4. Love at the First Sight

1271 Words
Malam mulai merangkak saat sepasang tangan kekar itu menutup Kitab di tangannya. Daniel baru saja menyeleseikan membaca Al-Kitab. Rutinitas yang wajib ia lakukan menjelang tidur malam hari. Mengucap salam Maria sebanyak 10 kali kemudian mengakhiri doa malamnya. Beranjak menuju tempat yang menurutnya paling nyaman dan menenangkan. Daniel membaringkan tubuhnya di atas ranjang empuk kamarnya. Ingin cepat memejamkan mata dan terbang ke alam mimpi. Rasanya penat sekali hari ini dengan banyaknya rutinitas dan pekerjaan di kantor. Berkali mencoba memicingkan mata, tapi selalu gagal saat tiba-tiba kelebat bayangan muncul begitu saja di pikirannya. Sosok Nadira Arumi yang siang tadi ditemuinya rupanya benar-benar menggadai ingatan Daniel tentang gadis itu. Mulai dari wajah teduh, senyum manis, hingga langkah terakhir Nadira masih tercetak jelas diingatan lelaki itu. Bayang-bayang cantik itu terus saja menari di kepalanya. Seakan tak mengijinkannya untuk beristirahat dengan tenang malam ini. Nadira Arumi. Satu nama yang sepertinya berhasil menghipnotis pendengaran dan pandangan Daniel. Gadis cantik dengan segala kelebihannya. Dan, juga perempuan yang sangat menjaga pandangan sepertinya, karena sepanjang beebucat dengannya, Nadira selalu menunduk. Tidak berani menatap matanya sama sekali. "Nadira." bibir Daniel tanpa sadar menggumamkan nama 'Nadira' lalu seulas senyum simpul menghiasi wajah tampannya. Apakah dia sedang jatuh cinta? Ataukah itu hanya rasa kagum sesaat. Entah! Hanya Daniel yang bisa merasakannya. Urung memejamkan mata, Daniel beranjak bangun dan mengambil laptop di tas kerjanya. Menyalakannya kemudian mengetik sesuatu di sebuah situs internet. HUBUNGAN BEDA KEYAKINAN Daniel mengetik judul untuk pencariannya. Meng-klik salah satu link dan mulai membaca isinya.: Jika kita pacaran dengan orang yang berbeda agama, itu menunjukkan kita sedang menyakiti hati Tuhan. Jika kita pacaran dengan orang yang berbeda agama, itu menunjukkan kita tidak benar-benar berniat menikah. Sejenak mulutnya komat-kamit membaca setiap kalimat yang keluar melalu portal link yang ia buka. Daniel memejamkan mata sejenak saat membacanya. Mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan. Hubungan beda agama biar bagaimapun pasti akan banyak kendalanya. Dan Daniel paham itu. Tapi tunggu! Hubungan? Memangnya siapa yang mau menjalin hubungan dengannya. Kenal saja juga baru tadi siang. Ini gila! Gue udah gila apa ya? Nggak...nggak mungkin gue suka sama perempuan seperti Nadira. Kita berbeda. Gue dan dia beda!' hati lelaki itu berperang sendiri. Berujung Daniel merutuki kebodohannya, kenapa juga dia harus repot-repot memikirkan hal tidak penting seperti ini. Love at first sight, Daniel tidak percaya akan hal itu. Menurutnya orang bisa merasakan jatuh cinta jika sudah saling mengenal dan akrab. Akan tetapi sepertinya keyakinan itu harus menepi seiring rasa deguban jantung yang tak hentinya berpacu saat Daniel mengingat wajah dan nama Nadira. Jatuh cinta pada pandangan pertama? Benarkah seperti itu! 'Ya Tuhan, kenapa pikiranku dipenuhi dengan namanya. Nama yang bahkan hanya beberapa jam baru kukenal. Tidak! Ini hanya semu, aku cuma ... cuma kagum saja--mungkin!' lagi-lagi batin Daniel berkecamuk. Tak ingin makin dibuat pusing oleh pemikiran dan batinnya, Daniel segera mematikan latar komputernya dan beranjak membanting diri ke singgasana ternyamannya. Berusaha untuk tidur dan berharap saat besok bangun, pikiran tentang Nadira akan lenyap dari benak. ***** "Kamu kenapa sih Ai? Kakak perhatikan wajahnya ditekuk terus dari tadi." Zidan memerhatikan adik perempuannya yang terlihat cemberut dan tak bersemangat. Rasanya ada yang kurang jika semenit saja Zidan tak mendengar nada manja serta cerewet dari adik kesayangannya itu. Aisyah masih diam. Enggan menyahuti pertanyaan sang kakak. Hatinya tengah risau. Entah kenapa rasa tak rela menghantam ulu hatinya saat kedua orangtuanya menyatakan niat untuk melamar Zahra untuk Zidan. "Kakak jahat!" ceplosnya masih dengan wajah enggan berpaling pada Zidan. Zidan jadi bingung sendiri, ada apa sebenarnya dengan adik kecilnya itu. Tidak biasanya Aisyah marah seperti ini padanya. Biasanya memang sering ngambek, tapi itu pun cuma sebentar dan Aisyah sudah merengek manja pada Zidan. "Kamu kenapa? Bilang sama kakak." Zidan bertanya sekali lagi dengan nada yang sangat lembut. Sementara Aisyah sepertinya mulai goyah pendirian untuk tidak acuh pada kakaknya. "Kak Zidan mau ninggalin Ai. Nanti kalau kakak nikah sama kak Zahra, pasti kakak nggak akan sayang lagi kan sama Ai." Aisyah masih saja merengek tak mau menerima rencana kakak dan kedua orangtuanya. "Ai..." Zidan yang sedari tadi masih berdiri di samping ranjang Aisyah ingin duduk dan memberikan penjelasan pada adik manjanya itu. Tapi urung saat merasa ada tepukan di bahunya. Rupanya sang ayah yang diam-diam memehartikan dari luar karena kamar Aisyah yang terbuka lebar. Diftan menyerukan Zidan agar keluar. Dan berganti dengannya yang kini duduk di tepi ranjang Aisyah yang tengah berbaring menelungkup masih dengan wajah ditekuk hampir menangis. "Cantiknya Ayah kenapa?" suara lembut Diftan membuat Aisyah membalikan badan seketika. "Ayah." "Bilang sama Ayah, Aish kenapa sayang?" Aisyah tak langsung menjawab tapi malah berhambur ke pelukan ayahnya. Aisyah menangis dalam dekapan Diftan. Merasa semua orang tak ada yang memahaminya. Diftan lah yang selama ini paling dekat dengan putri satu-satunya itu, sikapnya yang sangat lembut dan memanjakan Aisyah membuat keduanya terbiasa untuk saling curhat. Dibanding dengan Illyana sang bunda, Aisyah lebih terbuka pada ayahnya. "Kenapa semua jahat sama Aish, Yah?" "Nggak ada yang jahat Nak. Siapa yang jahatin Aish sini biar ayah suntik mati orangnya," ujar Diftan dengan nada bercanda. "Ayaaah! Aish serius." "Iya, ayah juga serius. Kasih tahu ayah, siapa orangnya. Nanti ayah siapin suntikan raksasa buat dia." kali ini Aisyah tak bisa menahan tawanya saat sang ayah mengajaknya bergurau. Diftan memang paling bisa membuatnya tertawa lagi saat sedang kesal atau sedih, sama seperti sang kakak, Zidan yang selalu bisa membuatnya menyunggingkan senyum. "Nah gitu dong tertawa, kan makin cantik," ujar Diftan lagi saat melihat raut senyum di wajah Aisyah. "Ayah..." Aisyah ingin mengatakan pada ayahnya jika dia keberatan dengan rencana pernikahan Zidan dan Zahra. Mengumpulkan segenap keberanian sebelum gadis cantik itu mengutarakan isi hatinya. "Iya Sayang?" "Kenapa sih kak Zidan mau nikah?" Aisyah mendongak memandang sang ayah. Diftan tersenyum simpul mendengar pertanyaan Aisyah. Dalam pikirannya mungkin saja putrinya itu masih tak rela jika nanti harus kehilangan perhatian dari kakaknya. Biar bagaimanapun selama hampir dua puluh tahun mereka tak pernah terpisahkan. Diftan masih ingat dengan jelas saat Zidan yang ingin melanjutkan study S2 nya di Belanda guna mengambil gelar spesialis dalam bidang kedokteran Aisyah menangis hampir sehari semalam tak mau ditinggalkan. Meskipun ayah dan bundanya sudah menjelaskan dan memberi pengertian tapi Aisyah kekeh tidak ingin jauh dari Zidan. Zidan pun akhirnya mengalah untuk tetap tinggal dan memilih melanjutkan study nya disebuah universitas di Jakarta. "Kak Zidan kan sudah dewasa Sayang, sudah waktunya menikah." "Tapi kenapa harus dengan Kak Zahra, Yah?" "Memangnya kenapa Sayang? Kan bagus mereka sudah saling mengenal. Aisyah juga dekat kan sama kak Zahra?" Ada raut kekecewaan di wajah Aisyah saat mendengar perkataan ayahnya. "Ayah kalau kakak Zidan nikahnya sama Aisyah saja gimana Yah?" Cetus Aisyah tiba-tiba. Mata Diftan membulat sempurna saat mendengar penuturan putrinya itu. Ketakutannya selama ini akan benar-benar menjadi kenyataan. Sudah beberapa hari ini Diftan mengamati gerak-gerik Aisyah seperti menyimpan rasa yang tak wajar saat memandang kakaknya. "Ayah, nikahin Aisyah sama kak Zidan, Yaah. Aisyah janji pasti akan jadi istri yang baik nanti. Lagipula Aisyah sama kakak kan bukan saudara kandung, jadi Aisyah sama---" "AISYAAAH!" untuk pertama kali dari kecil sampai Aisyah beranjak dewasa Diftan membentaknya. Setetes bening sudah mengalir begitu saja di kedua pipi gembil Aisyah. Hatinya sakit. Bahkan lebih sakit dibentak oleh ayahnya daripada saat mendengar kabar Zidan akan mengkhitbah Zahra. Melepaskan diri dari dekapan sang ayah dan berbaring memunggunginya Diftan. Diftan mengusap wajahnya kasar. Rasanya menyesal sekali sudah kelepasan membentak putri kesayangannya. Pandangan matanya melembut melihat punggung Aisyah naik-turun layaknya seorang yang tengah menangis. "Aish, Sayang..." "Ayah keluar, Aish mau sendirian." tangan Diftan terulur ingin menyentuh pundak Aisyah tapi segera ditepisnya. "Aish mohon Ayah keluar saja!" ucapnya lagi diantara deru isak tangisnya. "Memang nyata, nggak ad ayang mau ngertiin Aisyah." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD