5. Perbedaan Yang Nyata

1511 Words
Diftan melangkah keluar dari kamar Aisyah dengan hati gusar. Setelah tak sengaja membentak putrinya tadi, Diftan merasa sangat bersalah. Namun yang membuatnya lebih tidak tenang adalah ungkapan Aisyah tentang keinginannya menikah dengan sang kakak, Zidan. Bagaimana mungkin Aisyah bisa mempunyai pikiran seperti itu. Diftan benar-benar dibuat bingung dengan sikap Aisyah akhir-akhir ini. Illyana memerhatikan suaminya yang terlihat tak tenang. Mendekat dan mengelus lembut punggung Diftan untuk menenangkannya, "Ada apa Ayah? Sepertinya Ayah terlihat gelisah sekali?" Diftan menoleh saat merasakan kelembutan di pundaknya. Meraih tubuh itu untuk ia dekap. Saat gelisah melanda hatinya berada di dalam pelukan terkasihlah bisa sedikit mengurangi beban hatinya. "Ayah..." Illyana makin tak paham dengan apa yang terjadi. Tak menjawab tapi Diftan menarik Illyana untuk menjauh dari depan kamar Aisyah. Sampai di kamarnya Diftan menceritakan semuanya tentang Aisyah. Tentang ia yang tak sengaja membentak putrinya itu, serta keinginan Aisyah yang dianggapnya sangat konyol itu. Illyana menutup mulutnya tak percaya saat mendengar penjelasan suaminya. "Kita harus bagaimana Yank? Ketakutanku selama ini akan berubah jadi kenyataan. Aisyah benar-benar sulit lepas dari Zidan." "Sabar Ayah. Mungkin Aish butuh waktu untuk bisa memahami kalau kakaknya juga punya kehidupan sendiri." "Tapi ini sudah keterlaluan Yank. Zidan akan mengkhitbah Zahra, dan Aisyah, adiknya sendiri malah ingin mengacaukan semuanya." Diftan mengusap wajahnya kasar, "Semua memang salahku. Andai saja dulu aku tidak menuruti keinginan Aisyah, dan tetap membiarkan Zidan untuk pergi. Pasti tidak akan seperti ini." "Ayah istighfar. Jangan menyalahkan diri sendiri. Ini ujian buat kita," ujar Illyana masih berusaha menenangkan Diftan. "Lalu aku harus bagaiamana Yank? Aisyah tidak boleh memiliki perasaan lebih pada kakaknya. Itu tidak boleh sampai terjadi! Mereka adik-kakak. Mereka saudara," Diftan masuh terus meracau dengan kalimat yang meletup-letup. "Ayah istighfar! Kenapa Ayah jadi berpikiran begitu sih. Jodoh itu sudah ditentukan dan diatur oleh Allah. Kalau memang ternyata Zidan adalah jodoh yang disiapkan Allah untuk Aisyah, kita bisa apa?" "Aku cuma tidak tidak ingin persahabatan yang sudah ku bina dengan Faidh akan rusak hanya gara-gara masalah ini Sayang. Mereka pasti kecewa sekali jika sampai tahu Aisyah menginginkan kakaknya sendiri. Zahra pasti kecewa. Dia sudah seperti putri kita sendiri." Illyana paham betul tentang apa yang dirasakan suaminya saat ini. Ia pun merasakan hal yang sama, tapi tetap mencoba untuk berpikir positif. "Ayah tenang ya, biar nanti Bunda coba ngomong dari hati ke hati sama Aish," ujar Illyana lagi. >>> Siang ini lumayan menyibukkan bagi Daniel. Berbagai berkas sudah menumpuk di meja kerjanya menunggu untuk dikerjakan. Matanya mengamati salah satu berkas dengan nama Nadira tercantum disana. Berkas kerjasama yang baru mereka sepakati kemarin siang. Dan seketika itu juga kelebat senyum wajah Nadira melintas begitu saja dalam benak Daniel. Mendial nomer telepon di meja kerjanya. Daniel memerintah sekretarisnya-Diana untuk menuju ruangannya. "Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Diana dengan bahasa formal layaknya atasan dan bawahan. "Atur jadwal untuk bertemu dengan wakil dari PT. Hasanah, Di. Ada berkas yang harus ditanda tangani," seru Dani pada Diana. Diana mengernyit heran. Tidak biasanya si pak Bos itu menyuruhnya untuk membuatkan jadwal jika hanya untuk menandatangi berkas biasanya Diana yang akan disuruhnya. "Kapan Pak?" "Sore ini kalau bisa, Di." "Baik, nanti saya hubungi PT. Hasanah untuk mengatur jadwal pertemuan. Ada lagi Pak?" "Nggak. Itu aja Di, makasih." Sepeninggal Diana dari ruangannya, Daniel kembali mengulum senyum, membayangkan pertemuan keduanya nanti dengan Nadira. Dia harap dengan pertemuan itu nanti bisa lebih mengenal akan sosok Nadira. Perempuan cantik yang akhir-akhir ini mengganggu ketenangan tidurnya. Dalam diam Daniel begitu mengagumi akan sosok Nadira. Ini aneh! Tidak sedikit perempuan yang berusaha mendekatinya. Bahkan tidak sekali atau dua kali Anita - omahnya berusaha mengenalkan Daniel pada banyak gadis. Namun dari semua itu tidak ada yang bisa menggetarkan hati Daniel layaknya Nadira. Seberapa kuat pun Daniel berusaha menepis ego tentang perasaan yang tiba-tiba muncul. Akan tetapi bayang-bayang itu tetap menari-nari menggoda di dalam batok kepalanya. >> "Maaf Pak, saya terlambat lagi." Daniel menoleh begitu mendengar suara lembut itu. Suara yang ia tunggu dari tadi. "Tidak apa. Silakan duduk," ujar Daniel tersenyum pada gadis yang kini mengambil posisi duduk di depannya. Sesusai keinginannya, sore ini tepat jam tiga Daniel bertemu dengan Nadira di sebuah kafe tak jauh dari kantornya. Dengan alasan membahas berkas lanjutan yang akan ditanda tangani. Namun lebih dari itu, tujuan Daniel memang ingin mengenal lebih dekat seorang Nadira Arumi. "Mau pesan apa? Biar aku pesankan." Daniel menawari Nadira. "Maaf Pak, kalau boleh saya ijin sebentar untuk salat Ashar. Atau barangkali Pak Daniel juga ingin sekalian salat sepertinya di seberang sana ada masjid," ajak Nadira. Hati Daniel mencelus mendengar perkataan Nadira. Jadi gadis itu belum menyadari jika Daniel adalah seorang Kristian. Bagaimanapun juga mereka jelas berbeda. Untuk sesaat Daniel terdiam mendengar tawaran Nadira. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam benaknya. "Terima kasih untuk tawarannya Nadira, tapi I'm Christian," ujar Daniel pada akhirnya. Daniel bisa melihat rona kaget dari wajah gadis itu saat mengatakan bahwa dia bukanlah seorang muslim. Nadira juga sempat terpaku beberapa saat akan pengakuan Daniel. "Maaf Pak, saya benar-benar tidak tahu. Saya--" "Tidak apa. Silakan melakukan ibadah dulu, saya akan menunggu di sini." Nadira mengangguk kemudian beranjak meninggalkan Daniel dengan berjuta tanya dalam pikirannya. 'Ya Tuhan, kenapa Kau hadirkan rasa yang bukan pada tempatnya ini. Aku berbeda dengannya. Haruskah aku mengaguminya dalam diamku? Nadira, mengagumimu, akan kulakukan dengan mengunci mulutku. Biar kepada Tuhan saja aku mengaku.' gumam Daniel dalam hatinya. >>> "Zidan, bisakah Bunda bicara sebentar Nak?" sore ini Illyana sengaja datang ke rumah sakit tempat praktek Zidan putra sulungnya. Seharian berusaha membujuk Aisyah, tapi nihil. Putrinya itu tetap berkeras hati tak ingin berbicara pada siapapun, termasuk bundanya. "Tentu saja boleh Bund, kenapa nggak nunggu Zidan pulang saja Bunda?" "Tidak apa Nak, tadi Bunda sekalian belanja terus mampir kesini." "Ada apa Bund? Sepertinya penting sekali yang mau Bunda omongin." Zidan agak bingung sebenarnya. Tidak biasanya bundanya ingin membicarakan sampai mendatanginya seperti ini. Kalau sudah sampai begini itu berarti memang ada yang sangat penting dan serius. "Zidan," Illyana menarik napasnya dalam sebelum mulai berbicara. "Bunda, apa ini tentang Aisyah?" Zidan bisa menangkap kegelisahan dari sorot mata bundanya. Meskipun bukan ibu kandung yang melahirkannya. Tapi ikatan batin antara Zidan dengan Illyana terjalin dengan begitu kuatnya, hingga Zidan pun hapal dan mengerti jika Illyana dengan sedih atau dalam masalah. "Jawab dengan jujur Nak, apa niat kamu ingin mengkhitbah Zahra itu serius dari hati?" Zidan mendongak menatap bundanya saat mendengar pertanyaan itu. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati memang sangat menyayangi Zahra, mungkin karena mereka sudah bersahabat dari kecil, dan rasa itu pun melekat kuat dalam hatinya. Tapi Zidan belum merasakan sesuatu yang menggetarkan hatinya saat bersama Zahra. Kasih sayangnya tulus layaknya saudara yang menyayangi saudarinya. "Maksud Bunda?" "Bunda tanya sekali lagi, apa kamu benar-benar mencintai Zahra, Nak? Apa kamu memang ingin hidup bersama dia?" "Zidan tidak tahu Bunda." Zidan menunduk tak berani memandang bundanya. Rasa itu mungkin belum hadir dalam hatinya. Tapi Zidan tidak bisa menolak saat ayahnya berkeras akan melamar Zahra untuknya. "Lalu kenapa kamu meng-iyakan saat ayah ingin melamar Zahra untukmu Nak?" Illyana masih terus mencecar Zidan dengan pertanyaan yang ia ajukan. Satu hal yang ingin Illyana lakukan. Jangan sampai sebagai orangtua ia salah dalam menilai perasaan anak-anaknya. Diftan secara sepihak menyampaikan keinginanya untuk melamar Zahra untuk Zidan. Tapi suaminya itu tidak pernah bertanya langsung pada putranya apa benar Zidan juga menginginkan hal itu atau justru sebaliknya. "Maafin Zidan, Bunda. Zidan tidak bermaksud untuk membuat Bunda dan Ayah sedih atau kecewa, tapi untuk saat ini perasaan Zidan pada Zahra hanya sebatas sayang seorang saudara." Zidan masih belum berani menatap wajah sang bunda saat mengatakan isi hatinya. Sementara Illyana tersenyum lega mendengar jawaban putranya itu. Setidaknya dia belum terlambat, sebelum semuanya terjadi. "Bunda tidak marah kan sama Zidan?" Illyana menggeleng, tersenyum pada Zidan, "Bunda tidak marah Nak, justru Bunda senang jika Zidan berkata jujur. Zidan, dengarkan Bunda. Cinta itu memang ditumbuhkan, bukan dicari. Tapi setidaknya, sebelum kita semua salah mengambil langkah, Bunda mohon pada Zidan untuk meyakinkan hati lagi tentang perasaan Zidan pada Zahra. Kasihan Zahra juga kalau pernikahan ini terjadi, tapi Zidan tidak memiliki rasa cinta padanya." "Zidan paham Bunda. Zidan akan memikirkannya lagi." "Oh iya, satu lagi Nak." "Apa Bunda?" "Seandainya ada gadis lain yang diam-diam mencintaimu, bagaimana menurut Zidan?" Zidan menoleh tak percaya pada bundanya. Gadis lain? Siapakah itu? Seingat Zidan dia tidak pernah dekat dengan gadis lain kecuali Zahra dan Aisyah. Zidan tiba-tiba tersenyum mengingat tingka konyol dan lucu adiknya. Aisyah yang sangat protektiv sekali padanya. Sejak Zidan SMA sampai di bangku kuliah, Aisyah pasti akan menghadang siapa saja gadis yang berusaha mendekati kakaknya itu. Tak jarang Aisyah akan mengaku sebagai pacar atau tunangan Zidan jika ada yang mendekati Zidan. "Zidan, Bunda tanya. Kenapa malah senyum-senyum sendiri?" "Nggak Bund. Inget Dek Aish saja tiba-tiba, Bunda." Illyana memerhatikan wajah Zidan yang terlihat semingrah saat berkata jika dia teringat pada Aisyah. Kini hatinya semakin yakin, jika antara Zidan dan Aisyah memang memendam satu rasa. Bukan rasa antara adik dan kakak. Tapi rasa layaknya seorang laki-laki dan perempuan. Apapun nanti yang terjadi. Illyana memohon dalam doanya. Untuk selalu diberikan yang terbaik untuk keluarga serta anak-anaknya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD