A and K | 5

2011 Words
Masih pagi, apartemen Alsen rumah ramai dengan omelan seorang wanita. Dia, Olivia. Sekitar jam setengah tujuh, dia sudah tiba di apartemen Alsen berniat menyiapkan sarapan dan semua kebutuhan Alsen yang lain. Hal seperti ini tidak hanya sekali dua kali dia lakukan, namun hampir setiap hari jika sedang dalam mood berbaikan dengan Alsen. Jika sedang marahan, Olivia biasanya lebih memilih mengurung diri di apartemennya--sampai Alsen datang kepadanya dan meminta maaf. Benarkan dugaan Alsen tadi malam, pagi ini akan terjadi kekacauan. Alsen bukan peramal, tapi dia tahu bagaimana sifat dan sikap kekasihnya dengan sangat baik. Olivia tipe pencemburu, tidak rela sekali jika Alsen direbut oleh wanita di luar sana. Dia bisa jadi jahat karena hal ini, emosinya memang kadang sulit dikontrol. Saat melihat keberadaan Kania tertidur pulas di tempat semalam, seluruh tubuh terbungkus selimut tebal, terpaksa bangun mendengar teriakan suara emas milik Olivia yang melengking memekakkan telinga. Kania kaget, hampir saja dia terjungkal dari atas sofa. Dadanya naik turun, untung saja jantungnya buatan Tuhan jadi tahan banting. Bayangkan kalau buatan manusia? Beh ...! "Siapa kamu?!" tanya Olivia penuh intimidasi. Jari telunjuknya terarah pada Kania yang masih syok, sebelah tangannya yang lain terlipat di pinggang. Matanya menukik tajam, penuh emosi. "A-aku ...." "Kenapa bisa ada di apartemen kekasihku?!!!" pekiknya lagi tidak memberikan celah Kania memperkenalkan diri. "Sejak kapan Alsen berani membawa cewek lain ke apartemennya selain aku dan Tante Ara?!" Wajah Kania pucat pasi. Dia kembali menjadi dirinya yang sebenarnya, takut akan bentakan orang lain. Kania sangat menghindari cacian orang-orang dengan selalu bersikap sebaik mungkin. Dia takut dibenci orang, sebab Kania hidup hanya seorang diri di sini. Kejahatan bisa datang dari mana saja, jangan sampai Kania terjerumus ke hal seperti itu. "Aku, Kania." Olivia melipat kedua tangan di depan dadaa. Tatapannya masih setajam belati, siap menusuk lawan jika berani macam-macam kepadanya. "Jawab pertanyaan, kenapa kamu bisa ada di sini?! Tidakkah kamu tahu, ini adalah tempat pribadi kekasihku? Tidak ada orang asing yang boleh masuk, tidak terbuka untuk umum!" Olivia berapi-api. Pagi-pagi sudah senam jantung. Kania tergagap. Dia bingung harus bersikap bagaimana, wanita di hadapannya sudah layaknya kompor meleduk. "Ke-kemarin Alsen tak sengaja mau menabrakku, aku pingsan dan di bawa ke sini." Mata Olivia melebar. Kemarin malam dia sempat melakukan panggilan video, tetapi Alsen sama sekali tidak memberitahunya soal ini. "Apa saja yang kalian lakukan selama berdua di sini?" Dalam hati Olivia merasa takut jika sudah terjadi sesuatu antara Alsen dan cewek itu. Bisa saja kan? Argh! Olivia berusaha membuang pikiran kotornya. Tidak ada yang boleh menyentuh Alsen sebelum dirinya. Kania mengangkat kepala. Apa saja yang dilakukan? Kenapa Kania merasa tidak nyaman dengan kata-kata itu? Seperti menyudutkan dirinya telah melakukan sesuatu hal yang tak senonoh dengan Alsen, dalam tanda kutip kegiatan panas orang dewasa. "Gak ada. Malah aku dan Alsen lebih banyak beradu mulut. Oh ... hampir aja lupa, dia membuatkan aku sosis bakar tadi malam, itu saja." Kania mengangguk, membenarkan apa yang dia ucapkan. Apa adanya, tanpa ditutup-tutupi sedikit pun. "Apa? Membuatkanmu sosis bakar?" Kania mengangguk polos, padahal itu adalah bumerang baginya. Kedua tangan Olivia terlipat, napasnya memburu. Tumben sekali Alsen bisa bersikap seperhatian ini kepada orang asing, apalagi orang asingnya adalah perempuan. Olivia benar-benar tidak menyukainya, dia cemburu. Hatinya terbakar, semakin muak melihat wajah Kania. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Olivia segera berlalu menuju lantai atas. Menggedor-gedor pintu kamar Alsen yang terkunci dari dalam. Satu lagi, tumben sekali Alsen mengunci kamarnya ketika tidur. "Alsen! Sayang, bangun!!!" teriaknya terdengar begitu kesal. Masih pagi, tapi emosinya sudah beberapa kali disulut saja oleh keadaan. Olivia harus meminta penjelasan dari Alsen langsung, agar dia percaya. Awas saja kalau alasannya tidak masuk akal! Alsen membuka pintu, menggeliat di depan kekasihnya sambil merentangkan otot-ototnya. Dia tidak mengenakan baju--bertelanjang d**a, hanya mengenakan celana pendek. "Kamu sudah datang? Kok pagi banget sih?" tanya Alsen sambil menggaruk pipinya yang tiba-tiba gatal. Wajah bantalnya tidak sama sekali mengurangi kadar ketampanan. Keturunan dari Elvano memang tak pernah gagal. "Aku mau ngomong!" Olivia menarik Alsen ke dalam, menutup pintu kamarnya kembali. "Kamu apa-apaan, sih? Kok bawa cewek lain ke sini? Pake diizinin nginap segala juga!" desisnya kesal. Olivia menolak rengkuhan Alsen yang akan memeluknya untuk meredakan amarah. "Hey, jangan marah-marah dong. Masihan pagi, Sayang. Udahan dulu marahnya, nanti aku jelasin. Oke?" Alsen mencoba meraih kedua tangan Olivia, setelah berhasil Alsen langsung mengecup punggung tangannya secara pergantian. Alsen begitu paham bagaimana caranya meredakan amarah wanita, pria idaman kaum hawa bukan? "Kamu buatin dia sosis bakar?" tanya Olivia lagi. Dia kini membuat muka, tanda kesalnya membumbung tinggi sampai tak ingin melihat wajah Alsen. Alsen menarik napas. "Iya, Sayang. Tapi itu murni sebagai permintaan maaf aku karena hampir buat nyawa dia melayang. Bayangin aja, dia syok banget sampai pingsan lama banget." "Kenapa kamu bawa dia ke sini? Berduaan juga, aku gak suka liatnya! Dia itu cewek Al, aku takut dia ...." Alsen meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Olivia, pertanda jika Olivia tidak boleh melanjutkan ucapannya lagi. "Gak akan ada apa-apa, Sayang. Kamu tahu aku sayang kamu kan, mana bisa aku berpaling ke orang lain. Apalagi kamu lihat sendiri, dia hanya gadis kecil. Beda jauh sama kamu yang sudah dewasa." Begitulah kiranya tipe cewek yang Alsen sukai. Dewasa, cantik, mandiri, pintar memasak, pokoknya semua yang ada dalam diri Olivia Alsen hampir menyukai semuanya. Hanya satu mungkin yang kurang, Olivia terlalu berlebihan soal cemburu. Padahal Alsen tahu di mana letak hatinya. Olivia adalah rumah kedua bagi Alsen, setelah keluarga tentunya. Olivia menghela napas. Emosinya sedikit mereda. "Kapan dia pulang?" "Tentu saja secepatnya. Aku akan mengantarkannya setelah cuci muka dan gosok gigi." "Jangan mengantar dia! Kamu tetap di sini saja, temani aku membuat sarapan. Biarkan gadis kecil itu pulang sendiri, dia sudah cukup dewasa dan mengerti ke mana harus pulang--bukan anak usia lima tahun lagi yang masih memiliki kemungkinan untuk tersesat." Kalau sudah seperti ini, bagaimana Alsen bisa menolak? Coba saja kalau berani, Olivia akan mogok bertemu dan bicara padanya. Alsen sangat menghindari hal tersebut. "Iya, Sayang, aku tetap di sini. Nanti biar aku kasih ongkos taksi dia." Olivia mengangguk. "Ya sudah kamu cuci muka dulu, gosok gigi yang bersih. Aku mau buat sarapan dulu buat kita." Alsen mengiyakannya. "Kamu gak lupa kan hari ini ada rapat penting dengan pihak agensi jam sembilan?" "Iya, Sayang." Alsen menyempatkan diri mengecup kening Olivia. "Terima kasih sudah mengingatkan setiap jadwalku." "Iya, kan aku sayang kamu." Olivia mengacak-acak rambut Alsen. "Masih aja ganteng meski baru bangun tidur begini. Gemas banget aku tuh!" Alsen tertawa kecil. "Pria ganteng ini siapanya kamu, sih?" Olivia terdiam sebentar. "Calon masa depan, mungkin?" "Tentu saja." Senyum keduanya merekah. Lalu sama-sama tertawa kecil. **** Olivia melangkahkan kaki menuju dapur, tanpa menoleh sama sekali ke arah Kania yang nampaknya sedang duduk penuh kebingungan. Sementara Alsen, pria itu mencuci wajah dan menggosok giginya. Wanita itu membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan yang dia butuhkan untuk membuat sarapan sehat. Mungkin hari ini Olivia akan membuat sereal, telur rebus, roti gandung, dan buah-buahan segar. Biasanya setiap pagi Alsen tak memakan makanan berat, dia terbiasa menjaga pola makan sehat agar tubuhnya juga terbentuk dengan bagus. Terlihat dari pahatan otot-ototnya yang kuat dan keras--nampak sempurna sekali. Kekar layaknya pria idaman kaum wanita. Usai membersihkan wajahnya, Alsen keluar dari kamar menggunakan celana di atas lutut dipadukan dengan kaos longgar putih polos. Alsen menghampiri Kania. Hal ini tak terlepas dari penglihatan Olivia, setiap gerakan yang terjari antar keduanya. Melihat Alsen, Kania langsung berdiri dari posisi duduknya. Gadis itu masih mengenakan pakaian kemarin sore, celana leging hitam dan kaos kebesarannya berwarna merah muda, terdapat tulisan 'love' di bagian dadanya. Cara berpakaian Kania sangat simple, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Olivia yang begitu feminim. Olivia selalu menjaga penampilannya, dari pakaian maupun dari cara dia merias wajah dan merawat tubuhnya. "Aku mau pulang," ucap Kania to the point. Dia tidak ingin berbasa-basi lagi, terlalu takut melihat Olivia mengamuk. Alsen mengangguk. Dia mengeluarkan uang seharga ratus ribuan--lima lembar dalam keadaan terlipat dua, memberikan kepada Kania. "Ini ongkos pulang. Sekali lagi aku minta maaf jika sepagi ini kekasihku sudah membuat keributan." Kania tersenyum. Dia menerima uang itu, tetapi hanya mengambil selembar. Sisanya dia kembali kepada Alsen lagi. "Aku hanya memerlukan satu lembar, mungkin ini sudah cukup, bahkan ada kembaliannya. Sambil terkikik. "Terima kasih untuk sosis bakar dan sofanya buat tidur nyenyak semalam. Gak perlu divaksin bekasnya, aku gak mengidap penyakit berbahaya kok," katanya enteng, dengan tampang tak tahu dosa. "Kenapa menatapku seperti itu? Bukakan saja pintunya, aku akan segera pergi." Alsen menggertakkan gigi. Masih pagi, Kania sudah berhasil membuatnya jengkel. Dia melangkah tanpa mengeluarkan suara, membuka pintu utama dan mempersilakan Kania keluar. "Bilang sama kekasih kamu itu ya, lain kalo kalau pake lipstik hati-hati jangan sampe nempel ke gigi. Jelek kelihatannya." Kania tertawa kecil. "Bye!" Sebelum benar-benar beranjak, Kania menyempatkan diri mendelik jengkel, sebegitu tak sukanya dia kepada pria bernama Alsen itu. "Oh dasar gadis semprul! Kurang ajar sekali!" umpat Alsen mengangkat tangan yang tergenggam, geram. Kania sudah memasuki lift, menghilang begitu saja dengan meninggalkan jejak wajah menyebalkan. Membekas sekali dalam ingatan Alsen, sial! Ketika semua orang nampak menghormati Alsen atas kedudukan, harta, dan keluarga terpandangnya, hanya Kania yang berani bersikap seperti itu padanya. Tidak ada akhlaknya sama sekali! Minta ditenggelamkan di Laut sss. Setelah hari ini, dia tidak akan lagi bertemu dengan Kania. Alsen menegaskan hal tersebut, tidak akan lagi! Semoga Tuhan mendengarkan permohonannya. Bisa kacau hari-hari bahagia Alsen jika di dunia ini semua perempuan memiliki sikap dan sifat seperti Kania. Bukan kacau saja, mungkin lebih dari itu. Memusingkan! "Alsen. Sayang?" panggil Olivia dari arah belakang tubuhnya. Alsen berjingkat kaget. Dia langsung menolehkan kepada ke belakang, ada Olivia yang sedang menatap bingung. "Ya, Sayang?" Alsen mengusap leher bagian belakangnya, padahal tidak terasa gatal sama sekali. "Kamu ngapain berdiri di sana? Cewek itu sudah pergi kan?" tanya Olivia, lalu dia melangkah ke depan untuk menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan Kania. Tidak ada. "Iya, sudah, Sayang. Ngapain juga dia berlama-lama di sini, yang ada emosiku tersulut." Alsen menepikan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Olivia, menyelipkan ke belakang telinga. Kekasihnya amat cantik, masih saja Kania berani mengatai lipstik yang tak sengaja menempel di giginya. Kurang ajarnya keterlaluan sekali! Olivia mengangguk. Dia melingkarkan sebelah tangan pada lengan Alsen, memeluk erat tanda penuh kasih sayang. "Ayo sarapan, aku sudah siapin makanan kesukaan kamu." "Sudah siap?" "Sudah, hem ... mungkin sebentar lagi. Masih ada sedikit yang harus aku siapin." Alsen mengulas senyum. Dia menutup pintu, merangkul pinggang Olivia sebagai bentuk kepemilikan. Melangkah bersama menuju dapur. "Kalau aku mandi sebentar masihan sempat, Sayang?" "Oh, ya sudah kalau gitu. Aku juga mau beresin tempat tidur kamu, sekalian nyiapin pakaian kerja hari ini." Hati siapa yang tak tersentuh mendapat perlakuan manis ini? Olivia memperlakukan Alsen dengan sangat baik, layaknya seorang istri yang begitu piawai dalam mengurus suaminya. Kalau saja Alsen sudah siap dengan pernikahan, mungkin sejak kemarin dia dan Olivia resmi menjadi sepasang kekasih dalam ikatan suci pernikahan. Setelah mengambil air minum, Alsen dan Olivia melangkah menuju lantai atas--kamar Alsen. Cup! Alsen mengecup singkat pipi Olivia, secara tiba-tiba tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. "Terima kasih untuk semua kebaikan dan kesabaran kamu selama ini mengurusiku yang seperti bayi." Jemari lentik Olivia mengusap rambut Alsen. Kemudian turun mengusap lembut rahangnya. "Iya, Sayang. Aduh ... kenapa sih kamu ganteng banget? Sekali aja jelek bisa gak?" canda Olivia sambil tertawa geli. "Aku makin gemas mau gigi hidung mancung kamu!" Dengan ekspresi lucunya, Alsen memajukan bibir. "Mau dong di gigit hidungnya sama cewek secantik kamu," goda baliknya. Berhasil membuat pipi Olivia merona padam. "Alsen, ih!" Cubitan kecil mendarat di pinggang. "Sana udah mandi, biar aku beresin sekalian kamar kamu." "Siap laksanakan, Bu Bos!" Alsen memperlihatkan gaya hormat layaknya saat bendera di kibarkan. "Cium sekali lagi gak dosa kan?" Sebelum Olivia menjawab, Alsen lebih dulu mengecup bibir kenyalnya. "Alsennnnnn!" rengek Olivia sambil memegangi bibirnya dengan sisa jejak yang tertinggal. Alsen sudah menghilang dari balik pintu kamar mandi. Kenapa d**a Olivia masih saja berdebar kencang ketika Alsen mengecup atau melumat bibirnya--padahal sudah sering terjadi? Seperti ada yang akan meledak di dalam sana. Olivia begitu senang, dia merasa sangat di cintai. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD