasti tidak akan mungkin berkata seperti itu!
Zack mengambil nafas dalam sebelum mulai berkata, “Waktu itu aku menjadi narasumber utama sebuah seminar yang diadakah di hotel di Bogor selama dua hari. Kamu sedang berada di Singapura untuk keperluan bisnis, seharusnya kamu ada di negeri singa itu selama tiga hari. Tapi mendadak kamu menyusulku ke hotel, ternyata untuk memberiku kejutan bahwa kamu hamil.” Sampai sini Zack masih cukup lancar bercerita, karena memang itu yang terjadi. Sama sekali tidak ada kebohongan yang dia buat.
Zack menelan ludah, karena selanjutnya adalah tahap yang berat, bagaimana sebisa mungkin dia bercerita tanpa membuat Elena curiga padanya atau Tatyana. Ya, dia sungguh jahat karena memanfaatkan amnesia Elena. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia harus mampu menyelamatkan selain diri sendiri, juga biduk rumah tangganya. Saat ini, itu tujuan utamanya.
“Lalu? Kenapa kamu berhenti cerita?” Tanya Elena tidak sabar. Zack menjeda terlalu lama. Seperti sedang berpikir apa yang akan disampaikan.
“Huuft… euumm di hotel itu kamu memergokiku bersama Tatyana dan… haaah... yaa itu membuatmu salah paham. Kamu sangat marah padaku…” Zack menelan ludah lagi, kali ini sangat kasar, tadi dia akan terselip lidah menyebut nama Fenty, perempuan binal satu lagi yang menjadi teman kencannya saat itu, “aku belum sempat memberi penjelasan tapi kamu sudah berlari kencang tanpa pedulikan hujan yang turun sangat lebat. Mungkin karena emosimu yang sedang memuncak, kamu jadi tidak waspada dan malah kaget, berhenti di tengah jalan saat ada truk yang mengklakson sangat keras dan melaju cukup kencang. Setelah itu kamu terkapar di aspal bersimbah darah. Yaah, kamu tahu lanjutannya sayang, maaf, aku tidak sanggup melanjutkan lagi untuk cerita. Sepertinya di ingatanku masih sangat jelas saat aku memelukmu yang bersimbah darah. Aku sangat takut saat itu, takut kehilangan kamu, Elen. Maafkan aku, aku sungguh-sungguh minta maaf Elen, karena aku, kamu jadi seperti ini.” Zack memeluk Elena sangat erat.
Berkali-kali kata maaf terucap dari bibirnya. Berkali-kali pula dia ciumi pucuk kepala Elena. Elena mendunga, saat merasa ada sebulir air yang terkena pipinya. Karena dia tidak menangis, berarti Zack yang menangis.
Elena mengusap lembut sudut mata Zack yang terpejam, dia tidak tega melihat Zack menangis tanpa suara. Mungkin berat bagi seorang lelaki untuk menangis? Beda dengan kaum hawa dan air mata yang ditakdirkan sepaket, bagi laki-laki dengan ego yang tinggi, mungkinkah mereka takut diejek tidak jantan jika meneteskan air mata?
“Shht sudahlah… kenapa kamu nangis Zack? Alhamdulilah aku gak papa kan? Bayi kita juga gak papa kan? Kamu gak kehilangan kami kok.” Elena coba hibur Zack agar berhenti menangis, nyatanya Zack yang tadinya menangis tanpa suara, sekarang malah menangis tersedu-sedu mendengar Elena berucap kata tidak kehilangan bayi mereka.
“Loh loh Zack, kenapa malah tambah kenceng sih nangisnya? Duuh apa aku salah ngomong ya?” Elena jadi panik melihat ini.
Karena Zack yang tak kunjung hentikan tangisnya, akhirnya Elena bangun, duduk di pangkuan Zack dan merengkuh tubuh kekar itu ke dalam pelukannya. Kepala Zack ada di dadanya. Zack memeluk erat pinggang ramping Elena. Elena mengusap rambut hitam tebal Zack. Sesekali dia yang bertindak menenangkan tidak apa-apa kan?
“Euum kalau kamu mau nangis, nangis aja gak papa Zack. You always have my shoulder to cry on.” Bisik Elena, tangannya juga mengelus punggung Zack coba memberi suaminya itu kekuatan.
“Elen sayang, maukah kamu berjanji satu hal padaku?” Tanya Zack, dengan tetap menangis tergugu. Posisi mereka tidak berubah, tetap berpelukan erat.
“Janji apa Zack? Kalau aku mampu, aku akan penuhi.” Lihatlah, betapa baik Elena.
Zack merenggangkan pelukan mereka agar bisa melihat tepat ke manik mata Elena. Istrinya ini sungguh mulia, tidak hanya cantik, tapi juga berhati baik dan polos hingga kadang dimanfaatkan oleh orang lain yang ingin mengambil manfaat darinya, tanpa Elena ketahui. Contohnya adalah dirinya sendiri, suaminya! Memanfaatkan kepolosan dan kebaikan hati Elena demi syahwat sesaat.
“Berjanjilah kamu tidak akan meninggalkanku kelak, walau apapun yang terjadi.” Pinta Zack dengan suara pelan namun serius. Kening Elena berkerut mendengar itu.
“Kenapa aku akan meninggalkanmu Zack?” Elena malah bertanya, nadanya penuh keheranan pada permintaan Zack yang tiba-tiba dan menurutnya aneh.
“Kumohon Elen, berjanjilah!” Pinta Zack, putus asa, setidaknya rasa bersalahnya bisa sedikit berkurang jika Elena mau berjanji tidak akan meninggalkannya.
“Tidak usah khawatir Zack, aku tidak akan meninggalkanmu.” Akhirnya terucap jua janji dari bibir Elena yang masih pucat. Zack mendesah lega, dia tersenyum, puas, setidaknya tidurnya akan lebih nyenyak mulai malam ini mendengar janji yang diucap Elena.
“Tapi, janjiku itu tidak akan berlaku Zack, jika…” Elena seperti ingin meralat ucapannya.
Senyum puas Zack langsung saja sirna saat mendengar Elena akan membatalkan janjinya, jika…
“Jika apa sayang? Tolong jangan membuatku penasaran.”