7. His Lie to Cover Another Lie

1537 Words
Elena melihat ke arah Zack yang mendadak wajahnya berubah pucat, seakan baru saja melihat penampakan makhluk astral di siang bolong. “Jika kamu bohong padaku Zack! Aku tidak akan ragu untuk langsung meninggalkanmu, sesulit apapun itu, karena aku tidak suka dibohongi. Walaupun aku sungguh mencintaimu!” Tegas Elana. Zack mengangguk, tersenyum pahit. Sepertinya itu hanyalah masalah waktu saja untuk Elena meninggalkannya. Takdirnya sudah tertulis seperti itu. Tapi mungkin saja dia bisa merubah takdirnya kan? “Huaaaehmm.... Aku ngantuk Zack, temani aku tidur ya. Sepertinya aku merasa nyaman dan suka jika tidur di pelukanmu, tidur berbantalkan lenganmu ini.” Elena berikan senyum terbaik, mencari posisi yang nyaman di atas lengan kekar Zack. “Iya sayang, tidurlah. Aku temani.” Zack juga mencari posisi senyaman mungkin. Sesekali dia kecup pucuk kepala Elena yang sudah lelap tertidur. Dengan Elena ada di pelukannya, pikiran Zack mengembara. Sekali lagi, dia merutuki kebodohannya. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur! Sekarang dia harus bisa mencari jalan keluar terbaik agar Elena tidak menendangnya, tidak ajukan gugatan cerai, saat ingatannya sudah kembali sepenuhnya. Satu-satunya cara adalah dia harus mengikat Elena agar tidak terlepas! Bagaimana caranya? Anak! Ya, mereka harus secepatnya punya anak. Elena harus secepatnya lagi hamil, itu artinya setelah Elena benar-benar pulih nantinya, dia harus rajin menggenjot istri cantiknya terutama saat masa suburnya agar bisa segera hamil. Senyum terkembang di bibirnya saat merasa sudah mendapatkan sebuah ide cemerlang sebagai jalan keluar. Saat ini hanya itu yang bisa terpikir olehnya dan berharap ide ini bisa berhasil. Semoga saja, tidurnya bisa lelap mulai malam ini. * Beberapa minggu setelah kecelakaan itu, Elena semakin membaik. Kondisi fisiknya berangsur pulih, luka-lukanya sudah mengering. Hanya saja, entah kenapa, amnesianya belum juga menghilang. Elena belum bisa mengingat keseluruhan hidupnya. Sesekali, sakit kepala hebat masih menderanya dengan tiba-tiba, bagai ditusuk ribuan jarum secara bersamaan. Seperti vertigo bercampur migrain dan terjadi sekaligus! Jika itu terjadi, maka perawat akan langsung memberinya obat sakit kepala paten agar dia bisa istirahat, tidur. Tim dokter yang dipilih Zack juga bergantian memeriksanya, memberi laporan perkembangan harian untuk Zack juga eyang, yang memantau dari kampung. Pagi ini, Zack sengaja membuat sarapan untuk Elena. Sejak Elena kembali ke rumah, dia memanjakan Elena dengan sesekali memasak yang sederhana, tidak rumit. Pagi ini dia membuat omelet dan roti lapis spesial. Elena butuh protein sebagai zat pembangun untuk mengobati luka-lukanya, luka fisik tentu saja, bukan luka hati yang dia torehkan begitu dalam. Elena menikmati suasana pagi ini. Dia duduk di bangku bar tinggi sambil menyesap s**u coklat panasnya. Di depannya, tubuh kekar Zack bergerak seirama tangan kanannya mengaduk telur di penggorengan. Hmm, membayangkan tubuh kekar Zack yang berbalut t shirt putih dan celana pendek, serta memakai celemek warna pink bermotif kelinci, membuat lelaki itu nampak seksi di matanya. Rambut pendek Zack yang masih basah karena mandi besar, yaa sudah beberapa hari ini akhirnya mereka bisa melakukan aktivitas ranjang walau sangat hati-hati. Bulir air sisa keramas bercampur keringat mengalir di leher bagian belakang Zack. “Hihihi…” Elena terkikik geli, membayangkan betapa kontras Zack yang semalam dengan gagah perkasa menindihnya tapi sekarang memakai celemek pink dengan gambar kelinci. Kikikan Elena membuat Zack menoleh ke belakang, keningnya berkerut melihat Elena menutup mulut dan tertawa geli, seperti ada sesuatu yang menyenangkan hati istri cantiknya itu. Zack matikan kompor, bersiap menata telur di piring agar sajian sederhana itu bisa menggoda selera. Diletakkannya piring saji berwarna putih yang di atasnya sudah tertata omelet, tomat ceri juga sambal instan. Roti lapis dia sajikan di piring terpisah. “Hmm… Done!” Senyum puas Zack saat menyajikan sarapan, tidak mampu menghentikan kikikan tawa Elena. Zack berjalan ke sebelah Elena, menyandarkan punggungnya ke kitchen island, melihat Elena dengan tatapan bingung, “kamu kok dari tadi ketawa sendiri sayang? Ada apa? Sepertinya lagi hepi banget ya? Apa karena semalam kita ke langit ketujuh bersamaan ya?” goda Zack. Tangannya memegang cangkir kopi, menyesap kopi hitam pahitnya yang sudah hangat, tidak lagi panas. “Kamu seksi banget loh Zack, tahu gak?” Jawab Elena, setelah berhasil menghentikan kikikan tawanya. “Tahu dong, tahu banget malah. Lagian dari dulu loh aku seksi, kok kamu baru menyadari sih?” Jawaban receh Zack membuat Elena tertawa lepas. Sebuah tawa yang mengundang perih di hati Zack, berharap semoga bisa selamanya dia yang menjadi sumber tawa renyah Elena. “Sini deh…” tangan Elena melambai, menarik celemek yang dipakai Zack agar tubuh itu mendekat ke arahnya, “yang bikin tambah seksi tuh… celemek ini, tahu gak!” Kerling nakal Elena pada Zack. “Kok celemek sih sayang? Bukannya karena tubuhku yang semakin seksi ya?” Tanya Zack, masih belum bisa meraba apa maksud Elena. “Euum no no, maksudku, tubuh yang kekar ini bergoyang seirama kamu menggoreng omelet tadi, nampak seksi banget loh untukku. Apalagi ditambah bulir keringat yang jatuh, jadi membuatku tambah jatuh cinta deh Zack.” Elena peluk erat Zack. Zack letakkan cangkir kopinya di meja, dia menunduk dan melumat bibir penuh Elena beberapa lama, hingga desahan Elena menyadarkannya. “Aku sebenarnya ingin melanjutkan, tapi kasian kamu. Semalam sudah, tadi pagi habis subuhan juga sudah. Aku gak mau kamu kelelahan.” Bisik Zack, ibu jarinya mengusap lembut bibir Elena yang sedikit membengkak karena ulahnya. Dia tahu, Elena juga menginginkan kelanjutan lumatan bibirnya, tapi keduanya tahu diri, tidak mau memaksa dengan alasan masing-masing. Jika Zack berpikir dia takut Elena akan kelelahan, tidak begitu dengan Elena. Alasannya berbeda. “Iya, aku juga takut, si baby akan kenapa-napa Zack kalau kita terlalu sering b******a dengan posisi kamu di atasku. Mungkin kita harus berganti posisi untuk lebih aman. Aku yang di atas aja ya Zack? Jadi selain aman untukku, juga untuk si baby nih.” Tangan kanan Elena mengelus perutnya yang masih rata, tangan kirinya masih berada di pinggang Zack. Andai saja Elena tadi sempat melihat perubahan wajah suami tampannya, dia bisa curiga pada penyebab perubahan ekspresi itu. Sekali lagi, Zack merasakan sakit dan nyeri luar biasa karena ucapan Elena. Lihatlah Zack, istrimu begitu bahagia dan kamu tega membohonginya terus menerus! Jujurlah pada Elena, walau hasilnya akan sangat menyakitkanmu, tapi percayalah, itu yang terbaik untuk keberlangsungan rumah tangga kalian. Sisi hati baiknya mulai ceramah pagi hari, tidak bosan memberi nasihat pada Zack agar jujur pada Elena. Hei.. hei… kuliah subuh udah lewat keleuusss! Ini udah pagi! Sudah jam tujuh lebih, masih aja kasih kuliah subuh! Gak perlu jujur Zack! Kamu abaikan saja apa kata tetangga sebelah itu. Ingat, kakimu sudah tercebur, celanamu sudah basah, kamu sudah mulai menjalankan rencanamu kan, dan buktinya semua berjalan dengan baik dan normal. Ingat keluargamu! Papa, mama dan adikmu. Kalau kamu buyarkan rencanamu, keluargamu juga akan buyar. Lanjutkan saja apa yang sudah kamu rencanakan! Seperti biasa, tentu saja sisi buruk akan menentang apapun yang dinasehatkan oleh sisi baik. Zack menjadi semakin bimbang, terus lanjutkan rencananya atau memilih jujur pada Elena. “Zack, kok kamu berdebar gitu sih? Kenceng banget tuh, kamu deg deg-kan yaa? Kenapa? Sakitkah? Kecapaian karena mengurusku ya Zack?” Karena sibuk ‘berbincang’ dengan dua suara hatinya, dia sampai tidak menyadari Elena memeluk erat dirinya. Lihatlah, bahkan Elena sangat peduli padanya kan? Bagaimana dengan dirinya? Apakah dia juga peduli pada Elena? “Enggak kok gak sakit, tapi emang iya sih deg deg-kan karena dekat kamu.” Cengiran lebar pada bibir Zack kembali membuat Elena tertawa renyah. “Kamu kenapa jadi tukang perayu ulung gini sih Zack? Udah aah, sarapan yuk, kalau dingin nanti gak enak loh, lagian kamu kan harus segera berangkat ke kantor.” Elena melepas pelukannya dan mulai melahap sarapan yang disiapkan oleh Zack. “Zack…” “Euum…?” Mata Zack beradu Elena, tiap kali dia menatap wajah cantik itu dengan tatapan mata penuh ingin tahu, hati Zack mencelos. Takut tiba-tiba Elena menyadari semua kebohongan yang dia buat. “Aku bosan tiga minggu di rumah mulu. Aku boleh ikut ke kantor ya, buat refreshing juga kan. Lagian aku juga mau ketemu Tatyana, mau ngobrol dengannya sekalian minta maaf karena aku sudah suudzon pada kalian.” Kata Elena dengan polos. Tapi kepolosan Elena membuat mata Zack membola, bahkan dia sampai tersedak air minum yang baru saja dia tegak karena terlalu kaget mendengar permintaan Elena. Apakah Elena sudah mulai kembali ingatannya? Mau apa dia ingin bertemu Tatyana? Ada apa ini? Aku harus kembali mencari alasan yang masuk akal agar dia tidak curiga. Bohong dan bohong lagi! Lama-lama aku akan tenggelam dalam kebohonganku sendiri jika terus seperti ini! “Eeh tapi kata dokter kan kamu belum boleh banyak aktivitas fisik, kamu harus banyak istirahat Elen. Bukannya aku menolak, tapi dokter yang melarang.” Zack berikan alasan. “Tapi aku bosan! Benar-benar bosan…” keluh Elena, bibirnya mengerucut, cemberut karena kesal permintaannya tidak disetujui oleh Zack, “tiga minggu di rumah gak ada yang jenguk. Iya sih aku gak punya banyak sahabat, tapi seenggaknya ada teman atau rekanan yang bisa jenguk aku kan? Eyang juga cuma video call saja. Siapa tahu kalau udah ketemu Tatyana kan kami jadi bisa ngobrol banyak, terus aku ngerasa baikan. Boleh yaa Zack?” Rayu Elena dengan mata berbinar. Boleeh?? Aduuh bagaimana ini? Alasan apalagi yang harus aku buat agar Elena tidak curiga? Kebohongan apalagi yang harus aku buat agar Elena tidak menyadarinya? Memang benar apa yang orang katakan, bahwa suatu kebohongan pasti akan dibuat untuk menutupi kebohongan yang sebelumnya! Bohong, lagi lagi aku harus bohong pada Elena!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD