Kania duduk di kursi bar dapur sambil menopang dagu dengan ekspresi memberengut. Dia beberapa kali melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjuk ke angka sembilan. Ini sudah malam sekali, tetapi dia masih berada dalam sebuah rumah dengan seseorang yang baru saja dia kenal. Bisa dibilang Alsen adalah orang asing. Selain namanya, Kania tidak tahuu apa pun lagi soal pria itu. Benar-benar tidak tahu.
Kania meninggalkan ponselnya di rumah, uang dalam saku celananya hanya dua puluh ribu, apakah cukup untuk naik ojek sampai ke rumahnya nanti? Kalau kurang, dia terpaksa mengurangi uang tabungan dalam dompetnya lagi. Kenapa hari ini dia sial sekali?
Harusnya tadi Kania tetap di rumah saja, makan makanan seadanya. Dengan begitu dia tidak berada di sini bersama Alsen, dan pulang larut. Apa kata tetangga nanti jika tahu dia tidak berada di rumah jam segini? Apa setelah ini dia akan di pandang jelek? Ah, jangan sampai!
Kania hanya memiliki tetangga yang baik di tempat tinggalnya sana. Selama ini dia berusaha melakukan yang terbaik, jika suatu saat terjadi hal tidak mengenakkan dalam dirinya--seperti sakit misalnya, tetangga juga tidak berat hati menolongnya. Kania ramah kepada siapapun, baik, juga sopan. Hampir semua tetangga mengetahui Kania sebagai anak yang rajin, tidak ada keburukan dalam segi mana pun.
"Apa yang sedang ada dalam pikiranmu?" tanya Alsen sengit, dia meletakkan sepiring besar berisi beberapa batang sosis bakar di sama, satu sosis Alsen potong menjadi dua bagian.
Mata Kania melebar, kenapa penampilan sosis itu begitu menggoda iman? Apa ini yang dinamakan makanan gratis--tidak tertolakkan? Ah memang yang gratis selalu mantap rasanya.
"Kenapa melihatnya begitu? Otakmu sedang memikirkan sesuatu yang jorok ya?" Alsen menyandarkan bahu, kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celana. Ekspresi yang dia tunjukkan membuat siapa saja yang melihatnya geram, ingin segera menebas lehernya.
"Jorok bagaimana yang kamu maksud?" Kania mengurungkan niat mau memakan sosis itu. Alisnya hampir saja menyatu karena bingung. Oh ayolah, Kania masih begitu polos untuk hal sedewasa ini.
Alsen menggeleng. Dia menghela napas sambil mengusap dadaa. Baiklah, tidak seharusnya dia membawa pembicaraan orang dewasa di depan gadis cereboh namun kelihatan begitu menenangkan wajahnya. Apalagi saat dia mengerjap, bulu mata lentiknya nampak memikat.
"Gak. Lanjutkan saja makananmu. Aku mau ke kamar dulu."
"Heem, aku akan menghabiskannya cepat-cepat. Setelah ini, antarkan aku pulang. Uangku mungkin gak cukup buat bayar ojek." Kania menoleh kepada Alsen. "Aku sarankan, kalau mau berbuat baik atas kesalahanmu tadi jangan setengah-setengah, nanggung jatuhnya. Sekalian antar aku pulang, nanti ku maafkan setelah itu.
Alsen mencibir. "Iya! Makan saja yang benar. Masih kecil, tapi pintar sekali berbicara layaknya orang dewasa. Mengesalkan sekali kedengarannya, kamu tahu?!" Kemudian pria itu berlalu begitu saja tanpa mau berdebat lagi. Dia yakin kalau diteruskan saja, sampai sapi beranak ayam pun tak ada habis. Kania selalu ada jawaban untuk menghajar ucapannya, sial!
Melihat bagaimana sikap Kania, polos namun sangat cerdas ... mengingatkan Alsen pada satu orang wanita yang amat dia cintai. Arabelle, ibunya. Bukankah keduanya memiliki kesamaan? Atau perasaan Alsen saja?
Ah, entahlah! Alsen tidak terlalu ingin memusingkannya. Setelah mengantarkan pulang Kania nanti, dia tidak ingin lagi dipertemukan di lain waktu, semoga saja.
Satu lagi, Olivia akan marah jika tahu Alsen membawa gadis lain ke dalam apartemennya. Apalagi gadis asing yang sama sekali tak dia kenal dengan baik. Olivia sangat sensitif seperti p****t bayi kalau soal demikian, Alsen harus berhati-hati untuk menjaga perasaannya yang mudah tersentuh itu.
****
Kania sudah berhasil menghabiskan semua sosis dalam piring, sekarang perutnya benar-benar penuh. Dia kenyang sekali. Ngomong-ngomong, sosis bakarnya enak sekali. Perpaduan bumbu dan sausnya pas, menciptakan rasa yang khas dan membuatnya ketagihan.
Dia melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan ke angka sepuluh lewat sepuluh, dia kemudian menguap lebar--mengantuk. Beginilah hukumnya, kalau perut kenyang kantuk pun datang. Tak terhindarkan!
Kania mendesah kesal, kenapa pria menyebalkan itu--Alsen, tidak keluar dari kamar dan turun ke lantai dasar juga sedari tadi? Apakah dia sedang bertapa di dalam sana? Lama sekali, sungguh.
Dengan keadaan mata yang semakin berat, Kania melipat kedua tangannya di atas meja, menengkulupkan kepalanya di sana sembari memejamkan mata. Sebelum tidur dia selalu saja menjalankan ritual wajib, mengkhayalkan segala sesuatu yang membuatnya bahagia. Apa pun, sekali gratis bukan? Jadi bebas.
Tanpa sadar karena kebanyakan mengkhayalkan banyak hal tidak mungkin, Kania terbawa ke alam mimpi yang jauh lebih menyenangkan dari dunia nyatanya--begitu melelahkan, penuh teka-teki dan kerumitan. Terdengar napas yang berembus teratus, pertanda sang empunya sudah terlelap dengan nyenyai.
Hanya dalam tidur, Kania dapat melepas semua penat tubuh maupun penat pikiran yang berkecamuk. Semua rasa menjadi satu setiap harinya, berlarian dan bergelut tanpa tahu diri, membuat Kania pusing tujuh keliling.
Ada banyak hal yang membuatnya sering bersedih, Kania kesepian. Itulah salah satu kesedihan yang paling mendominasi diri setiap saat.
Ketika memasak, mencuci, menyapu, menyetrika, dan segala macam pekerjaan rumah lain, semuanya mengingatkan Kania pada sosok seorang ibu yang teramat dia sayangi, melebihi dunia dan seisinya. Ibunya, sangat berharga di mata Kania. Kepergiannya membawa banyak perubahan dalam diri.
Beralih pada Kania, Alsen memasukkan ponsel, dia melangkah menuruni setiap undakan tangga yang membawanya ke lantai dasar. Baru saja dia melakukan panggilan video bersama sang kekasih.
Alsen melangkah cepat menuju dapur, setibanya di sana yang dia lihat adalah gadis yang sudah tertidur.
"Kania!" panggilnya mencoba membangunkan dengan menggoyangkan lengan. Tetapi nihil, tidak ada pergerakan apa pun yang dia terima. Apa senyenyak itu tidurnya?
Satu yang tidak semua orang tahu, Kania sangat sulit bangun tidur. Dia pernah dibilang ibunya tidur ke dunia sebelah--ke alam berbeda, sebab meski ada gempa sekalipun mungkin Kania tidak mendengarnya, tetap tidur dengan pulas.
Sekalinya bisa bangun, gadis itu pasti akan mengajak orang yang telah mengganggunya baku hantam. Kania benci diganggu dalam hal senyaman yang satu ini--tidur.
"Kania, bangun. Katanya mau pulang? Oi, oi!" Alsen menusuk-nusuk lengannya beberapa kali, masih tidak ada pergerakan. Alsen jadi bingung, Kania sebenarnya tidur atau latihan meninggal? Kenapa tidak bergerak sama sekali begini?
Dengan hati-hati, Alsen meletakkan jari telunjuknya ke dekat saluran pernapasan Kania. Masih melakukan pertukaran oksigen, masih hidup dengan baik.
"Kania!!!"
"Hih!" Kania melepis tangan Alsen dengan kasar, kemudian berdecak sambil mengubah posisi wajahnya menghadap berlawanan arah dengan asalnya, membelakangi Alsen sekarang. Tidur dengan tenang lagi.
"Kamu tidur saja masih songong! Kenapa selalu menolakku, huh?" Alsen menarik beberapa helai rambut Kania, kesal. "Kania! Bangun, oi!" Dengan sedikit memaksa, Alsen membangunkan Kania sampai gadis itu membuka mata.
"Kenapa, sih??!" decak Kania dengan keadaan setengah sadar, setengahnya lagi masih berada di dunia mimpi. "Apalagi? Pengacau saja kamu ini!" racaunya. Dia kembali ingin menenggelamkan kepala, namun segera dicegah oleh Alsen.
"Bangun, katanya mau pulang?"
Kania tidak menyahut. Dia malah tertidur dengan posisi wajahnya di atas telapak tangan Alsen yang terbuka. Untung saja pria itu sering melalukan olahraga angkat berat, hingga tak masalah baginya menopang wajah Kania yang lumayan juga beratnya.
Alsen memerhatikan sebentar wajah pulas Kania, kemudian menggerutu. Dalam keadaan begini masih saja bisa tertidur dengan nyaman--hanya dengan telapak tangannya? Dasar gadis planet, aneh bin ajaib!
Jika Alsen ingin jahat dan tega, dia akan menarik tangannya maka sudah dapat dipastikan Kania jatuh ke lantai secara mengenaskan.
"Kania bangun!" Alsen menepuk lumayan kencang pipi Kania. Membuat gadis itu memberengut kesal, matanya menyipit.
"Kamu ngajak aku baku hantam, Alsen? Kenapa menyebalkan sekali? Aku hanya ingin tidur!" Kania mencoba membuka mata sedikit, meski teramat susah. Dia beranjak dari kursi bar dapur, berniat melangkah menuju sofa panjang di ruang tengah. Dalam penglihatan Kania--setengah sadar, sofa panjang itu sedang melambai-lambaikan tangannya, menyuruh Kania segera merebahkan diri di sana.
Brugh!
Kania terjatuh ke lantai secara tiba-tiba, bukannya meringis sakit gadis itu malah mendengkur teratur. Dia tidur lagi!
Oh, God!
Alsen segera mengangkat tubuh kecil Kania ke atas sofa, memijat pelipisnya. "Sebegitu susahnya soal urusan bangun, huh? Menyusahkan saja!"
Tidak ada jawaban sama sekali. Kania sudah damai dengan dunia mimpinya, berkelana dengan riang di sana.
"Besok pagi kekasihku ke sini, lalu dengan tidak tahu diri kamu mau menginap di sini?" tanya Alsen lagi. Dia menengadahkan kepala menatap langit-langit ruangan beberapa saat, lalu menghembuskan napas pasrah. "Lihat saja, besok akan ada perang dunia gara-gara dirimu!"
Masih tak ada jawaban apa pun.
"s**t! Aku bahkan seperti orang gila mengajak orang tidur berbicara. Terserah kamu saja, awas kalau nanti merepotkanku lagi!"
Alsen kemudian beranjak menuju dapur, mengambil piring kotor bekas makanan Kania. Dia mencucinya sebentar, membersihkan pantry, dan menuangkan air ke dalam gelas yang akan dia bawa ke kamar. Biasanya setiap tengah malam Alsen terbangun karena haus. Dia tak pernah kekosongan stok air di atas nakas sebelah kirinya.
Bukannya tiba di kamar dia langsung tidur, Alsen kembali mengingat Kania di ruang tengah. Tadi sebelum menaiki anak tangga, matanya tak sengaja melihat keadaan Kania sedang meringkuk seperti udang, padahal suhu ruang tengah sudah stabil--tidak ada pendingin.
Dengan segala pertimbangan yang ada, Alsen kembali ke ruang tengah membawakan sebuah selimut tebal berwarna navy, menyelimutkan Kania dengan benar. Alsen masih punya hati.
"Hih!" Kania sekali lagi memukul tangan Alsen yang dia anggap mengganggu kenyamanan. Lalu berbalik membelakanginya.
"Dasar gak ada akhlak! Ditolong biar gak kedinginan, malah membalas dengan pukulan! Kalau saja kamu anak kecil, akan ku pastikan telingamu memerah karena jeweranku." Alsen menyentak selimut itu, kemudian berlalu meninggalkan Kania tanpa berniat menoleh kembali. Terserah setelah itu, Kania mau memakai selimut yang dia berikan atau tidak.
Setelah hari besok, semoga mereka tak dipertemukan lagi. Hidup Alsen bisa berantakan lama-lama berada dalam jarak dekat dengan Kania. Gadis itu tak baik untuk kesehatan, sering kali membuatnya hipertensi.
****