BAB 26 - Ingin Cerai

2103 Words
"Bu, Bu … bangun, Bu." Samar-samar aku dengar suara bibik membangunkanku dengan bau minyak angin yang menyengat. "Hm, Bik … saya di mana?" tanyaku agak linglung. Kepalaku rasanya melayang-layang. "Ibu pingsan, bibik gak tahu udah berapa lama, Bu," sahut bibik dengan nada khawatir. "Ibu kenapa sampai pingsan? Apa Ibu sakit?" tanyanya kemudian. Kugelengkan kepalaku. Kalau maksudnya aku sakit fisik jelas tidak selain sebelah pipiku yang terasa bengkak, tapi dalam hati ini, rasanya luar biasa terluka. "Kepala saya masih kliyengan, Bik," kataku sambil meringis. "Iya, Bu … minum dulu teh panasnya, Bu," kata bibik seraya menyodorkan ujung cangkir ke mulutku. Aku menyeruputnya sedikit dan memang, teh manis hangat itu menyegarkan tenggorokanku. "Makasih, Bik," ucapku seraya bangkit dan menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. "Jam berapa sekarang, Bik?" tanyaku sambil memejamkan kedua mataku. "Jam sepuluh, Bu. Anu … ada anak kecil di dalam, Bu, anak siapa ya? Ibunya mana? Kok, bibik cari-cari gak ada orang lain, Bu." Wajah bibik tampak kebingungan. "Ah, itu … tanya bapak aja nanti, Bik. Tolong ambilkan tas saya di atas kasur, Bik," kataku merasa malas menjelaskan apapun pada bibik. "Baik, Bu," sahut bibik yang segera berlalu dari hadapanku. Aku berusaha menahan air mataku agar tidak mengalir, sebab tidak ingin terlihat menangis oleh bibik meskipun wanita setengah baya itu telah melihatku dalam keadaan kacau balau seperti ini. Tidak lama kemudian, bibik datang membawa tas selempangku, lalu menaruhnya di atas meja. "Ini, Bu." "Tolong juga sepatu yang sewarna sama tas ya, Bu," kataku kemudian sambil meraih tas itu dan mengambil bedak padat dari dalamnya. Memoleskan bedak serta membubuhkan lipgloss pink lalu mengikat rambutku tinggi-tinggi agat terlihat segar dan merapikan bajuku sampai bibik datang kembali menenteng pantofel yang siap kukenakan. "Saya jalan dulu," kataku seraya memasukkan bedak ke dalam tas. "Ta-tapi, Bu … anak itu bagaimana?" tanya bibik tidak mengerti. "Ya, biarkan saja, Bik. Saya pergi dulu," kataku ketus. Masalah ini belum kubahas dengan mas Daffa, lantas aku harus bagaimana? "Lalu, koper-koper ini, Bu?" tanya bibik yang masih kebingungan. "Biarkan saja," ucapku tak acuh. Aku meraih berkas di atas meja setelah menyelempangkan tas di bahuku, lalu segera beranjak ke luar dari rumah dan berjalan ke pintu pagar sambil memesan taksi online. Panas terik kuabaikan, aku memilih menunggu taksi online di pinggir jalan dari pada di dalam rumah. Sambil menunggu, aku berpikir tentang bagaimana sikapku selanjutnya pada mas Daffa? Apakah aku harus meninggalkannya? Meminta cerai? Urusan anak bukanlah urusan sepele, justru itu harusnya menjadi urusan besar bagi mas Daffa, karena itu, pantaskah aku mencintai lelaki yang tidak mau mengakui anak kandungnya sendiri? Sebenarnya siapa lelaki yang menjadi suamiku ini? Anak saja bisa tidak diakuinya, apalagi aku? Kuhentakkan kakiku dengan kasar, perasaan marah kembali menguasaiku, sejurus kemudian, perasaan kecewa dan sakit karena telah dibohongi oleh mas Daffa, menggeser amarahku. Air mataku kembali jatuh satu per satu tepat saat taksi online yang kupesan, berhenti tepat di depanku. "Bu Nazwa?" Supir taksi menurunkan kaca jendela. Aku segera menghapus air mataku dengan punggung tangan tanpa menjawab lelaki itu aku segera membuka pintu mobil belakang dan naik ke atas jok. "Jalan aja, Pak," kataku, tidak ingin ada pertanyaan dari sang supir yang tadi menatapku dengan keheranan. Aku memejamkan kedua mataku, perjalanan ini akan ditempuh hampir satu jam jika kondisi jalanan cukup padat merayap. Tidak perlu mengatakan lagi tujuanku ke mana karena aku telah mengetikkan alamat tujuan waktu memesannya tadi. Pikiranku bercabang-cabang ke mana-mana. Sejujurnya aku sudah kuat lagi menahan segala emosi yang siap meledak. Namun, kondisi memaksa aku untuk bertahan hingga yang bisa kulakukan hanyalah mengalirkan air mataku, lagi dan lagi. Akhirnya kami sampai di sebuah gedung perkantoran dan mobil yang kutumpangi telah berhenti di depan lobby utama. Aku meraih berkas yang kubawa dari rumah lalu segera membuka pintu dan turun. "Makasih, Pak." Sejenak aku mematung di depan tangga yang menuju lobby gedung sambil menatap ke atas, ke arah dinding kaca gelap yang salah satunya adalah ruang kantor mas Daffa. Aku tahu karena mas Daffa pernah menceritakannya padaku. Sambil menghela napas panjang, kulangkahkah kakiku melewati undakan demi undakan dan berhenti di depan satpam yang hendak memeriksa barang yang kubawa. Setelah dilakukan pemeriksaan, aku mulai masuk ke dalam lobby dan mencari lift yang akan membawaku ke ruang kantor suamiku. Ternyata lift ada di dua sisi lobby yaitu sayap kiri dan sayap kanan. Sampai sini aku bingung, akses lift yang mana yang menuju kantor mas Daffa? Malas untuk bertanya, aku melangkah menuju layar informasi yang terletak di samping meja panjang operator gedung. Aku memeriksanya dengan seksama sampai aku menemukan PT tempat kerja mas Daffa yang ternyata bisa diakses dari lift yang berada di sayap kiri lobby. Aku pun melangkah ke sayap kiri dengan penuh percaya diri. Tiba-tiba, telepon genggamku berdering, aku pun segera mengambilnya dari dalam tas. Tertera nomor asing pada layar, aku pun segera mengabaikannya, karena semua hal terasa tidak penting saat ini. Kukembalikan lagi telepon genggamku ke dalam tas. Kini aku telah berada di dalam lift, menekan tombol di angka sembilan belas dan menunggu lift naik untuk mengantarkanku ke atas. Tidak ada persiapan apa-apa karena tidak memikirkan hal lain selain ingin segera bertemu mas Daffa dan mengkonfrontasinya seraya mengajukan keinginanku untuk bercerai, itulah tujuanku. Lift berhenti di lantai sembilan belas, dengan ragu-ragu kuayunkan langkah ke luar melewati pintu lift dam berhenti di depan sebuah dinding kaca yang penuh dengan branding perusahaan. Aku mencari pintu masuk yang ternyata berada di sebelah kananku. Dua orang wanita tampak duduk di dalam meja tinggi yang melingkar. Salah satunya berdiri menyambutku. "Selamat pagi, Bu. Ada keperluan kepada siapa?" tanyanya cukup ramah, keramahan yang dibuat-buat. Aku yakin kalau kepada petinggi mungkin tidak akan seperti ini. "Saya mau ketemu pak Muhammad Daffa, bisa tolong sampaikan?" "Mohon maaf, dengan siapa ya?" tanya wanita itu dengan sorot mata sangat ingin tahu. "Saya, Nazwa. Istrinya pak Daffa," kataku dengan jelas dan tegas. Sesaat wanita itu terdiam sambil menatapku lekat-lekat. Wanita satu lagi yang dari tadi seolah-olah tidak menyimak, tiba-tiba berdiri dan ikut menatapku tajam dengan raut wajah tidak percaya. "Ka-kapan pak Daffa menikah? Kok kita tidak tahu?" gumam wanita yang baru berdiri itu. Kondisi perasaanku sedang sangat tidak bagus. Emosiku naik dengan cepat sampai ubun-ubun. Aku menepuk meja di hadapan mereka sambil setengah menghardik, "Siapa kalian sampai-sampai mas Daffa harus lapor menikah pada kalian, ha? Cepat angkat telepon itu dan kasih tahu kalau kalau istrinya pak Daffa telah sampai di sini!" "Baik, Bu." Salah satu dari mereka segera meraih gagang telepon, menekan tombol menuju extension ruang kerja mas Daffa atau sekretarisnya aku kurang tahu, karena ini adalah kali pertama aku datang ke kantor mas Daffa. "Maaf, Bu. Kata sekretaris pak Daffa, beliau sedang ada meeting," kata gadis itu dengan raut wajah misterius. "Siniin teleponnya! Biar saya ngomong sendiri pada sekretarisnya!" tegasku. Gadis itu menyodorkan gagang telepon dengan ragu-ragu ke arahku, tapi aku langsung menyambarnya. "Halo, ini dengan sekretaris pak Daffa?" "Iya, Bu. Bapak sedang ada meeting internal saat ini," jawab suara di ujung telepon. "Sampaikan pada pak Daffa kalau saya, istrinya, mempunyai urusan penting yang mendesak. Ke luar dari meeting, atau saya sendiri yang akan mencarinya," tegasku dengan perasaan jengkel luar biasa. Tiba-tiba, aku mendengar suara yang menegurku dengan penuh keheranan. "Sayang?! Ada apa ke sini?" Aku segera menoleh dan kulihat mas Daffa sedang melangkah ke arahku. Kuletakkan gagang telepon di atas meja lalu melangkah mendekati mas Daffa. "Aku butuh bicara, urgent. Tidak mau dinanti-nanti, tidak terima alasan ada kesibukan dan lain-lain. Sekarang!" tegasku tertahan. Mas Daffa tampak kebingungan sekaligus ingin tahu ada apa, kemudian, dia menghampiri dua operator dan menyampaikan pesan untuk sekretarisnya. "Ayo, jalan," ajak mas Daffa sambil menggamit pinggangku, membawaku ke arah lift. Tanpa kusadari, aku melepaskan diri dari rengkuhan mas Daffa, rasanya aku tidak mau bersentuhan dengannya. "Kita pulang ke rumah? Atau kamu punya tempat yang mau dituju?" tanya mas Daffa, yang masih meraba-raba apa keinginanku. Bagiku memang lebih nyaman bicara di rumah, tapi mengingat ada anak kecil yang ternyata anak kandung mas Daffa, rasanya bahkan terlalu malas untuk pulang ke rumah. Seketika aku merasa dongkol sekali. "Cari tempat yang sepi," kataku yang sebenarnya sudah tidak sabar ingin konfrontasi padanya. "Baiklah, ayo masuk," kata mas Daffa yang rupanya kami telah berada di basemen dan di samping mobilnya. Mas Daffa membukakan pintu mobil depan untukku, tapi aku justru membuka pintu mobil belakang. "Cepat jalan!" seruku menahan amarah. Mas Daffa tampak kikuk sesaat dengan wajah yang penuh rasa heran, tapi aku tidak peduli. Kami pun tiba di sebuah cafe yang sepi, tidak ada satu mobil pun yang terparkir di area parkirnya. Aku segera turun dari mobil dan melangkah menuju bagian dalam Cafe lalu menghampiri kasir. "Pesan di sini saja. Aku butuh kopi s**u satu, juice buah apapun terserah dua, air putih dua dan hidangkan makanan ringan terbaik kalian. Tidak perlu didatangi untuk menawarkan menu lagi, mengerti?" kataku pada kasir tersebut yang mencatat pesananku. "Baik, nanti diantar pesanannya," jawab kasir itu dengan wajah tidak enak. Aku menghela napas dan mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Lalu melihat sebuah spot paling ujung yang tampak nyaman untuk bicara. Aku pun segera melangkah ke sana lalu duduk di sofa dengan sikap tak acuh. Mas Daffa mengikuti dari belakang lalu mengambil tempat duduk di depanku. "Sayang … ada apa?" tanya mas Daffa terdengar mendesak. Tanpa menjawab, aku segera mengambil berkas dari map plastik tebal dan memilih surat keterangan dari rumah sakit bahwa Anisa melahirkan bayi lelaki di sana. Surat keterangan itu, aku sodorkan pada mas Daffa yang segera meraihnya. Sedetik kemudian, wajah ya memerah dan tampak linglung. Aku menikmati pemandangan itu. "Hm, apa ini?" tanya mas Daffa. "Masih ingin mengatakan bahwa Zaki adalah anak adopsi?" tanyaku tajam. "Maksudku, dari mana kamu dapatkan ini? Apa kamu mengorek-ngorek tentangku di belakangku?!" seru mas Daffa mulai marah kepadaku. Aku hanya mendengus sambil menatapnya dengan tatapan jijik. Ya, aku memang jijik dengan cara mas Daffa menghadapi masalah ini, rupanya dia lebih suka mengalihkan kesalahan pada orang lain. "Pikir pake nalar, Mas. Kalau aku yang bodoh ini mengorek-ngorek, hebat bener bisa mendapatkan surat dari rumah sakit besar? Bisa dapat ini!" Aku mengeluarkan surat permohonan pembuatan akta lahir yang ditandatangani mas Daffa. "Ini juga!" tegasku seraya menyodorkan akta lahir yang sudah dilaminating. "Asli semua! Bukan fotocopy. Mas pikir ini hasil aku ngorek? Cetek sekali otakmu, Mas!" seruku tertahan, menjaga agar volume suaraku tidak meninggi. Wajah mas Daffa tampak memucat dengan rahang yang mengetat. Ia seolah sedang berpikir untuk berkelit dari kenyataan itu. "Tidak usah berkelit. Fakta sudah terkuak sekarang. Pilihan Mas cuma satu, mengakui bahwa selama ini sengaja membohongi dan membodohiku. Mengakui bahwa aku tidak layak mendapatkan kejujuran dari kamu serta menyetujui permohonan ceraiku. Hanya itu, Mas! Tidak usah lagi berteriak lantang memarahiku untuk bersembunyi dari salah kamu, Mas! Bicara baik-baik tanpa membentakku seperti kemarin itu, cih, orang tuaku saja tidak pernah membentakku, lah, kamu siapa, Mas?" Aku akui bahwa kata-kataku memang sangat luar biasa tajam, tapi aku tidak punya cara lain untuk meledakkan emosiku saat ini. "Nazwa?!" Mas Daffa tampak terkejut sekali mendengar apa yang aku ucapkan padanya. "Ya? Tidak mau mengakui? Tidak masalah, kita akan bertemu lagi di ruang sidang perceraian," kataku seraya berdiri, tepat ketika dua pelayan menghampiri kami membawa dua nampan berisi berbagai minuman yang aku pesan. "Duduk dulu, Nazwa, mas akan bicara kok," kata mas Daffa seraya meraih tanganku. Aku menghempaskan tangan mas Daffa sambil melotot ke arahnya, lalu duduk kembali di kursiku. "Terima kasih, letakkan saja di situ dan tinggalkan kami sekarang," kataku pada kedua pelayan, agar meninggalkan nampannya di sana. Aku memgambil gelas juice dan menyeruputnya. "Katakan sekarang. Jangan buang waktuku," ketusku pada mas Daffa. "Ok, pertama, kamu anak tunggal kesayangan orang tua kamu, jika aku mengakui anak dari awal, jujur aku takut tidak diizinkan nikah, tanpa anak pun, papa kamu menolak aku kan? Itu dari sisi orang tuamu. Dari sisimu, aku yakin kamu gak akan terima lamaranku kalau tahu aku sudah punya anak. Wa, maafin aku, aku tahu aku salah," jawab mas Daffa. "Lelaki macam apa kamu? Demi seorang wanita, sampai tidak mau mengakui anak kandung sendiri? Kamu pikir, kamu pantas jadi suamiku dengan pemikiran seperti itu? Tidak, Mas. Aku merasa tertipu mentah-mentah. Lebih baik, kita ajukan pembatalan nikah ke pengadilan agama," kataku keukeuh dengan pendirian bahwa lelaki seperti itu tidaklah pantas menjadi suamiku. "Nazwa, tolong jangan terlalu mudah bicara pisah, cerai, apapun itu. Begini saja, kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau, marah padaku, pergi tiap hari, apapun, tapi tahan dulu, jangan melakukan perceraian. Hukumlah aku, aku siap menanggungnya," bujuk mas Daffa. Aku menatapnya dengan perasaan jijik. Bagiku membawa permasalahan ini ke perceraian pun masih ragu karena aku harus memikirkan perasaan mama dan papaku, tapi hati kecilku, aku belum bisa menerima mas Daffa saat ini. "Baik. Hari ini, aku tidak akan pulang ke rumah. Jangan cari aku, Mas. Penuhi saja janjimu. Permisi," kataku seraya berdiri dan langsung beranjak dari hadapan mas Daffa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD