Zahra sore ini terlihat melamunkan sesuatu. Pandangannya lurus ke depan tak memerhatikan sekitarnya. Berkali-kali ditegur oleh sang kakak tapi tak ada jawaban. Hati serta pikirannya sedang tidak sinkron sepertinya.
"Ra. Assyfa Azzahra...!" tegur Ezar tepat di samping telinga Zahra.
"Astaghfirullah, Abang apa-an sih. Kan kaget," sentak Zahra terpekik kaget.
"Ngelamunin apa sih, Ra? Sampe Abang panggil dua kali nggak noleh sama sekali," selidik Ezar memerhatikan raut adik kembarnya.
"Nggak Bang. Siapa yang melamun." sela Zahra tak mau mengaku.
"Bohong. Pasti sedang melamunkan Zidan, kan."
"Abang! Daripada Abang godain Zahra terus, lebih baik Abang iktiar cari pendamping hidup sana," seru Zahra mengalihkan pembicaraan Ezar.
"Idih, ngambek! Orang cakep kayak Abang begini nggak perlu nyari nanti juga datang sendiri, Ra."
"Kepedean."
"Biar, daripada ngelamunan."
Perkataan Ezar tak sepenuhnya salah memang. Akhir-akhir ini Zahra terlihat lebih banyak diam dan suka melamun. Hatinya tiba-tiba dipenuhi kebimbangan dengan niatnya melangkah ke jenjang pernikahan bersama sang sahabat Zidan.
"Apa Zahra merasa berdebar jika berada di dekat Zidan?" pertanyaan umminya beberapa waktu lalu kembali melintas di benak Zahra. Saat itu dia hanya menggeleng lemah mendengar pertanyaan dari Fatimah, umminya.
"Ummi dulu sama Abi juga menikah karena perjodohan, kan. Tapi apa Ummi langsung jatuh cinta saat pertama bertemu Abi, Mi?"
Fatimah sang ibu tersenyum mendengar tanya anak gadisnya. Dulu dia dan Faidh memang menikah karena dijodohkan. Bahkan Fatimah baru bertemu serta tahu wajah suaminya itu sesaat setelah akad usai diucapkan, meskipun sebelumnya ternyata mereka sudah lebih dulu saling mengenal.
"Ummi jatuh cinta pada Abi saat akad usai diucapkan, Nak." jawab ummi Fatimah menerawang mengingat saat-saat indah bersama abi Faidh.
"Apa itu berarti tidak ada cinta sebelumnya ya Mi?"
"Bukan tidak ada. Tapi Allah, menjaga dan memelihara cinta itu untuk tumbuh pada jalan yang halal saat Abi usai mengucap ijab kabulnya."
Zahra mencerna kata-kata sang ummi dengan berpikir. Apa mungkin dia juga sama seperti itu, akan merasakan cinta saat nanti Zidan usai mengucap akadnya.
"Memangnya kenapa, Ra? Cerita sama Ummi, apa Zahra masih ragu dengan rencana pernikahan ini?"
Zahra terdiam mendengar tanya sang ummi lagi. Ragu? Benarkah dia merasa seperti itu. Sudah berkali-kali Zahra meminta petunjuk pada Yang Kuasa dengan cara shalat istikhara. Dan, baru semalam Zahra seperti mendapat jawaban akan kegelisahan hatinya melalui mimpi yang ia lihat.
Di dalam mimpinya Zahra melihat Zidan berlari ke arahnya. Ia tersenyum saat tahu Zidan mendekat, tapi begitu tinggal selangkah, Zidan tidak menghampiri dirinya, melainkan Aisyah yang berdiri menunduk tak jauh darinya. Tepat di sepertiga malamnya Zahra terbangun dengan perasaan cemas dan bimbang. Menelisik apa sebenarnya arti dari mimpi yang baru saja ia jumpai itu.
Zidan memang berlari ke arahnya. Tapi dia tidak menghampirinya, melainkan Aisyah. 'Apa mungkin ini jawaban dari rasa bimbangku selama ini ya Allah. Apa perasaan Zidan padaku memang tidak lebih sebagai seorang saudara. Dan, kenapa ada sosok Aisyah di sana.' Zahra menggumam tanya dalam hati.
"Ra! Tuh, kan ngelamun lagi."
Teguran dari Ezar kembali menyadarkan Zahra dari angan-angannya saat mengobrol dengan umminya tempo hari.
"Ada apa sih, Bang? Senengnya gangguin Zahra saja," protes Zahra pada Ezar.
"Temenin Abang dong, Ra."
"Ke mana? Jangan bilang ke kondangan lagi. Makanya Abang cari pasangan dong, sudah tua juga masih betah saja ngejomlo. Apa perlu Zahra yang cariin," ujar Zahra menggoda Ezar.
"Dih. Mentang-mentang yang sudah mau nikah duluan, seenaknya ya ngatain Abang jomblo."
"Kan, kenyataan Bang."
"Bukan jomblo, tapi single. Lagipula Abang memang ga ada niat cari pacar. Tapi cari istri." sahut Ezar tak terima.
Zahra mengulum senyum mendengar protesan sang kakak kembar. Perdebatan kecil yang bisa sedikit melupakan satu hal yang kini tengah Zahra rasakan. Satu hal bernama bimbang.
Bimbang akan keputusan yang ia ambil untuk menerima pinangan orangtua Zidan. Dan juga bimbang akan rasa yang ada di dalam hati. Benarkah akan ada cinta setelah ini, ataukah hanya rasa biasa layaknya sebagai saudara.
>>>>
Daniel melangkah setengah berlari ke sebuah gedung yang berada di sebelah bangunan Gereja. Lelaki itu memasuki sebuah ruangan bertuliskan nama salah satu Santo Pelindung umat Nasrani, Santo Petrus.
"Hai, sorry gue telat," ucapnya langsung duduk di sebelah Diana.
Rabu malam. Hari itu adalah jadwal untuk Daniel berlatih membaca Kitab Suci bersama teman-teman Lektornya untuk bertugas di Gereja pada hari Sabtu-Minggu mendatang.
"Oke, teman-teman. Karena semua petugas Minggu besok sudah datang, sebelum memulai latihan kita lebih baik berdoa terlebih dahulu," ujar Lukas, sang ketua Lektor.
"Daniel bisa memimpin doa?" Lanjutnya dan diangguki oleh Daniel.
"Oke. Baiklah sebelum memulai latihan kita malam ini, marilah kita siapkan hati untuk berdoa." sahut Daniel mulai memimpin membacakan doa.
"Dalam Nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Amin. Selamat malam Bapa, terima kasih atas berkat dan anugrah-Mu dari pagi hingga malam hari ini. Bapa, sekarang kami akan berlatih Lektor, berkatilah kami dalam latihan ini. Supaya kami dapat menyampaikan Sabdamu pada sabtu-minggu besok. Amin."
Setelahnya mereka berdoa dengan khusyuk, semua Lektor dan Lektris yang akan bertugas di hari Sabtu-Minggu langsung memulai berlatih bersama. Saling memberikan masukkan saat ada cara pembacaan yang salah dan sebagainya.
Biasanya Daniel paling antusias saat latihan dimulai. Akan tetapi hari ini semangatnya seakan pudar dan tinggal setengahnya. Berkali-kali terlihat diam tak memerhatikan Lukas yang tengah memimpin latihan. Pikirannya tiba-tiba melayang pada satu nama, Nadira.
Wanita muslim yang baru beberapa hari dikenalnya itu telah berhasil menghancurkan konsentrasi Daniel saat ini.
'Apa aku salah jika menyukai seorang perempuan Muslim? Tuhan, kenapa kami berbeda. Kenapa Kau pertemukan aku dengannya jika tembok besar berdiri dengan kokohnya menghalangi kami untuk bisa dekat.' batin Daniel berkecamuk sendiri.
"Roland, Omah mau jika nanti kamu menikah, carilah perempuan yang sepertimu. Selalu setia menjadi pelayan Tuhan. Omah tidak ingin kamu bernasib sama seperti mendiang papamu."
Ingatan Daniel kembali memutar akan pesan-pesan Anita - omahnya. Setiap saat, bahkan hampir setiap hari sang Omah selalu mencekoki Daniel dengan petuah-petuah soal pendamping hidup. Cari yang seiman. Tidak ada gunanya andai bertemu yang se-amin tapi tak se-iman.
Bukan tanpa alasan memang Anita selalu berpesan begitu padanya. Anita merasa trauma dengan jalan cinta sanga putra satu-satunya Roland Federick yang tak lain adalah almarhum papa Daniel.
Roland bersikeras menikahi perempuan bernama Salma yang tak lain adalah seorang Muslim. Hingga Anita pun murka kalah itu, tak mau menganggap Roland sebagai putranya lagi. Roland pun lebih memilih untuk tetap melanjutkan hubungannya dengan Salma. Hingga suatu hari Roland mengalami kecelakaan dan nyawanya tidak bisa terselamatkan. Anita menjerit histeris, begitu tahu putra satu-satunya telah tiada. Ia begitu menyesali keputusannya mengusir dan tidak mau mengakui Roland sebagai anaknya. Salma yang saat itu tengah hamil besar hanya bisa pasrah menerima keadaan. Diapun sama, terusir dari keluarganya karena lebih memilih rasa cintanya pada Roland. Meskipun saat itu berkali-kali sudah menjelaskan jika Roland telah mengikuti jalannya dengan menjadi seorang Mualaf, tapi tetap saja keluarga besar Salma tak mau menerimanya.
Hingga saat Daniel lahir ke dunia, Anita langsung mengambil alih cucu satu-satunya itu. Kesedihan akan kehilangan anak sedikit terobati dengan hadirnya Daniel. Salma pun mengembuskan napas terakhirnya sesaat setelah melahirkan bayinya.
Daniel kecil yang malang, belum sempat merasakan hangat peluk kedua orangtuanya tapi harus ditinggalkan untuk selamanya.
Anita berjanji saat itu, akan menjadikan Daniel seorang lelaki yang taat beribadat dan akan menjadi pelayan Tuhan.
Sejak usia kecil Daniel sudah dibiasakan opeh Anita untuk mengikuti segala kegiatan di Gereja.
Entah itu sebagai bentuk rasa kecewa pada sang mendiang putra atau bentuk pelampiasan karena Roland tak sesuai dengan harapan Anita.
Berkat didikan sang Omah sampai saat ini keseharian seorang Daniel tak lepas dari aktivitasnya sebagai seorang Kristian yang taat, selain menjadi seorang pemimpin dalam perusahaan. Dia juga menjadi aktivis Gereja yang rajin, selalu meluangkan waktu untuk menjadi pelayan di rumah Tuhan dengan menjadi seorang Lektor atau seseorang yang membacakan sabda dari Kitab Suci.
Rasa bimbang itu kini menggelayut di benak Daniel. Jika benar apa yang ia rasakan pada Nadira adalah rasa yang tumbuh bernama cinta, maka Daniel tidak bisa membayangkan bagaimana murkanya sang omah jika nanti mengetahuinya.
Daniel benar-benar merasa bingung dan bimbang. Membiarkan semua berjalan sebagimana mestinya, mungkin itu lebih baik untuk saat ini. Tak bisa ditampik olehnya, senyuman indah itu kian menghampiri setiap pikirannya. Canda tawa Nadira sudah begitu melekat di dalam angan seorang Daniel Rolandigo.
'Kau berbeda dengannya. Kau tak akan pernah bisa bersama dengannya. Kalian tidak tercipta untuk saling memiliki. Perasaan itu salah.' batin Daniel membisiki.
Lelaki berparas tampan itu tersenyum getir jika mengingat perbedaan antara dia dengan Nadira.
Serasa terdapat luka yang mengangah dan makin bertambah perih seperti tersiram cuka jika mengingat ia tak akan bisa menggapai angannya. Bahkan Daniel sudah merasakan sakitnya luka itu sebelum ia memulai apa-apa.
######